Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membelah Hutan Rimba Kamboja

Seorang turis melompat dari tebing di dekat 4 Rivers Floating Lodge, penginapan termewah di Koh Kong.

Oleh Denise Hruby
Foto oleh Hannah Reyes

Di atas perahu, sinyal terus menyusut. Di pojok kanan layar telepon genggam, hanya dua balok hitam yang tersisa. Semenit kemudian, satu balok hilang. Di samping saya, belukar bergesekan, memecah hening. Mungkin ada buaya di sana, kata juru mudi, tapi bisa juga kancil, mamalia mungil yang terancam punah di hutan ini.

Saya kembali memelototi telepon genggam. Sinyal kini sepenuhnya raib. Sungai Tatai sepertinya hendak menutup saluran komunikasi saya dengan dunia luar. “Sinyal tak akan pulih,” kata juru mudi sembari cekikikan.

Pemburu yang beralih profesi menjadi pemandu seiring merekahnya bisnis pariwisata.

Desa terdekat berjarak beberapa jam lagi ke arah hulu. Andaikan perang pecah di luar sana, beritanya butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sini, ke Pegunungan Cardamom, sebuah dunia yang seolah terpisah dari orbit peradaban. “Semua turis yang ke sini pasti merasa cemas,” kata juru mudi lagi. “Dan wajah mereka terlihat persis seperti Anda.” Dia kembali cekikikan.

Saya melempar pandangan ke lambung perahu, kemudian ke rimba lebat di mana ranting dan daun saling sengkarut membentuk dinding tebal. Saya menarik napas panjang, mengisi paru-paru dengan udara segar, menghirup aroma melati dan anggrek yang menyegarkan. Tubuh saya rileks. Pikiran tenang. Saya tak lagi peduli pada sinyal telepon.

Saya tengah memasuki dunia tersembunyi Cardamom, Kamboja. Pegunungan rimbun di Provinsi Koh Kong ini menampung hutan hujan luas yang menghidupi beragam fauna dan flora, serta menyimpan begitu banyak rahasia alam. Hanya segelintir orang yang pernah melancong ke kawasan pelosok ini, dan mereka yang akhirnya datang menerima ganjaran sepadan: lanskap yang begitu memukau hingga memaksa kita merenungkan proses penciptaan bumi.

Hutan seluas 809.000 hektare ini ditumbuhi pinus, bakau, conifer, serta 17 spesies pohon yang terancam punah. Mereka tersebar dari dataran rendah hingga atap-atap gunung yang menjulang lebih dari 1.000 meter. Kawasan ini juga mengoleksi banyak air terjun; sebagian hanya bisa dicapai dengan mendaki selama beberapa hari.

Jauh di dalam rahim hutan, spesies liar dan elusif berkeliaran. Banyak dari mereka kondisinya kritis, mendekati kepunahan. Beberapa merupakan satwa asli Asia Tenggara, misalnya gajah Asia, owa, beruang madu, dan tenggiling. Di semak-semak, laba-laba merajut sarang dengan terampil, sementara ular melompat lincah dari dahan ke dahan. Burung-burung bersiul, berkicau, menciptakan komposisi rusuh yang merayap di puncak-puncak berkabut.

Pagoda di desa nelayan Koh Solao.

Cardamom membawa saya lari dari peradaban, walau petualangan sebenarnya belumlah dimulai. Beberapa hari ke depan, saya akan menaiki kayak dan menelusuri hutan bakau, selanjutnya mendaki gunung dan mandi di kaki air terjun. Selang 20 menit, hutan kian rapat. Perahu menikung dan saya melihat barisan tenda putih. Kami telah mendarat di 4 Rivers Floating Lodge, penginapan ramah lingkungan yang menaungi 12 tenda yang ditata mengikuti meander sungai.

Saya melompat ke ponton, menikmati segelas teh serai dingin, sementara staf resor membongkar muatan perahu. Perahu ini mengangkut keju, wine, serta benda-benda lain yang mustahil diproduksi di hutan. “Kami membatasi jadwal trip perahu maksimum dua kali per hari, supaya alam tidak terlalu terusik,” ujar Anna Pawlik-Szocs. Dia dan suaminya, Valentin, merintis 4 Rivers pada 2009.

