Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Orisinalitas Wae Rebo yang Terancam

Hujan di Wae Rebo susah diprediksi.
Hujan di Wae Rebo susah diprediksi.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Oscar Siagian

Roh nenek moyang telah hilang dari Wae Rebo,” Macel Nala membuka pagi dengan kata-kata ketus seputar kampung halamannya. Saya menemuinya di sebuah warung di Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai. Dari sini, kami akan menempuh perjalanan 80 kilometer ke Wae Rebo, sebuah kampung adat yang sedang dipuji-puji dunia; sebuah kampung yang dihuni tujuh rumah purba.

Usai meraih penghargaan tertinggi di bidang konservasi budaya dari UNESCO, Wae Rebo diserbu turis. Foto-fotonya marak menghiasi media sosial. Namanya tercantum dalam paket-paket tur yang membawa kita ke sebuah permukiman eksotis di pedalaman Indonesia. Sebuah Negeri Hobbit dari tanah Flores, begitu orang kadang menjulukinya. Apa yang bisa dikeluhkan dari tempat seindah ini?

“Atas alasan tamu dan wisatawan, jadwal ritual telah diubah,” jawab Macel. Dia menghirup kopi, lalu melanjutkan ceritanya. “Seperti Barong Wae, ritual pemanggilan roh leluhur yang dilakukan pada sore hari itu, sekarang malah kerap diadakan pada waktu pagi. Sekarang saya bertanya, roh nenek moyang mana yang datang pagi hari?”

Kiri-kanan: Seorang pemuda berjalan melewati Sungai Wae Rebo yang menjadi cikal bakal kampung adat Wae Rebo; Thomas Pakur seorang dukun di kampung adat Wae Rebo.
Kiri-kanan: Seorang pemuda berjalan melewati Sungai Wae Rebo yang menjadi cikal bakal kampung adat Wae Rebo; Thomas Pakur seorang dukun di kampung adat Wae Rebo.

Saya tak menjawab pertanyaannya. Lagi pula, bagaimana mungkin saya tahu arwah moyangnya punya jadwal kunjungan. “Tapi saya belum pernah ke Wae Rebo, saya ingin ke sana,” kata saya setengah memelas kepada Macel. Hanya itu yang bisa saya kemukakan mengenai niat saya ke kampungnya. Tak jauh dari warung, dua unit angkutan telah siap berangkat ke Kampung Denge, gerbang untuk memasuki Wae Rebo. Saya tak sabar untuk pergi. Bagi orang yang datang dari kota terik di pesisir barat Sumatera seperti saya, Ruteng bagaikan sebuah siksaan fisik. Angin dari lembah bertiup saban waktu.

Kala senja tiba, kabut putih akan melingkupi seantero kota bagaikan sebuah selimut raksasa. Saya tak tahu perasaan Macel usai mengetahui saya hendak ke kampungnya sebagai “tamu,” juga sebagai “wisatawan,” sebagai orang yang membuat kampungnya memodifikasi jadwal ritual. Saya tak berani bertanya. Saya hanya ingin memasuki angkutan umum dan meluncur ke Wae Rebo.

Dari Ruteng, hanya ada satu angkutan umum menuju Denge, yakni truk yang dijejali barisan bangku di bak belakang hingga terlihat menyerupai bus. Orang-orang menyebutnya “oto.” Berbeda dari bus umumnya, oto tidak memiliki jendela dan atapnya hanyalah sebuah terpal tebal. Bangkunya terbuat dari papan dan bisa dibongkarpasang.

Perempuan tua dan muda begitu cekatan saat menaiki oto dengan enam roda ini. Saya duduk di tengah, terjepit oleh kerumunan manusia dan beragam kargo, mulai dari sayur-mayur, ayam, termos, rak piring, hingga ban sepeda motor. Posisi bak cukup tinggi dan tangga tidak tersedia. Itu sebabnya proses naik-turun oto kerap menyerupai sebuah akrobat. Dua kali kepala saya disundul oleh payudara ibu-ibu. Suatu kali, saat oto belum berhenti sepenuhnya, seorang ibu memaksa naik. Sebelah kakinya sudah berpijak di bak, sementara sebelah lagi tertinggal di luar. Saat oto akhirnya berhenti, tubuh si ibu terhuyung ke wajah saya.

