Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Karimunjawa, Antara Wisata dan Kerusakan Alam

Seorang turis sedang bersantai di Pulau Cemara Besar.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Muhammad Fadli

Di Karimunjawa, ada lebih banyak pulau ketimbang mobil. Ada lebih banyak ikan ketimbang manusia. Gisela Williams datang ke sini pada 2012 dan meninggalkan julukan manis dalam artikelnya: Maladewa tanpa pariwisata. Mungkin klise, tapi cukup akurat. Terhampar di utara Jawa Tengah, Karimunjawa adalah kompleks lazuardi yang terdiri dari 27 pulau. Cuma lima di antaranya yang berpenghuni. Luasnya hampir dua kali Jakarta, tapi populasinya hanya 10 ribu jiwa.

Sudah setahun penulis yang diutus The New York Times itu beranjak dari bumi Karimunjawa. Menekan tombol fast forward, kita dihadapkan pada produk sebuah transformasi besar. Transformasi yang digerakkan oleh mesin pariwisata. Tiap akhir pekan, lebih dari 600 turis berdatangan. Guna mengakomodasi mereka, masyarakat mendirikan sekitar 50 hotel. Ke tempat inilah saya berkunjung.

Kiri-kanan: Pemandangan cantik Karimunjawa; Pepohonan kelapa di kawasan pantai.
Kiri-kanan: Pemandangan cantik Karimunjawa; pepohonan kelapa di kawasan pantai.

Sabtu pagi, kapal cepat Kartini membelah keheningan di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, lalu meluncur 120 kilometer ke utara. Di dalam kabinnya, grup-grup wisata duduk berkelompok dalam pakaian berwarna senada. Mei adalah bulan pembuka di musim turis. Angin barat telah berlalu. Ombak lebih jinak. Seluruh operator tur memasang kuda-kuda untuk memanen rupiah.

Tapi siklus musim tak selalu mematuhi skenario baku pengamat cuaca. Pagi ini, Laut Jawa seperti melawan takdirnya. Gulungan air setinggi satu setengah meter menerjang konstan dan mengocok perut para penumpang. Kartini yang gagah limbung. Saat hantaman ombak terlalu deras, nakhoda kadang menghentikan mesin selama beberapa detik.

Gejala keganasan laut itu terbaca di 20 menit pertama. Usai sesi berdoa, petugas membagikan kantong plastik. Satu per satu, sejumlah penumpang mencelupkan wajahnya ke dalam kantong. Muntah mirip menguap—aktivitas biologis yang menular bak wabah di udara. Bukan pemandangan yang ideal untuk mengawali liburan. Saya berusaha memfo-kuskan perhatian ke film Avatar di layar televisi.

Pulau Cemara Besar.

Sulitnya memprediksi laut adalah alasan Kura Kura Resort, salah satu penginapan di Karimunjawa, menyediakan layanan pesawat dari Semarang. Dengan durasi terbang hanya 40 menit, penumpang bisa langsung mendarat di Bandara Dewadaru. Sayang, akibat minim penumpang, dua maskapai yang memiliki rute ke sini—Kura Kura Aviation dan Deraya—berhenti beroperasi. Yang tersisa hanyalah pesawat carter milik Asco Nusa Air.

Dua tahun lagi, situasi itu mungkin akan berubah. Arus turis memberi alasan bagi pemerintah setempat membenahi akses jalur udara. Bandara Dewadaru, yang namanya diambil dari nama tanaman lokal, akan diperpanjang landasannya agar maskapai berjadwal semacam Kal Star sudi mampir. Jika sudah terwujud, wisatawan tak perlu lagi bertarung dengan Laut Jawa dan mencelupkan wajahnya ke kantong plastik demi menikmati liburan.

Pantai Nirwana.

Kartini akhirnya berlabuh di Pulau Karimunjawa, pulau terbesar di kepulauan ini. Waktu tempuh molor 30 menit. “Saya kira tidak jadi datang,” ujar Eko Budi Susanto, staf Kura Kura Resort. “Tadi saya dengar kabar, ombak mencapai dua meter dan jadwal kapal dibatalkan.” Di jalur labil Karimunjawa, kapal gagal berangkat adalah tragedi yang harus dimaklumi. Tahun lalu, seorang teman bahkan terjebak selama empat hari akibat cuaca buruk.

