Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyambut Konsep Baru Kota Tua Jakarta

Gedung PT. Pos Indonesia dengan suasana Taman Fatahillah di sore hari.

Oleh Wikana
Foto oleh Dwianto Wibowo

Memasuki Kantor Pos Kota Tua Jakarta, masa lalu dan masa kini seakan melebur. Usai mendaki tangga beton, mata segera terantuk pada instalasi pecahan wajan Teguh Ostenrik yang dipatri sepanjang 10 meter di pintu pameran. Melangkah lebih dalam, pada ruang pamer berbentuk huruf U bertebaran lukisan, foto, patung, hingga instalasi karya seniman papan atas, sebut saja Made Wianta, Nasirun, Entang Wiharso, serta Heri Dono. Sebuah tamasya yang absurd pun tercipta. Bangunan lebar, beratap tinggi, dan berjendela vertikal yang dibesut oleh Ir. R. Baumgartner pada 1928 itu tampil layaknya wahana tur yang modern, bahkan kadang terasa futuristis.

Lewat kombinasi tangan kreatif Heri Pemad dan arsitek Andra Matin, gedung pos yang berhadapan dengan Museum Fatahillah itu bersalin rupa menjadi Galeria Fatahillah. Pelang besar di atap bangunan dicopot. Cat jingga, warna kebangsaan Belanda yang menjadi penanda Pos Indonesia, dilabur warna putih. Baliho dan reklame di sekujur gedung dilucuti. Identitas kantor pos hanya terlihat dari aktivitas warga yang mengantre di lantai dasar untuk membeli meterai, melayangkan surat, menimbang dan mengirimkan barang.

Andra bekerja dengan semangat preservasi. Dia tak ingin merusak secuil pun dinding dan lantai bangunan cagar budaya tersebut. Dua meter dari gedung asli dibangun dinding baru. Sekat dan penampang untuk memajang karya pun seluruhnya diciptakan khusus. Tak hanya dinding, arsitek yang turut merancang kompleks Salihara itu juga memasang lantai baru setinggi 30 centimeter di atas tegel asli bangunan. Di sebagian ruangan, lantai yang dibiarkan berkontur miring kian mengentalkan corak modern dari bangunan lawas tersebut.

Proses revitalisasi gedung tua di samping Gedung Kantor Pos.

Di salah satu sudut ruang di lantai dasar, hadir sebuah kedai yang juga berfungsi sebagai pusat informasi berdinding kaca transparan. Beberapa turis asyik menyeruput kopi ekstrak di meja kayu sembari menyaksikan antrean warga mengirimkan surat. Di sekeliling dinding tertera denah dan foto kawasan Kota Tua yang tengah direvitalisasi.

Presentasi seniman kontemporer juga membuat bangunan terasa aktual. “Surat Terakhir” karya Mella Jaarsma misalnya, merespons sosok Kantor Pos yang pada suatu masa berperan penting dalam pertukaran informasi. Dia menyuguhkan empat pakaian tanpa maneken yang terasa kosong dan enigmatik. Di sekujur pakaian, sang perupa mencetak kartu-kartu pos zaman Hindia Belanda. Baju tersebut digantung pada empat cermin kuno. Mella juga meminta sejumlah warga yang memiliki kerabat di Belanda untuk saling berkabar lewat surat.

Karya Aditya Novali juga bertolak dari fungsi orisinal gedung. Dalam karya “Stamp In(k)donesia,” Aditya membuat stempel dari 33 provinsi di Indonesia. Pengunjung dipersilakan mencoba seluruh stempel itu pada selembar kertas.

Suasana Fatahillah Visitor Center yang memadukan nuansa tradisional dan modern.

Ada pula karya Made Wianta dan Angki Purbandono yang terasa kritis menampilkan realitas urban sekeliling Kota Tua. Arus lalu lintas yang banal, polusi udara yang akut, atau kehidupan warga kota yang liar menjadi tema karya keduanya. Made meracik instalasi menyerupai pohon yang terbuat dari ratusan knalpot kendaraan bermotor, sementara Angki memotret sudut-sudut Jakarta dari balik jendela taksi.

Penempatan karya Heri Dono yang terpisah di ruang lain terasa paling mencekam. Di ruang khusus antara lantai dasar dan lantai dua, instalasi canggih “The Three Donosaurus” terasa panoptik. Karya yang telah berkeliling ke sejumlah galeri dan museum ternama dunia itu dipenuhi gerak ritmis, bebunyian, juga visual yang meneror pengunjung.