Kiri-kanan: Salah satu rumah di kampung adat Wae Rebo yang dikelilingi oleh Hutan Lindung Todo Repok; layaknya wahana wisata, kini perawatan rumput pun dilakukan menggunakan mesin.
Kiri-kanan: Salah satu rumah di kampung adat Wae Rebo yang dikelilingi oleh Hutan Lindung Todo Repok; layaknya wahana wisata, kini perawatan rumput pun dilakukan menggunakan mesin.

E, maaf anak!” katanya usai meletakkan kepala saya di belahan payudaranya. “Maaf untuk apakah, mama?” saya bertanya. “E, pakai bertanya. Maaf saja sudah!” jawabnya dengan disambut tawa semua penumpang.

Dengan iringan musik bervolume tinggi dari beragam musisi, mulai dari Bon Jovi hingga Rinto Harahap, oto melaju di jalan berbatu, dengan jurang dalam di satu sisi dan tebing terjal di sisi yang lain, juga mendaki tanjakan dan melesat di tikungan yang tak kalah tajam dari badik orang Bugis.

Pukul empat sore, saya mendarat di Kampung Denge. Mendung menggantung di langit dan hujan agaknya bakal segera turun. “Jangan dipaksakan, tinggal saja dulu di sini,” kata Blasius Monta sembari menunjuk penginapan miliknya. “Besok pagi baru berangkat ke Wae Rebo.”

Di homestay-nya, Blasius bercerita tentang tanah moyangnya yang tak lama lagi akan saya kunjungi. Berbeda dari Macel yang saya temui di Ruteng, Blasius bertutur penuh rasa bangga. Syahdan, belasan tahun silam, setelah antropolog Catherine Allerton mengunjungi Wae Rebo, Blasius berniat melambungkan pamor kampungnya ke seantero bumi. Dengan penuh dedikasi, dia memperbanyak foto Wae Rebo, lalu menempelkannya di dinding-dinding hotel, di balkon-balkon penginapan, di perempatan-perempatan yang ramai.

Usahanya berbuah: turis mulai berdatangan. Wae Rebo menyimpan rumah-rumah tradisional Manggarai dalam versi orisinal. Namanya mbaru niang. Bentuknya kerucut, mirip topi nenek sihir dalam dongeng. Atapnya ditutup ijuk dan ilalang, sementara interiornya dipartisi menjadi lima lantai, masing-masingnya dengan fungsi berbeda.

Tujuh mbaru niang kini menjulang kokoh di Wae Rebo, berbaris membentuk formasi setengah lingkaran dalam kepungan belantara yang lebat dan pekat. Hanya di Wae Rebo rumah adat Manggarai ini masih berdiri. Di banyak tempat lain, mbaru niang nyaris punah sepenuhnya. Melestarikan rumah adat adalah perkara sulit.

Seorang bocah di lapangan yang menjadi pusat berkumpulnya penghuni Wae Rebo.
Seorang bocah di lapangan yang menjadi pusat berkumpulnya penghuni Wae Rebo.

Layaknya rumah gadang Minang atau tongkonan Toraja, mbaru niang menuntut teknik konstruksi yang rumit dan biaya yang mahal. Menurut Blasius, mbaru niang Wae Rebo juga pernah nyaris hancur. Sesuai kaidah, satu kompleks hunian harus berisi tujuh rumah, karena tujuh merupakan angka keramat dalam kosmologi lokal. Tujuh mencerminkan tujuh daya kuasa yang melindungi kampung dari bala. Dulu, beberapa rumah di Wae Rebo lapuk dimakan usia. Pada 2008, hanya empat unit yang tersisa dengan dua di antaranya sudah sekarat.