Kendati harus bertaruh dengan laut temperamental, keinginan melihat replika Maladewa terus mendorong pelancong menyatroni pulau-pulau anggun Karimunjawa. Di pertengahan tahun, ketika permukaan air tenang seperti danau, jumlah turis mencapai puncaknya. Di musim ombak dari Januari hingga Februari, bumi Karimunjawa terisolasi dari dunia. Namun, di tempat secantik ini, isolasi tidak berarti bui, malah bisa jadi disambut dengan lapang hati.

Pelaut-pelaut asing juga sudah lama kepincut oleh karisma tempat ini. Ajang anual Sail Indonesia selalu mencantumkan Karimunjawa dalam rute pelayarannya. Juli tahun ini, lebih dari 150 kapal layar bertolak dari Darwin, berputar-putar selama tujuh minggu di Nusa Tenggara Timur, kemudian singgah di Karimunjawa sebelum meluncur ke Bintan dan Singapura.

Kiri-kanan: Pantai Nirwana di area Nirwana Laut Resort; bersantai di Pulau Geleang.

Dalam peta ekspedisi maritim, peran Karimunjawa juga signifikan. Tongkang batu bara dan alat berat dari Kalimantan rutin singgah guna melego jangkar dan mengisi ulang perbekalan. Saat cuaca ekstrem, pulau-pulau di sini bertindak layaknya pemecah ombak alami yang menyediakan perlindungan bagi pelaut dalam pelayaran ke Surabaya atau Cirebon.

Dari dermaga, saya menaiki speedboat, lalu meluncur ke Kura Kura Resort. Laut masih ganas. Tak ada kantong plastik. Tak ada film Avatar. Saya mengobati perut mual dengan menebarkan pandangan ke pulau-pulau mungil dan pantai-pantainya yang menyilaukan di bawah sorotan matahari terik bulan Mei.

Ada lebih banyak pohon kelapa ketimbang bangunan. Ada lebih banyak penyu ketimbang telepon genggam. Kura Kura Resort mengingatkan kita pada resor-resor di—lagi-lagi—Maladewa. Pondok-pondok mungil beratap sirap dan jerami bertaburan menghadap lautan yang ditaburi pulau. Dindingnya dicat putih, seputih pasir tempatnya berpijak. Air desalinasi di kamar dialirkan dari sumur payau di tengah pulau. Listriknya diproduksi oleh generator yang bekerja nonstop, tak seperti listrik PLN yang menyala hanya di malam hari.

Kiri-kanan: Seorang staf di Kura-Kura Resort; salah satu dekorasi dinding di kamar villa Kura-Kura Resort.

Mayoritas tamu resor berasal dari Eropa, sampai-sampai saya pun merasa perlu membawa paspor. Kura Kura Resort berlokasi di Pulau Menyawakan. Luasnya 22 hektare. Dalam waktu 30 menit, saya dapat mengelilinginya dengan berjalan kaki, melewati barisan pohon kelapa yang buahnya sengaja dibabat. (Di Maladewa sekalipun, lebih banyak orang tewas akibat tertimpa buah kelapa ketimbang diterkam hiu.) Nama Kura Kura Resort terinspirasi dari bentuk Menyawakan saat dilihat dari udara.

Dari November hingga Maret, saat cuaca di puncak emosinya, Kura Kura Resort menjalani sesi hibernasi. Sebagian staf dirumahkan, sisanya tinggal untuk memperbaiki fasilitas. Saya duduk di tepi pantai sembari menikmati welcome drink dan menyaksikan para tukang membetulkan dermaga memakai balok-balok kayu asal Jepara. Tak lama berselang, menu makan siang disajikan: vitello tonnato, masakan klasik Italia berisi lembaran tipis daging sapi remaja yang diguyur saus rasa tuna.