Pemerintah kolonial Belanda semula menempatkan unit pos Fatahillah di kantor gubernur jenderal yang sekarang dikenal sebagai Museum Fatahillah. Sejalan dengan pembentukan kantor pos di seantero Hindia Belanda, pemerintah kolonial lalu mengerek gedung pos baru yang representatif di lingkungan elite pemerintahan. Gedung anyar inilah yang disulap menjadi Galeria Fatahillah.

Kiri-kanan: Surat Terakhir karya Mella Jaarsma; instalasi berjudul Air Pollution karya Made Wianta.

Tapi Kantor Pos bukan gedung satu-satunya yang mengalami bedah estetik. Proyek serupa akan diaplikasikan di banyak titik—sebuah agenda ambisius dan mahal yang bergerak di bawah panji Revitalisasi Kota Tua. Misinya luhur, yakni mengembalikan denyut Kota Tua sebagai pusat kehidupan dan ekonomi. Struktur uzur dipermak, jika perlu dialihfungsikan. Magnet-magnet wisata baru diciptakan. Aktivitas bisnis digiatkan dan lapangan kerja dibuka. Harapannya, Kota Tua bukan lagi sekadar tempat di mana orang menengok masa silam, tapi juga menyandarkan hidup masa kini dan mengerek asa untuk masa depan.

Proyek jangka panjang itu dikomandani oleh Lin Che Wei. Analis ekonomi dari Independent Research & Advisory Indonesia ini didaulat menjadi CEO PT. Pembangunan Kota Tua Jakarta. Penunjukan itu sepertinya terkait jabatan lama Che Wei sebagai Direktur Utama Danareksa, sebuah BUMN di sektor investasi. Dia diharapkan bisa melobi sejumlah BUMN yang memiliki gedung sepuh di zona utara Jakarta. Maklum, sekitar 40 persen pemilik aset tua di kawasan yang terbentang dari Glodok hingga Pelabuhan Sunda Kelapa itu adalah perusahaan pelat merah.

Skala proyek yang besar diimbangi oleh dana yang prima. PT. Pembangunan Kota Tua Jakarta didukung oleh konsorsium berisi taipan kakap. Darmono, bos Grup Jababeka yang terlibat menjadi presiden konsorsium, menggaet sejumlah konglomerat yang peduli pada pelestarian Kota Tua. Mereka yang terlibat menyetorkan modal antara lain Edwin Soeryadjaya, Hendro Gondokusumo, dan Trihatma Haliman. Bersama, mereka akan menciptakan sebuah ekosistem baru di utara Jakarta yang menyeimbangkan antara geliat ekonomi dan budaya.

Instalasi berjudul The Three Dinosaurs karya Heri Dono. Heri adalah salah satu dari 47 perupa yang meramaikan permulaan revitalisasi Kota Tua.

Di tahap awal, Che Wei melobi PT. Pos Indonesia. Gayung bersambut. Pos Indonesia bersedia memberikan tiga bangunan untuk digubah menjadi kantong budaya. Selain Gedung Pos Fatahillah, ada Gedung Pos Besar di Pasar Baru dan Kantor Pos di Jalan Cikini. Ketiganya warisan era kolonial.

Agaknya, perkembangan teknologi telah menyusutkan pamor kantor pos. Sejumlah gedung kini terasa terlampau tambun untuk sekadar melayani jasa pengiriman surat dan ekspedisi. Banyak ruangan justru terbengkalai dan lapuk digerinda waktu, padahal nilai sejarahnya layak dilestarikan.

Menurut I Ketut Mardjana, Mantan Direktur Utama Pos Indonesia, ada 38 bangunan kantor pos di Indonesia yang berkategori cagar budaya. Sebagian telah direnovasi bermodalkan kerja sama dengan pihak swasta. “Karena perlu biaya besar untuk perawatan, jadi lebih baik kerja sama dengan yang berminat, sepanjang fungsi heritage-nya tetap dijaga,” ujarnya. Kerja sama merevitalisasi Kota Tua Jakarta dinilai Mardjana memberikan keuntungan citra positif bagi Pos Indonesia. “Keuntungan perusahaan tak selalu harus finansial,” katanya.

Kiri-kanan: Seorang guru asal Tiongkok mengisi dan mengirimkan kartu pos dari Kantor Pos Kota Tua; bus surat di depan kantor pos yang masih berfungsi hingga sekarang.

Setelah mendapatkan lampu hijau, Che Wei berkunjung ke tiga bangunan yang direkomendasikan Pos Indonesia. Ikut bersamanya Oei Hong Djien, pemilik Museum OHD di Magelang, yang juga Anggota Penasihat Kelompok Pelestarian Budaya Kota Tua Jakarta. Hong Djien sangat terkesan dengan bangunan Kantor Pos Besar di Pasar Baru. “Gedungnya indah sekali,” katanya.