“Sejak awal kami berniat menciptakan bisnis berskala kecil yang berkelanjutan,” tambah wanita Filipina itu lagi. Dia menunjukkan satu aplikasinya: penggunaan energi terbarukan. Di siang hari, tenda-tenda resor menggunakan listrik tenaga surya, sementara di malam hari mengandalkan listrik biofuel yang dihasilkan dari limbah.

Kisah Anna dan Valentin di Koh Kong dimulai jauh sebelum mendirikan 4 Rivers. Keduanya pernah bersahabat dengan seorang konservasionis, dan kadang pergi menemaninya ke hutan pada akhir pekan. “Waktu itu kami tidur di hammock, karena memang tidak ada penginapan. Pengalaman yang berkesan sekaligus misterius. Kami merasa memiliki tempat retret rahasia,” kenang Anna.

Retret rahasia itulah yang kemudian menjadi moto 4 Rivers. Anna dan suaminya ingin menciptakan penginapan tersembunyi yang menawarkan keheningan. Agar tempat retret ini langgeng, keduanya memilih konsep properti ramah lingkungan yang berfaedah bagi masyarakat setempat. “Inilah komitmen kami untuk Koh Kong,” ujarnya.

Komitmen itu tidak selalu mudah diwujudkan. Di masa-masa awal, Anna bertekad mempekerjakan warga lokal, namun tak seorang pun bisa berbahasa Inggris ataupun berpengalaman di bidang perhotelan. Sebagian warga bahkan merasa skeptis akan konsep resor. Banyak orang bertanya-tanya, apa gunanya mendirikan tenda di atas sungai? “Mulanya kami mengira mereka agak gila,” kata Vy Chea Roda, salah seorang staf senior 4 Rivers. “Saat mereka pertama kali menjelaskan konsep resor, saya sama sekali tidak mengerti.”

Vy terlibat dalam pendirian resor. Selama tiga bulan, dia dan rekan-rekannya menghabiskan waktu dengan berendam di sungai. Mereka menanam batang-batang besi, merangkai tenda-tenda putih, menyambungnya dengan jembatan, terus bekerja bahkan kala badai menerjang.

Kiri-kanan: Pemandangan bantaran Sungai Tatai; Kayak bisa dinikmati secara sonder bayar di 4 Rivers Floating Lodge.

“Tukang-tukang dari luar daerah mungkin sudah menyerah dalam hitungan hari. Kami memulainya di musim kemarau, saat air keruh, jadi kami tidak bisa melihat dengan jelas,” kenang Vy. “Tapi kami terbiasa dengan medan itu. Kami dibesarkan di sini, terbiasa berenang dan menyelam di sungai.”

Dusun kecil tempat Vy hidup berada tepat di seberang 4 Rivers. Dia mengajak saya melintasi sungai dan berkunjung ke rumahnya. Pria berusia 26 tahun ini ingin bercerita tentang masa lalunya, juga tentang beratnya hidup di kawasan terpencil di tepi Kamboja ini.

Sekolah berjarak begitu jauh, hingga orang tua Vy hanya sanggup membiayai pendidikannya selama empat tahun. Usai menguasai kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung—pencapaian luhur bagi seorang petani di Koh Kong—Vy mulai bekerja di sawah guna menopang kas keluarga, walau dia kemudian menyadari bakat terbesarnya adalah menangkap kepiting di sungai.

Dulu, saat hendak berbelanja, penduduk kampung mengumpulkan uang sekali per minggu, lalu mengutus seseorang ke pasar terdekat—yang jaraknya sekitar lima jam dengan perahu! Kondisinya sekarang lebih baik. Sebuah jembatan telah dibentangkan. Sebuah pasar yang lebih dekat juga sudah dibuka. “Semua orang juga telah memiliki mata pencaharian yang menjanjikan,” ujar Vy saat kami memasuki rumahnya. “Saya lebih beruntung. ‘Kantor’ saya sangat dekat dari rumah.”

Rute trekking menaiki Gunung Ta Kiev yang masih ala kadarnya.

Bersama istri dan anaknya yang masih bayi, Vy tinggal di sebuah rumah kayu yang separuhnya berada di atas sungai. “Ketika saya masih kecil, orang-orang hanya bisa mengandalkan daun untuk melapisi atap,” katanya. Sekarang, mayoritas atap berbahan kayu, sehingga interior rumah tetap kering selama musim badai.