Sejarah Kura Kura Resort menyatu dengan sejarah pariwisata di Karimunjawa. Properti ini diresmikan di 1999, saat Indonesia berjuang mengobati krisis ekonomi dan Karimunjawa masih berada di luar radar wisatawan. Kala isu kepemilikan pulau oleh warga asing panas dipergunjingkan, saya sempat mewawancarai Ake Sorenlax, pendiri Kura Kura Resort. Mereka yang dulu mencercanya mungkin kini patut meminta maaf. Berkat upaya promosinya yang gencar, pria asal Swedia itu sukses menempatkan Karimunjawa dalam orbit turis internasional. Sejak 2007, Kura Kura Resort dimiliki Pietro Tura, hotelier asal Italia. Tapi Sorenlax masih dikenang warga sebagai tokoh sentral dalam industri pariwisata Karimunjawa.

Kiri-kanan: Bermain kayak di Kura-Kura Resort; Seorang turis di Karimunjawa.
Kiri-kanan: Bermain kayak di Kura-Kura Resort; seorang turis di Karimunjawa.

Di depan pondokan saya, kursi-kursi ditata menghadap laut. Pohon-pohon menaunginya dan menghadirkan keteduhan. Resor ini dirancang untuk mengajak kita melewati waktu dengan bermalas-malasan, tanpa merasa bersalah. Selain untuk relaksasi, tamu-tamu Eropa datang untuk menyelam. Survei ekologi oleh Wildlife Conservation Society menemukan, Karimunjawa dihuni hampir 250 spesies ikan karang dan 100 spesies koral. Pada 2001, 22 dari total 27 pulau di sini ditetapkan sebagai taman nasional. “Whale shark lewat tiap akhir tahun. Lumba-lumba ada banyak. Sangat banyak,” jelas Renato Ticozzi, dive master Kura Kura Resort. Saya mengobrol dengan pria asal Italia ini di dekat kolam renang—satu-satunya kolam renang di Karimunjawa.

Sebelum hijrah ke Kura Kura Resort, Renato bekerja di Afrika dan Maladewa. Sosoknya mirip nelayan di kawasan Mediterania. Kulitnya kecokelatan setelah 26 tahun bergelut di laut. Rambutnya ikal. Kumisnya tebal dan beruban. Lima tahun memandu turis di Karimunjawa, dia berhasil memetakan 25 titik diving. “Waktu menyelam terbaik adalah April-Juni dan September-Oktober,” katanya.

Bersinarnya pamor Karimunjawa berimbas ke Kura Kura Resort. Jika di masa awal berdiri hanya memiliki lima cottage, jumlahnya kini mencapai 15. Lima tahun silam, pemilik menambahkan 19 unit vila yang dilengkapi kolam renang. Entah mengapa orang membutuhkan kolam renang saat laut turkuois bisa dihampiri dengan berjalan kaki.

“Di Agustus, semua kamar umumnya penuh terisi,” jelas Yunita Agustina yang bertugas mengurus reservasi. Di periode ramai turis ini pula, sembilan perahu milik resor sibuk hilir mudik menjemput tamu, membawa mereka ke titik-titik selam, atau menyeberang ke Pulau Krakal Kecil, di mana tamu bisa menikmati paket Cast Away: menetap di cottage tanpa listrik dan bertahan hidup di tengah laut. Seperti yang dipertontonkan Tom Hanks di film Cast Away, namun minus Wilson si bola voli.

Kiri-kanan: Sajian makanan Itali di Kura-Kura Resort; makan malam di Kura-Kura Resort bisa dilakukan di bawah taburan bintang.

Ada lebih banyak perahu ketimbang sepeda motor. Ada lebih banyak unggas ketimbang televisi. Modernisasi sudah membasuh Pulau Karimunjawa, tapi pola hidup masyarakat belum sepenuhnya berubah. Siaran langsung sepak bola hanya bisa disaksikan di beberapa rumah yang memiliki antena UHF cukup jangkung. Pom bensin sudah ada, tapi belum beroperasi sejak diresmikan tahun lalu. Di beberapa sudut pulau, sinyal telepon genggam raib sepenuhnya.

