by Fatris MF 13 April, 2015
Jejak Letusan Gunung Tambora
Teks dan foto oleh Fatris MF
Sebuah gunung meletus di utara Sumatera. Puncaknya memuntahkan lahar panas. Van Bemmelen, geolog Belanda, menganggap erupsi itu kiamat pertama di zaman purba. Mungkin terjadi ratusan ribu tahun silam—sebuah masa ketika orang-orang belum berkiblat dan membaca aksara. Dari peristiwa itu, Danau Toba tercipta, Suku Batak lahir. Begitu hikayat lisan setempat bercerita.
Di jantung Flores, letusan gunung juga melahirkan danau. Bukan cuma satu, tapi tiga danau, dan warnanya berlainan. Tiga danau yang diyakini masyarakat Lio sebagai tempat bersemayamnya roh-roh. Masyarakat Nusantara hidup dalam lingkaran cincin api dan menyimpan hikayat yang lekat dengan gunung dan amarahnya.
Orang Minangkabau berasal dari kawah Gunung Marapi. Tak jelas, apakah dari lahar atau dari abu vulkanis mereka bersumber. Gunung itu menjulang di tengah Sumatera. Dari sinilah nenek moyang orang dataran tinggi Sumatera Barat bermula. Begitulah Tambo, “kitab suci” adat matrilineal purba Minangkabau bertitah.
Bergeser ke Sumbawa, sebuah gunung meletus dua abad silam. Tambora namanya. Tak ada danau indah yang tercipta, tak ada suku yang terlahir. Letusannya malah mengakibatkan mala: mengerem laju peradaban bumi. Buku-buku mencatat, amuk Tambora mengubah iklim dan menutup mentari dengan abu selama belasan bulan. Tumbuhan layu, gagal panen melanda Eropa dan Amerika Utara. Jutaan orang kelaparan, mayat bergelimpangan.
Begitulah Tambora menyapa dunia 200 tahun silam. Seratus ribu nyawa dicabut olehnya—angka yang monumental pada zaman itu. Semburan laharnya mengubur kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya. Setidaknya setahun pascaerupsi, langit di Barat tak disinggahi sang surya. “Tahun tanpa musim panas,” kata sebuah buku. Akibat letusan itu pula, tinggi gunung tersunat, dari 4.000-an meter menjadi kurang dari 3.000 meter.
Dalam Suma Oriental, Tome Pires memanggil gunung itu dengan nama Aram. Tambora dalam bahasa setempat berarti “orang hilang,” barangkali untuk menyebut sebuah kerajaan bernama Tambora yang dikubur oleh letusannya. Sebuah laporan kolonial pada 1819 menulis, murka sang gunung membuat lautan di bagian tengah Nusantara dipenuhi batu apung yang mengganggu pelayaran, segala yang hidup telah punah, dan bumi teramat mengerikan dan kosong.
Dua abad sudah berlalu, sekarang saya datang untuk mendakinya. Aram, Tambora, sebuah bisul besar yang memicu kiamat kecil. Dari jendela pesawat yang melayang ke Bima, saya mengintip sabana tandus yang luas. Tetumbuhan kering menguning kecokelatan. Sebagian berwarna hijau, karena musim hujan baru saja datang. Awan November bergumpal tak terarah dan mengguncang pesawat. Dulu, kerajaan-kerajaan makmur merekah di Sumbawa. Kayu dengan kualitas tinggi, jagung dan beras, hingga kuda perkasa membuat pamor pulau ini mencuat dengan kemakmurannya. Kemakmuran yang turut memikat semut-semut VOC pada abad ke-17. Tapi itu dulu, sebelum sebuah bencana dahsyat pada 10 April 1815 mengubur semuanya.
Saya mendarat di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Memasuki Kota Bima, sisa Kerajaan Bima yang agung masih berdiri. Tak ada pasukan kerajaan. Hanya terlihat bangunan kayu berukir dan para pemuda yang bersantai. Malam hari, listrik padam dan kota kecil ini terbungkam dalam gelap.
Pagi sekali, saya meninggalkan Bima yang terletak di pesisir utara Sumbawa. Bus membawa saya lebih dekat dengan Tambora, gunung yang dicatat dengan penuh takjub dan takut. Letusannya dianggap musibah global, dengan efek merusak yang menjalar ke banyak tempat layaknya wabah sampar.
Bus berjalan terseok-seok dan menyemburkan asap hitam. Jalan berliku melewati pegunungan menuju Kabupaten Dompu. Di balik jendela: sabana kering, tanah cokelat, gundukan bukit-bukit botak. Di salah satu persimpangan, saya turun. Dua orang lelaki sedang menunggu saya. Mereka punya niat serupa: mendaki Tambora. “Kau tidak sendiri,” Yunsar menyambut saya. Dan sekarang saya memiliki dua orang teman baru: Yunsar dan Gusti.
Gusti, lelaki paruh baya dari Bali, sedangkan Yunsar pria Bugis berumur 70 tahun. Sebuah jip dengan gardan ganda siap membawa kami. Aspal mulus yang tadi saya lewati berjam-jam, kini berganti dengan jalan sompek. Jip menerobos medan yang menyiksa. Ban sesekali mementalkan bebatuan dari tumpukan material pembangunan jalan. Pemerintah tengah membangun jalan menuju Tambora, sebagaimana jalan menuju PT. Newmont yang mengeruk emas telah dibangun jauh lebih dulu dan lebih mulus. Dua tahun silam, Pemprov Nusa Tenggara Barat menominasikan Tambora sebagai taman nasional, dan pembangunan jalan adalah bagian dari agenda itu.