Secara umum, dusun berisi 12 keluarga ini hidup mandiri dengan mengandalkan apa saja yang disajikan bumi: ayam, padi, kacang mete, nanas, serta durian. Air untuk memasak diambil dari sungai, sementara air minum dari air terjun terdekat. Kepiting juga merupakan sumber uang dan gizi yang populer.

Vy mengangkat tutup barel di dekat rumahnya dan memperlihatkan puluhan ekor kepiting yang tengah bergulat berebut tempat. Desa ini sebenarnya terpisah jauh dari Teluk Siam, tapi kepiting mudah ditemukan di sekitarnya. Saban hari, air pasang mengirimkan arus, mencampur air asin dan tawar, hingga menciptakan habitat yang ideal bagi kepiting. Di dekat rumah Vy, 20 orang telaten menambal jaring, sementara seorang nenek tekun mencabuti cangkang kepiting.

Kehadiran 4 Rivers membuka peluang baru bagi dusun tersebut. Warga kini bisa bersandar pada pariwisata. Resor ini mempekerjakan 10 warga, sisanya didatangkan dari provinsi lain. Tapi kehadiran 4 Rivers sebenarnya punya makna yang lebih penting dari sekadar memberi gaji bulanan. Tempat ini menyadarkan warga tentang pentingnya merawat lingkungan: bahwa alam yang terjaga merupakan aset yang bisa mendatangkan uang. Dulu, sebelum resor didirikan, sebelum warga mengenal bahasa Inggris, banyak orang menambal kas dengan berburu satwa. “Kami semua berburu. Semua pria, termasuk saya,” ujar Vy.

Satwa-satwa liar Cardamom telah lama menjadi target operasi kaum pemburu. Harimau berada di ambang kepunahan, sementara gajah mulai memasuki kondisi genting. Begitu pula tenggiling, hewan bersisik yang punya tempat khusus dalam tradisi pengobatan Cina.

Seorang tetangga Vy menunjukkan peralatan berburunya yang sudah usang. Ada beberapa tombak dan jaring, serta sebuah senapan yang dirakit dari batang kelapa dan potongan besi bekas. Berburu, ujarnya, adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya. Satu misi perburuan biasanya melibatkan empat pria yang dipecah menjadi dua tim.

Panorama pegunungan rimbun Cardamom di Provinsi Koh Kong, sisi barat Kamboja.

Selama berhari-hari, mereka berjalan menyisir hutan dengan bekal tempat tidur gantung, air minum, juga nasi bungkus. Acap kali mereka kembali dengan tangan hampa. Kadang, mereka tidak kembali sama sekali. Tapi jika sebuah perburuan moncer, hasilnya bisa menafkahi seisi kampung lebih dari sebulan. Tenggiling, kancil, dan landak—tiga satwa yang dilindungi hukum Kamboja—dihargai beberapa ratus dolar di pasar gelap.

Banyak aktivis terjun ke desa guna membuka wawasan warga tentang dampak perburuan. Bagi ahli biologi, Cardamom adalah suaka yang dipenuhi keajaiban. Spesies baru ditemukan saban tahun. Sayangnya, ekologi tempat ini terus saja terkikis.

Tapi perburuan bukanlah satu-satunya masalah. Banyak satwa kian terdesak akibat invasi manusia. Para pembalak terus menggerogoti pohon. Sebuah perusahaan asal RRC tengah membangun bendungan dan instalasi listrik tenaga air. Mesin-mesin mereka mengisap pasir dari dasar sungai. Sejumlah pengembang mengerek hotel mewah.

Melihat kondisi itu, para pemerhati lingkungan memukul lonceng bahaya. Salah satu hutan terluas di Asia Tenggara, kata mereka, sedang berada di persimpangan nasib. “Tempat ini bakal raib,” kata Neang Thy, herpetolog terpandang di Kamboja. Neang, seorang konservasionis di LSM Conservation International, telah mengidentifikasi 25 spesies baru di Cardamom, dan statistik itu masih bisa bertambah. “Pastinya masih bisa bertambah,” ujarnya. “Sementara ini, kami memilih lokasi penelitian secara sporadis. Tapi bahkan dengan cara itu saja kami bisa menemukan setidaknya tiga spesies baru per bulan.”