Mendengar tragedi itu, sejumlah arsitek terpanggil untuk mengulurkan bantuan. Arsitek terpandang Yori Antar bersama beberapa koleganya datang ke Wae Rebo, menyaksikan warisan budaya yang tergerus zaman, kemudian menggalang donasi dan tenaga untuk merekonstruksinya.

Singkat kata, Wae Rebo pulih pada 2011 dan diganjar penghargaan oleh UNESCO setahun berselang. Kampung terpencil ini kemudian merekah jadi magnet wisata baru. Ia tertera dalam sirkuit turis di Flores, bersama objek-objek populer lain seperti Gunung Kelimutu dan Taman Nasional Komodo.

Arus pelancong pun meningkat. Pada 2014, Blasius mencatat 2.600 kunjungan dari belasan negara. “Itu baru yang tercatat,” katanya berapi-api. Mbaru niang dibuat dari kayu dan bambu. Bahan-bahan ini tidak dirangkai dengan paku, melainkan pasak dan tali rotan. Rumah-rumah dari dunia kuno ini menghadap ke susunan batu, semacam tempat sakral, di mana persembahan diletakkan dalam ritual-ritual yang penuh mitologi.

Saya tidak ingat di mana ujung cerita Blasius, sebab cahaya bohlam akan segera padam. Selewat pukul sepuluh malam, mesin penyalur listrik dimatikan dan kampung ini terkurung gelap. Tapi saya masih ingat kata-kata ketus Macel Nala di Ruteng: roh nenek moyang telah hilang dari Wae Rebo.

Kiri-kanan: Nenek Katarina yang menjadi salah satu tetua kampung adat Wae Rebo; hiasan di dinding rumah adat.
Kiri-kanan: Nenek Katarina yang menjadi salah satu tetua kampung adat Wae Rebo; hiasan di dinding rumah adat.

Dari Denge, saya meniti jalan setapak yang dipenuhi tanjakan dan tikungan selama berjam-jam menuju Wae Rebo, desa adat yang dijuluki Kuni Agu Kalo—sang tanah kelahiran, kampung asal yang sakral. Di perjalanan, satu keluarga Prancis membuntuti saya. Mereka tampak gembira menjalani “ritus” pendakian yang menguras tenaga ini.

Matahari belum melek saat saya memulai ekspedisi. Dengan degup jantung yang menderu, saya mengira-ngira kembali: apa yang dicari para turis di sini? Apa pula yang dikeluhkan oleh Macel Nala? “Selamat pagi. Selamat datang di Wae Rebo. Nama saya…,” seseorang menyalami saya sambil menyebutkan namanya. Tidak berapa lama, saya berpapasan dengan orang lain yang mengucapkan salam serupa. Begitu seterusnya.

Anda akan takjub dengan keramahan orang Flores ketika menyambut tamu, tetapi Anda akan lebih takjub lagi dengan sambutan yang seragam di Wae Rebo. Kampung ini memang telah dididik untuk melayani turis “dengan sebaik-baiknya.” Entah kenapa, keramahan itu terasa janggal.

Saya kini telah tiba di halaman Wae Rebo. Kampung yang mendulang takjub ini bertengger di ketinggian 1.100 meter. Angin dari lembah di tepi kampung berkesiur membawa kabut. Melalui jalan setapak, saya menghampiri kampung, tapi saya tak bisa begitu saja memasukinya. Sesuai aturan setempat, saya wajib melapor, tak peduli meski tubuh saya sudah lepek diguyur hujan.

Wae Rebo menampung tujuh rumah tradisional.
Wae Rebo menampung tujuh rumah tradisional.