Namun, merenovasi bangunan sebesar itu menuntut biaya yang besar. Sementara Kantor Pos di Jalan Cikini terlampau kecil. “Kita kan harus kerja cepat untuk pencanangan,” ujar Hong Djien. Akhirnya Gedung Pos Fatahillah yang dipilih menjadi ruang seni. Budayawan Goenawan Mohamad, Ketua Penasihat Kelompok Pelestarian Budaya Kota Tua Jakarta, mengusulkan nama Galeria Fatahillah bagi ruang seni itu.

Setelah gedung didapat dan akta kelahiran diparaf, Hong Djien menghubungi para seniman. Hasilnya, 46 seniman garda depan rela meminjamkan karyanya. “Sebagian karya baru. Bahkan ada yang masih dikerjakan,” kata Hong Djien. Kenapa seni rupa kontemporer? Pencapaian Indonesia di sektor ini termasuk cemerlang. Di sela-sela era boom seni lukis asal Cina, perupa kita aktif mencuri perhatian. Harga karya-karya mereka terkerek tajam di lelang Christie’s atau Sotheby’s. “Pameran seni rupa juga bisa memancing pengunjung dalam waktu yang lama. Jadi ada waktu untuk menyiapkan kegiatan lain,” ujar Hong Djien.

Pemandangan proses revitalisasi gedung tua tampak dari jendela di belakang patung “Drupadi” karya Sri Astari.Pembukaan pameran itu jadi semacam gong dimulainya revitalisasi Kota Tua. Acaranya dikemas di bawah judul Fiesta Fatahillah. Ada banyak kegiatan di dalamnya. Seniman video mapping Adi Panuntun menembakkan cahaya pada dinding Museum Sejarah Jakarta. Saat lampu-lampu di Taman Fatahillah dimatikan, dinding museum seketika bermandikan cahaya yang menggambarkan kehidupan urban di Jakarta. Penyair yang juga pakar kuliner, Laksmi Pamuntjak, menyeleksi sejumlah makanan tradisional untuk ditampilkan dalam festival makanan.

Saat menghadiri pembukaan Fiesta Fatahillah, Jokowi, saat itu Gubernur Jakarta, meminta konsorsium bekerja cepat untuk merevitalisasi kawasan sebesar 284 hektare di utara Jakarta. Saat ini, lima gedung di sekitar Taman Fatahillah tengah dikebut untuk direnovasi. Setelah dipugar, Taman Fatahillah kini lebih cantik. Pedagang kali lima dan reklame dibersihkan. Arus lalu lintas direkayasa sehingga tak melewati jalan utama di sekitar Taman Fatahillah. Di tahap berikutnya, pihak konsorsium bakal menghidupkan poros strategis yang menghubungkan aktivitas perdagangan di Glodok, keuangan di Pinangsia, dan kebudayaan di Taman Fatahillah.

Demikianlah, sebuah galeri baru telah lahir. Ruang seni ini dibebani tugas meracik kegiatan kreatif yang akan menghidupkan Kota Tua sekaligus memikat massa. Dengan fokus pada seni kontemporer, ruang ini juga akan menyuntikkan gairah segar pada Kota Tua. Saat publik bernostalgia menghirup kemegahan bangunan uzur, mereka bisa melihat pencapaian seniman masa kini.

Pengunjung Taman Fatahilah menyimak pelang pengumuman di depan pintu masuk Gedung Kantor Pos.

PANDUAN
Rute
Ada banyak cara untuk menjangkau kawasan Kota Tua. Selain kendaraan pribadi atau taksi, Anda bisa memanfaatkan Bus Transjakarta (transjakarta.co.id) yang relatif bebas macet. Moda baru Bus Tingkat Wisata rencananya akan memperpanjang rutenya hingga Kota Tua.

Informasi
Aktivitas yang terkait proyek revitalisasi, termasuk agenda Galeria Fatahillah, bisa disimak di situs milik Kelompok Pelestarian Budaya Kota Tua Jakarta (jeforah.org). Pameran seni rupa kontemporer yang kini sedang digelar di sana rencananya akan berakhir pada 13 September 2014. Jika membutuhkan informasi umum seputar Kota Tua dan obyek-obyek wisatanya, salah satu tempat terbaik untuk menggali adalah kotatuajakarta.org.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Ags 2014 (“Gairah Muda Kota Tua”)

Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment

0.0/5