Bersama beberapa ilmuwan, Neang kini mendata populasi gajah Asia dengan mengambil sampel feses dan memetakan DNA pemiliknya. Hasilnya diharapkan bisa menjawab pertanyaan banyak pihak: benarkah Koh Kong menampung populasi gajah liar terbanyak di Asia Tenggara?

Warga desa merajut jaring untuk menangkap ikan dan kepiting.

Pendataan itu bakal menjadi amunisi baru dalam menggencarkan upaya konservasi, walau Neang sebenarnya cemas gajah-gajah di Koh Kong tak sanggup menunggu data kelar diolah. Dia berkejaran dengan waktu. Penebangan pohon terlalu marak. Konstruksi jalan dan bendungan telah melahap banyak habitat satwa. “Jika gajah-gajah kurang gesit bermigrasi, mereka akan punah,” jelas Neang. Membuka hari, saya melompat dari ponton, lalu membenamkan kaki dalam lapisan hangat dan dingin Sungai Tatai—sebuah kombinasi unik yang dihasilkan dari campuran air asin dan tawar.

Capung dan burung melesat gesit sembari mencakar-cakar permukaan sungai. Sinar surya mengecat hutan dengan warna kuning lembut. Hari ini, saya akan mendaki Gunung Ta Kiev —ekspedisi yang sudah lama saya nantikan. Selagi remaja, hampir setiap akhir pekan saya mendaki Pegunungan Alpen. Jalur pendakiannya tertata, hingga saya bisa menggapai puncak tanpa dituntun kakek. Di sepanjang jalur juga terdapat pos-pos yang memajang deskripsi flora dan fauna.

Dengan tekun memandangi papan-papan informasi, saya belajar banyak hal, misalnya tentang bagaimana pohon oak menjadi habitat bagi 1.000 spesies serangga, atau bagaimana cemara sapih bisa mencapai usia 800 tahun. Kondisinya jauh berbeda di Koh Kong. Jalur pendakian tidak tersedia, apalagi papan informasi yang menjelaskan keanekaragaman hayati hutan.

Kami membelah pematang sawah menuju kaki Gunung Ta Kiev, mengikuti suara lengkingan owa yang memantul-mantul di dinding gunung. Kupu-kupu berputar-putar di sekitar kepala saya seolah hendak memamerkan kecantikannya. Sembari setengah memanjat, Naren, pemandu saya, terus mengayunkan parang untuk membabat semak, berusaha memastikan saya tidak terjerat jaring laba-laba beracun. Sesekali, dia menunjukkan makhluk-makhluk mungil, salah satunya lelompat daun (leafhoppers) yang berwarna jingga dan hijau—kombinasi corak elok yang justru menandakan bahaya.

Air terjun mini di dekat 4 Rivers Floating Lodge.

Pendakian Ta Kiev cukup merepotkan. Kami seperti membaca dalam gelap. Jika pun ada jalur pendakian, bentuknya hanyalah jalan setapak samar yang dibuat oleh jagawana atau pemburu. Dalam beberapa hari ke depan, hutan akan mengubur jalan itu dengan daun dan ranting, menghapus bukti-bukti kehadiran manusia.

Saat kami merangkak di pinggang gunung, Naren mengaku bahwa dia sebenarnya berasal dari luar Koh Kong. Dulu, selama bertahun-tahun, pemuda bengal ini bekerja sebagai buruh bangunan di Phnom Penh. Ketika sebuah perusahaan RRC menawarinya upah harian yang lebih tinggi dengan bekerja di sebuah proyek resor di Koh Kong, dia pun memutuskan pindah.

Setelah beberapa jam, kami berhasil menaklukkan puncak Ta Kiev. Dari ketinggian di atas 1.000 meter, hutan terlihat sama rapatnya seperti di kaki gunung. Matahari, yang tadinya baru mengintip di ufuk timur, kini bersinar terik di atas kepala. Saya pun mulai memahami seberapa luas hutan ini sebenarnya. Sejauh mata memandang, bukit dan gunung bersaing menggapai langit.