Pulau ini menawarkan kesenangan dengan caranya sendiri. Lemahnya koneksi internet memaksa tamu mengisi waktu dengan cara-cara lama: berkumpul dengan teman, mengobrol, dan mendengarkan musik dari radio. Dari 10 ribu populasi Karimunjawa, lebih dari separuhnya menetap di pulau ini. Komu-nitas Bugis dan Bajo hidup di area terpisah di pesisir. Sisanya adalah masyarakat Suku Jawa dan Madura.

Pulau Karimunjawa adalah episentrum kehidupan di Kepulauan Karimunjawa. Kantor pemerintahan, sekolah, puskesmas, bandara, serta dermaga, berada di sini. Jalan aspal sempit meng-ular dari pesisir hingga lereng perbukitan di jantung pulau. Di sore hari, saat listrik mulai menyala, alun-alunnya dipenuhi remaja dan pelancong. Selepas pukul 21, kehidupan berhenti dan pulau ini terlelap dalam sepi.

Kiri-kanan: Sawah di Desa Kemujan; Mercusuar di tebing Pantai Nirwana.
Kiri-kanan: Sawah di Desa Kemujan; Mercusuar di tebing Pantai Nirwana.

Mayoritas penginapan juga berbasis di Pulau Karimunjawa. Umumnya berbentuk homestay dan hotel melati dengan desain yang menyerupai indekos. Salah satu penginapan di sini, Nirwana Laut Resort, rutin menggelar beach party di malam pergantian tahun. Pengelola mengimpor DJ dan menyulap segaris pantai cokelat di samping resor menjadi ruang paling meriah di pulau ini.

“Karimunjawa mulai berkembang menjadi destinasi wisata sejak 2008,” ujar Muchamad Shaiful. Pria 40 tahun ini adalah salah seorang perintis bisnis pariwisata. Pada 1999, saat tanah kelahirannya belum dilirik operator tur, dia bergerilya ke Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang untuk menawarkan  paket-paket wisata. “Waktu itu belum ada hotel, tamu menginap di rumah-rumah warga.”

Tiga tahun silam, Shaiful meluncurkan situs bagi operatornya. Bermodalkan pengalaman bekerja di Pusat Informasi Turis, dia menciptakan paket-paket atraktif untuk memikat tamu, termasuk menyediakan perahu, menyuplai makanan, hingga menyewakan sepeda motor. Per bulannya, Shaiful mendapatkan rata-rata 300 klien. Dia kini sedang mengumpulkan uang untuk mengirimkan putrinya ke Universitas Diponegoro.

Kiri-kanan: Seorang nelayan di Pulau Tengah; Juru kunci makam Sunan Nyamplungan
Kiri-kanan: Seorang nelayan di Pulau Tengah; Juru kunci makam Sunan Nyamplungan

Shaiful tidak sendirian. Pariwisata mendatangkan berkah bagi banyak orang. Para ibu mengail rupiah dengan menjajakan kamar-kamar di rumahnya. Kaum nelayan menambah kas dengan menyewakan perahunya. Sekitar 30 perahu kini rutin beroperasi mengangkut tamu ke pulau-pulau kecil. Sejak 2004, Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) didirikan dan menawarkan para pemuda opsi profesi baru: pemandu. Jumlahnya kini 90 orang.

Dampak dari suburnya turisme itu terlihat jelas. Nyaris semua rumah berbentuk struktur permanen. Hampir setiap kepala keluarga memiliki sepeda motor. Tak ada pengamen, pengemis, gelandangan, ataupun tukang parkir. Standar hidup yang baik tak cuma memungkinkan Shaiful dan rekan-rekannya mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, tapi juga menurunkan angka kriminalitas. Rumah tanpa pagar dan motor yang ditinggal di tepi jalan dengan kunci masih tercantol adalah fenomena lumrah. (Walau bisa jadi fenomena itu turut didukung oleh faktor geografis. Di pulau yang dikurung laut ini, maling tak punya banyak ruang untuk bersembunyi dan tak punya cukup celah untuk melarikan diri.