Di dalam salah satu rumah, Nenek Caterina berdiam menunggu tamu. Usai saya merogoh kantong, dia mendoakan saya—tahapan pelaporan yang dialami turis lainnya. Dia sempat bertanya asal-usul saya sebelum berdoa. “Saya dari Minangkabau,” jawab saya setengah berbisik. “O.. kami juga dari Minangkabau,” timpal Nenek Caterina. “Empo Maro, nenek moyang orang Wae Rebo, datang dari Minangkabau pada tahun-tahun tak tercatat,” katanya memulai hikayat. Alkisah, nenek moyang dari Minangkabau berlayar ke sini ketika gunung berapi di tengah Sumatera masih sebesar telur itik, ketika laut menyelimuti sekujur bumi. Mereka tiba di Flores dan membangun Wae Rebo.

“Lalu, tidak adakah tempat untuk saya yang juga jauh-jauh datang dari Minangkabau? Tetap harus ‘melapor’ dulukah saya?” kata saya mencoba merayu Nenek Caterina. Semua tamu harus “melapor.” Dan di “pos pelaporan,” ada syarat yang mesti ditunaikan: uang.

Nenek Caterina menggenggam lembaran-lembaran uang kertas, lalu memukul-mukulkannya ke udara sembari melafalkan mantra singkat, di mana nama saya disebut di ujungnya agar dikaruniai keselamatan. Sebuah “karunia prabayar.”

Kejadian itu mengingatkan saya pada Stamford Raffles. Pada awal abad ke-19, perwira tinggi utusan Inggris itu berkunjung ke pedalaman Minangkabau. Saat hendak memasuki sebuah kampung, Raffles juga harus membayar dengan biaya yang tidak tanggung-tanggung kepada dewan penghulu: tujuh tayam emas. Tapi saya tidak sedang berada di Minangkabau. Saya kini berada di “Minangkabau” yang terletak di pedalaman Flores.

Rampung urusan di pos lapor, saya masuk ke sebuah rumah adat yang atapnya membubung menunjuk langit. Ada tulisan di pintu masuknya: “Rumah Asuh. 4 Juni 2011 Tirta Gena Maro Danone Aqua.” Tulisan ini menjelaskan siapa sponsor yang mendanai rekonstruksi mbaru niang tersebut.

Dalam pandangan saya, Wae Rebo sepertinya tak lebih dari sebuah resor yang teronggok di pedalaman yang asri. Padahal ini kampungnya Empo Maro, moyang sakti yang menurut Balsius berasal dari Minangkabau. Moyang sakti yang namanya diabadikan di salah satu rumah, di mana saya kemudian tidur meringkuk dalam pagutan dingin.

Ketika pertama memasuki mbaru niang, wanita-wanita terlatih dengan segera menyediakan minuman dan makanan hangat. Angin lembah bertiup lagi, menembus atap rumah, membawa embun yang sejuk. Di dalam rumah, Wae Rebo terasa begitu sepi. Saya mulai menyantap mi instan. Betapa lucu. Di dalam rumah dari dunia lama ini, saya justru menyantap kuliner dari dunia maju.

Suara gaduh dari luar rumah membuyarkan pikiran-pikiran buruk saya. Rupanya si turis asal Prancis sedang membagikan permen kepada anak-anak kampung. Seperti semut yang mengerubungi gula, anak-anak saling berebut, dan si Prancis mungkin merasa seperti Sinterklas di atrium mal. Anak-anak saling sikut. Salah seorang sempat menangis karena pangkal telinganya tersikut temannya. Si turis mencoba menenangkan kerumunan dengan berkata kalau permen bawaannya cukup untuk semua orang. “Ini sangat menyenangkan,” kata si turis dengan wajah semringah.

Di hari libur, kata Alexander Ngadus, Ketua Adat Wae Rebo, anak-anak memang ramai memenuhi kompleks berisi tujuh mbaru niang ini. Bila jadwal sekolah tiba, mereka kembali ke kampung mereka di Kombo, Todo, atau kampung-kampung lain di bawah perbukitan sana. Di hari libur ini, Wae Rebo bagaikan sebuah wahana wisata yang menjanjikan kesenangan. “Hanya orang-orang uzur di sini, dan anak-anak,” kata Erna meningkahi. “Padi dan sawah kami ada di Kombo, kampung di balik bukit sana. Tapi kami haru bertahan di sini.”