Melalui punggung Ta Kiev, kami turun menuju sungai sempit, lalu berjalan kembali ke Tatai dan 4 Rivers. Naren kini menuturkan kisahnya sebagai pemandu. Katanya, 4 Rivers telah menjadi keluarga barunya, sebuah tempat yang mengajarinya cara hidup baru yang lebih menyenangkan. “Saat saya mengabdi untuk perusahaan konstruksi, saya tidak pernah memikirkan konsekuensi dari pekerjaan saya,” ujarnya. Kala itu, Naren hanya ingin menikmati buah dari kerja kerasnya: upah harian yang layak dan makanan hangat tiga kali sehari—kemewahan hidup yang jarang dinikmati saudara sebangsanya.

Sejumlah siswa di desa nelayan Koh Solao sedang menikmati waktu istirahat di halaman sekolah.

Tempat Naren bekerja dulu adalah perusahaan RRC bernama Union Development Group. Perusahaan ini mendapatkan konsesi lahan 45.000 hektare di zona taman nasional. Bermodalkan investasi senilai $3,8 miliar, mereka membuka hutan untuk membangun sebuah resor mewah yang dilengkapi lapangan golf, kasino, dan landasan helikopter. Lokasi proyek tersebut berjarak beberapa jam dari Tatai, tapi para pakar melihatnya sebagai ancaman ekologi terhadap seantero Cardamom.

Naren mengaku ingin menetap di Koh Kong, karena hidup di sini lebih nyaman dibandingkan di kota. Dia juga tidak ingin kembali menjadi buruh bangunan. “Apa yang saya lakukan sekarang jauh lebih baik; saya bisa turut menjaga alam.” “Lihatlah,” ujarnya seraya memutar kepala, “di sini tidak ada mobil, tidak ada jalan bising. Tidak ada yang peduli tentang model pakaian yang Anda kenakan atau berapa gaji yang Anda hasilkan.”

Itulah yang memikat dari Koh Kong, sebuah tempat yang sederhana dan asri. Naren tak yakin resor berisi kelab malam bisa membawa kebaikan pada tempat yang terpencil ini. “Sebuah klub malam?” tanyanya penuh amarah. Di hadapan kami, seekor elang menukik ke sungai, menyelam selama sepersekian detik, lalu menyeruak dengan ikan tercapit di paruhnya. “Kelab malam hanya akan membawa kebisingan, musik yang bising.” “Sebagian orang mungkin menyukainya,” lanjutnya sembari menatap barisan bakau yang berkilauan disiram sinar mentari, “tapi di sini, kami lebih menyukai keheningan.”

Resor 4 Rivers Floating Lodge dibangun di atas sungai.

PANDUAN
Rute
Dari Phnom Penh, Anda bisa menaiki taksi (Rp1.100.000 sekali jalan) atau angkot minivan (Rp180.000 sekali jalan) menuju Koh Kong dengan waktu tempuh 4-5 jam. Mayoritas hotel bisa membantu menyiapkan kendaraan. Penerbangan ke Phnom Penh dilayani antara lain oleh Singapore Airlines (singaporeair.com) via Singapura, serta AirAsia (airasia.com) dan Malaysia Airlines (malaysiaairlines.com) via Kuala Lumpur.

Penginapan
Salah satu resor di Koh Kong, 4 Rivers Floating Lodge (Tatai, Koh Kong; 855-97/6434-032; ecolodges.asia; doubles mulai dari Rp3.138.000), menaungi selusin tenda yang mengambang di tepian Sungai Tatai. Fasilitasnya antara lain kamar mandi dengan shower, televisi, serta dek berjemur. Di sini, beragam menu disajikan di sesi sarapan, camilan disuguhkan selama menginap, dan dua opsi paket menu ditawarkan di jam makan malam. Selain servisnya nyaris tanpa cela, resor ini sangat nyaman.

Aktivitas
Kebanyakan resor menawarkan paket tur yang dikemas rapi, mencakup penjemputan, pemandu berbahasa Inggris, serta makan siang. Berdurasi antara setengah hari hingga tiga hari, tur biasanya mencakup ekspedisi ke Lembah Areng, aktivitas birdwatching, serta mendaki Gunung Ta Kiev. Sempatkan waktu melawat desa terpencil guna mengenal adat lokal dan mempelajari bagaimana warga hidup bersandar pada alam. Cicipi juga atraksi bermain kayak menyusuri hutan bakau. (Kayaking, memancing, dan trip perahu melihat sunset bisa dinikmati gratis di 4 Rivers.)

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2016 (“Gelap Terang Cardamon”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5