Meluncur 30 menit ke sisi utara pulau, saya singgah di kompleks makam sakral yang bertengger di lereng bukit. Tak ada keterangan di nisannya. Kata penunggu makam, kuburan ini menyimpan jenazah Sunan Nyamplungan, putra Sunan Muria. Almarhum datang ke Karimunjawa untuk mewartakan Islam. Alkisah, suatu hari, secara kremun-kremun dia melihat gugusan pulau di utara Jawa. Dalam bahasa Jawa, kremun berarti samar, terminologi yang kemudian melahirkan nama Karimunjawa.

Kiri-kanan: Seorang turis di Pantai Nirwana; Renato, guru selam di Kura-Kura Resort.

Dari cerita rakyat tentang Sunan Nyamplungan itulah banyak orang percaya, permukiman di Karimunjawa eksis sejak abad ke-15, atau mungkin lebih tua. Empat tahun silam, di perairan Pulau Genting, sebuah penelitian berhasil menemukan serakan keramik sepuh yang diyakini berasal dari zaman Dinasti Ming. Secantik apa Karimunjawa saat itu? Saya hanya bisa berimajinasi.

Dari dermaga di sisi barat, saya menaiki perahu kayu dan memulai kegiatan favorit di Karimunjawa: island hopping. Di bawah siraman gerimis, saya menyambangi pulau-pulau di sisi timur. Di balik permukaan air yang bening, ikan-ikan aneka warna melesat lincah di antara karang. Di tempat yang lain, burung-burung melayang rendah melacak santapan. Kata joki perahu, mayoritas pulau di Karimunjawa sudah dibeli oleh pengusaha dan pejabat. Satu-satunya yang tak bertuan adalah Pulau Gundul, tempat pilot-pilot Angkatan Udara melatih akurasi rudal jet tempur. Tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi berjalan-jalan di pantainya.

Dari kejauhan, pulau-pulau seperti noda hijau di tengah laut biru. Pantainya landai. Pasirnya seputih bedak. Sulit menahan godaan untuk menyatroninya. Mudah dimengerti kenapa baterai kamera adalah barang yang paling banyak dikonsumsi di sini.

Akomodasi vila di Kura-Kura Resort.

Setelah 45 menit, perahu saya bersandar di Pulau Tengah. Tiga cottage di sini laris disewa tamu. Dua di antaranya berbentuk rumah panggung yang berdiri di atas laut dangkal dan terkoneksi oleh jembatan kayu. Tarifnya sangat terjangkau, Rp750 ribu per rumah, dengan kapasitas antara 12 hingga 15 orang. “Pemiliknya pengusaha asal Semarang,” kata Pak Tampi, penjaga pulau. “Penginapan ini sudah ada sejak 1991.” Kami berbincang di pelataran rumahnya yang difungsikan sebagai warung.

Ditemani kopi hangat, di tengah embusan angin yang beraroma garam, Pak Tampi menceritakan bagaimana pariwisata mengubah hidupnya. Selain gaji dari pemilik pulau, dia mendapatkan uang dari penyewaan rumah dan “fee” singgah perahu-perahu tur. Dari bisnis sederhana di surga mungil ini, Pak Tampi tak perlu lagi melaut demi menyambung hidup, dan bahkan sudah mampu membeli sebidang tanah di pesisir sebagai investasi hari tuanya.

Sebelum terlalu jauh berpikir ulang tentang profesi editor majalah, saya melanjutkan tur ke pulau-pulau lain. Salah satu obyek andalan Karimunjawa adalah gosong, pulau pasir yang hanya muncul saat air surut. Merujuk peta, Karimunjawa memiliki tujuh gosong. Hari ini, pulau-pulau pasir itu masih tenggelam sebatas perut. Saya melompat dari perahu dan berenang di airnya yang dangkal. Rasanya seperti berada di kolam cetek di tengah laut dalam.

Kiri-kanan: Awak kapal yang jamak disewa di Karimunjawa; bermain kayak menjadi opsi aktivitas di Kura-Kura Resort.