Wae Rebo menampung tujuh rumah tradisional.
Wae Rebo menampung tujuh rumah tradisional.

Apa yang hendak dipertahankan? “Di sini rezekinya lain,” jawab Erna. Malam datang berkelebat dengan cepat. Malam yang membuat risau, setidaknya bagi saya, yang gagal menemukan alasan yang pasti untuk mendatangi tempat ini. Apa yang hendak saya cari? Malam begitu sepi, begitu dingin. Tak ada seorang pun yang bisa diajak berbincang ketika kantuk belum merambat. Dengkur turis yang tidur satu ruangan dengan saya begitu santer, mungkin karena mereka lelah mendaki.

“Selamat pagi, saya Thomas Pakur,” kata seorang pria sepuh seraya menyalami saya—sapaan yang persis sama dengan sapaan siapa saja di kampung ini. Kami menikmati hidangan. Kali ini hanya ada kopi, tanpa mi cepat saji. Di kolong rumah, perempuan-perempuan menenun dan anak-anak berkejaran. “Ini hari Minggu,” kata Thomas, “ini hari Tuhan.” Di hari Tuhan, beberapa orang lokal, yang sebetulnya menetap di kampung lain, datang ke Wae Rebo.

Melihat saya mondar-mandir seraya terus bertanya, banyak perempuan tampak risi. Saya bertanya tentang makna motif yang tertera di tenunan, kenapa tidak ada ukiran di dinding rumah, kenapa mereka tidak mengenakan kain tenun, kenapa kain tenun mereka memakai benang Cina, kenapa, kenapa, kenapa… Saya memang terlalu banyak bertanya. Terlalu ingin tahu. Terlalu usil. Tentu tidak demikian adanya bagi turis asing.

Bagi mereka, Wae Rebo merupakan tempat santai yang menyenangkan. Turis-turis Prancis, misalnya, kini menggamit lengan Thomas Pakur dengan mesra, lalu mengabadikannya dalam bidikan kamera. Jauh di bawah lapisan bukit sana, oto sudah menunggu saya, lengkap dengan iringan musiknya yang menggetarkan langit subuh. Saya akan dibawa kembali ke Ruteng, lalu ke Jakarta, kemudian terbang ke Sumatera Barat, ke tanah leluhur orang Wae Rebo. Entah di mana roh-roh nenek moyang kampung purba ini sekarang bersemayam. Saya sudah lelah bertanya.

PANDUAN
Rute
Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Untuk menjangkaunya, Anda bisa terbang menggunakan Trans Nusa (transnusa.co.id) menuju Ruteng, lalu meneruskan perjalanan dengan menyewa mobil menuju Kampung Denge, gerbang untuk memasuki Wae Rebo. Opsi lain adalah terbang menaiki Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) ke Labuan Bajo di ujung barat Flores, lalu meneruskan perjalanan ke Denge dengan mobil sewaan. Ada banyak rental mobil di Labuan Bajo. Tarif sewa mulai dari Rp700.000, termasuk jasa sopir.

Penginapan
Di Denge, Anda bisa menginap di homestay Wejang Asih (0813-3935-0775; mulai dari Rp200.000) milik Balsius Monta. Dintor, kampung tetangga Denge, juga memiliki penginapan, salah satunya Waerebo Lodge (0852-3934-4046; waerebolodge.com; mulai dari Rp250.000). Dari penginapan, Anda bisa berangkat pada pagi hari menuju Wae Rebo dengan mendaki selama empat hingga lima jam. Biaya pemandu rata-rata Rp150.000, sementara biaya masuk kampung adat Wae Rebo Rp325.000 per orang bila menginap dan Rp150.000 bila hanya berkunjung. Siapkan uang tunai dan jangan lupa membawa mantel, sebab hujan di dataran tinggi Flores ini susah diperkirakan.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2016 (“Mantra Penjinak Makna”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5