Perahu bermesin Dongfeng kini merayap ke Pulau Cemara Kecil. Ukuran-nya sesuai dengan namanya: hanya sedikit lebih luas dari lapangan bola basket. Di tepiannya, seorang remaja asal Belanda kamping sejak kemarin. “Saya ingin menyepi dari turis,” katanya sembari menunjukkan lokasi tendanya. Dia mengambil masker dan snorkel, kemudian menikmati keindahan yang tak mungkin ditemukan di negaranya.

Saya menghampiri Pak Harto yang sedang memperbaiki jaring. Di Cemara Kecil, warga Dusun Nyamplungan ini hidup sendiri di gubuk reyot. Alasnya tanah, atapnya jerami. Tak ada pasokan listrik maupun sumber air tawar. “Pulau ini punya Bakrie,” katanya. “Mereka punya tiga pulau. Pantai Tanjung Gelam juga punya mereka.”

Sudah tiga tahun Pak Harto mengurus Cemara Kecil. Karena tak ada kamar untuk disewakan, dia hanya menggan-tungkan harapan pada ikan-ikan di laut dan uang singgah dari turis. “Kenapa tidak minta dibuatkan rumah permanen atau resor?” tanya saya. “Sudah pernah saya tanya dulu. Katanya menunggu Lapindo beres,” jawab Pak Harto diiringi senyum. “Setahu saya, yang mengelola pulau-pulaunya adalah Pak Suryo Sulisto. Dia itu siapa ya? Orangnya pendiam.”

Kiri-kanan: Turis di Pulau Geleang; Turis tengah melakukan snorkeling, aktivitas paling populer di Karimunjawa.
Kiri-kanan: Turis di Pulau Geleang; Turis tengah melakukan snorkeling, aktivitas paling populer di Karimunjawa.

Tak semua pulau seindah tampilannya. Beberapa telah terkontaminasi oleh sampah. Gelas plastik, sandal, dan peralatan makan menodai keindahan pantai. Bertaburan di antara Jawa dan Kalimantan, pulau-pulau di Karimunjawa bagaikan konstelasi planet di tengah galaksi biru yang menarik sampah-sampah dengan gravitasinya. “Sampah di mana-mana di Indonesia,” jelas Angelique, gadis blasteran Jawa-Belanda, yang baru pertama kalinya ke Karimunjawa.

Sampah biasanya bertaburan di pulau yang tak memiliki penjaga. “Yang sering menjadi masalah justru warga lokal yang mengantar tamu. Mereka kerap membuang sampah sembarangan. Kadang turis bule hendak membawa sampah, tapi justru diminta meninggalkannya di pulau,” jelas seorang ibu di Pulau Tengah.

Mangrove di Karimunjawa.

Tantangan lain Karimunjawa adalah illegal fishing. Jauh sebelum berstatus area konservasi, kepulauan ini pernah menjadi ladang potasium dan pukat harimau. Kondisinya kini lebih baik, terutama sejak pariwisata berkembang menjadi bisnis basah. Keinginan turis untuk berenang bersama ikan memicu kesadaran kolektif nelayan untuk meninggalkan metode perikanan yang merusak. Balai Taman Nasional juga telah menetapkan peta zonasi untuk melindungi ekosistem. Beberapa perairan yang menjadi tempat ikan bertelur ditutup untuk umum. Beberapa area lainnya haram untuk dimodifikasi. Namun, seperti kasus sampah, Karimunjawa terjebak di lokasi yang rentan invasi. Penangkap ikan bisa dengan gampang merangsek zona-zona verboten. Promosi atas keindahan laut Karimunjawa tak cuma memikat turis, tapi juga anasir-anasir brutal.

Jagawana taman nasional hanya memiliki dua speedboat untuk mengawasi perairan seluas 112 ribu hektare. Akibat mahalnya harga bahan bakar, patroli menjadi kegiatan yang sangat menguras biaya. “Kami tidak melakukan patroli harian. Paling tidak sebulan sekali,” ujar Anita Fahriza, penyuluh Balai Taman Nasional Karimunjawa. Untuk menyiasati anggaran, pemerintah mendirikan pos di empat pulau dan menyebar “mata-mata” lewat program kemitraan dengan masyarakat. Pada 2005, sebuah perahu dari Jakarta ditangkap setelah ketahuan memakai potasium. Pada 2011, sebuah kapal asal Rembang disergap karena memakai jaring cantrang.

Liza Adhy, staf Kura Kura Resort, punya kenangan buruk tentang illegal fishing. Di malam hari, katanya, belasan perahu kerap menangkap ikan di kawasan Taman Nasional, beberapa memakai pukat harimau. “Sejak 2009 bekerja di sini, saya belum pernah melihat kapal patroli di sekitar resor,” jelas Liza. “Kita beberapa kali memotret nelayan yang mengambil ikan di zona terlarang, lalu dilaporkan ke petugas, tapi belum mendengar ada tindakan setelahnya.”

Setahun setelah Gisela menyematkan pujiannya, Maladewa tanpa pariwisata terancam menjadi Maladewa tanpa ikan. Namun hari ini, Karimunjawa masih bisa membius kita dengan kecantikannya.

Kiri-kanan: Kokpit kapal Cantika Express yang membawa penumpang dari Jepara ke Karimunjawa; Nelayan dengan salah satu tangkapannya.
Kiri-kanan: Kokpit kapal Cantika Express yang membawa penumpang dari Jepara ke Karimunjawa; Nelayan dengan salah satu tangkapannya.

PANDUAN
Rute
Kepulauan Karimunjawa bisa dijangkau dari Semarang menggunakan KMC Kartini (024/7040-0010) yang bertolak tiap Sabtu pagi dari Pelabuhan Tanjung Emas. Opsi lain adalah menaiki pesawat carter Asco Nusa Air dari Semarang ke Bandara Dewadaru di Pulau Karimunjawa. Pemesanan bisa dilakukan melalui Kura Kura Resort. Penerbangan ke Semarang dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Jakarta dan Surabaya; serta oleh Lion Air (lionair.co.id) dari Jakarta, Surabaya, Bali, dan Lombok.

Awan hitam pembawa badai sedang melintas di atas Karimunjawa.

Penginapan
Mayoritas penginapan berlokasi di Pulau Karimunjawa. Resor premium satu-satunya yang berstandar internasional adalah Kura Kura Resort (Pulau Menyawakan; 024/7663-2510; kurakuraresort.com; doubles mulai dari $325). Penginapan yang beroperasi sejak 1999 ini menawarkan dive centre, 15 cottage, dan 19 pool villa, termasuk dua family villa. Atas pertimbangan cuaca, Kura Kura Resort tutup untuk perawatan sejak November hingga Maret.

Kamar tidur di Family Pool Villa.

Aktivitas
Tur pulau adalah aktivitas paling populer di Karimunjawa, kepulauan berisi 27 pulau. Dimulai di dermaga Pulau Karimunjawa, operator lazimnya akan mengantarkan tamu ke pulau-pulau dalam radius satu jam, seperti Pulau Cilik, Tengah, Cemara, Geleang, serta pulau-pulau pasir yang hanya muncul saat air surut. Paket menyelam dan snorkeling bisa dipesan di penginapan atau operator. Di antara Pulau Karimunjawa dan Kemujan terdapat hutan bakau yang telah disulap menjadi obyek wisata. Meniti boardwalk, tamu bisa menyaksikan satwa yang hidup di sela-sela akar bakau dan burung-burung dengan status dilindungi, seperti elang laut, cekakak, dan sikepmadu. Jika membutuhkan pemandu atau kendaraan, hubungi Muchamad Shaiful (0821-3412-5642). Khusus malam pergantian tahun, Nirwana Laut Resort (karimun-jawa.com) menggelar beach party yang biasanya menampilkan DJ dari luar pulau.

Pertama kali diterbitkan di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2013 (“Feature: Tribuana Karimunjawa”).

Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment

0.0/5