Di Labuan Kenanga, jip berhenti. Tambora terkangkang lebar di hadapan. Arakan awan gelap menghantui puncaknya. Di seberang sana, ada Pulau Moyo. Di sisi yang lain, Pulau Satonda terbaring malu-malu. “Tak sampai 10 menit ke sana,” kata Umbu Ahmad sembari menawarkan tumpangan.
Mesin perahu milik Umbu meraung. Setelah 15 menit menyeberang selat sempit, kami menjumpai resor cantik yang dikelilingi pasir putih. Warna airnya bening sekali. Pulau Satonda telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut pada 1999 oleh pemerintah. Letusan yang menghilangkan 100.000 nyawa itu ternyata menciptakan pulau kecil yang elok. Satonda memiliki danau air asin di tengahnya. Sebenarnya, daratan di ujung barat Kabupaten Dompu ini merupakan pulau suci yang tidak boleh dihuni. Hikayat lisan setempat bilang, justru pulau inilah yang memicu letusan Tambora.
Syahdan, di kaki Tambora hidup seorang putri jelita bernama Dae Minga. Tapi kecantikannya memantik bencana: raja-raja di Sumbawa saling sikut untuk meraih cinta sang putri. Sengketa pun pecah. Seorang bijak kemudian mengasingkan Dae Minga ke pulau seluas 1.000 hektare—Satonda. Kecantikan sang putri justru berujung karantina dan nestapa. “Sudah, tidak perlu lagi dilanjutkan,” kata Umbu, “kisahnya terlalu tragis.” Konon pula, tak lama setelah pengasingan itu, Tambora meletus. “Makanya, manusia dilarang menghuni pulau ini,” kata Umbu lagi. Lantas, kenapa resor berdiri di sini? Umbu terdiam, lalu menambatkan perahu.
Di Satonda, sebuah resor berdiri menghadap lautan bening. Kami mendaki bukit dan melihat danau di tengahnya. Danau berair asin. Di sekitarnya berdiri pohon-pohon dengan batu-batu, plastik, jepit rambut, dan entah apalagi, yang diikat dan digantung pada dahan-dahan. “Ini pohon harapan,” ujar Sugeng, pemandu kami. Di tanah buangan ini, di mana kecantikan dikucilkan, manusia justru berdatangan guna menggantungkan doa dan asa.
Umbu tak sudi melanjutkan cerita. Mesin perahu distarter dan kami bertolak. Dari Labuan Kenanga, jip kembali melaju menuju Tambora yang tampak seperti kakek yang memendam murka. Tambora, tempat orang-orang hilang. “Kita melintas di atas tumpukan mayat,” kata Yunsar, berusaha mencairkan kebekuan di atas jip dengan kisah horor.
Yunsar keluar dari jip dan menurunkan sepeda. Saya dan Gusti masih di mobil, sedangkan Yunsar mulai mengayuh, membuat saya ternganga dan berpikir ulang tentang definisi usia. Pria 70 tahun yang mengidap cacat katup jantung itu menggenjot pedal di rute licin yang menanjak dan berkelok.
Stamina agaknya tak bisa dikurung oleh usia. Hujan mulai mengguyur jalan tanah yang dipagari pepohonan kopi. Perkebunan kopi yang tak terurus. Desa Pancasila telah dilewati, kemudian kami memasuki Dusun Tambora, Desa Oi Bora, Kecamatan Tambora. Entah kenapa, nama “Bora” dan “Tambora” begitu marak dipakai. Di Dusun Tambora yang dipenuhi pohon kopi, ada sebuah bangunan kolonial yang dihuni seorang lelaki paruh baya berbadan gempal. Suparno adalah satu dari ribuan lelaki yang datang ke Tambora ketika perkebunan kopi berjaya dan pabrik kayu PT. Veneer tengah bersinar. Itu 40 tahun lalu. Masa yang tak menjanjikan kenyamanan bagi seorang pengelana. Dari Jawa, Suparno menumpang kapal barang hingga Labuan Kenanga, lalu menunggang kuda untuk sampai ke kaki Tambora. Kuda Sumbawa, kuda tangkas pengangkut beban yang begitu dipuja dalam catatan kolonial.
Namun, kayu dan kopi telah anjlok belasan tahun lalu. “Sejak pemerintah mengambil alih perkebunan,” Suparno menjelaskan alasannya. Tapi dia tak patah arang. Sebuah rumah besar peninggalan Belanda disulapnya menjadi Pesanggrahan Tambora. Awalnya transmigran, Suparno kini menjadi hotelier di tengah kebun kopi.
Pesanggrahan berisi artefak-artefak masa lampau. Ada keramik, lesung, dan berbagai tempat makan dari kuningan. Mayoritas telah jadi arang yang tergeletak di sudut ruangan. Kami berbincang hingga larut. Angin dingin menerobos kisi-kisi jendela, kantuk begitu cepat membunuh.
Pagi sekali, Suparno menghidangkan kopi penuh asap. Biji-biji dari pepohonan di sekitar pesanggrahan kini tersaji sebagai ramuan yang menyegarkan. “Dulu, ini kopi terenak,” kata Suparno. “Itu dulu,” tambahnya lagi sambil tertawa. Tiga orang pria berbadan kekar telah siap membantu kami menggotong barang-barang ke atas sana. Cerah pagi seketika berubah. Gumpalan awan hitam berkerumun. Saya, juga Yunsar dan Gusti, datang pada musim yang salah. Kami datang kala hujan tak henti-hentinya mengguyur. Apa mau dikata, langkah telah tersorong.
“Tambora berbeda dari gunung lainnya,” Yunsar tua mulai mengoceh. “Ini Tambora, dunia yang diubahnya.” Lelaki Bugis ini telah menaklukkan sejumlah gunung terkemuka, dari Kilimanjaro di Afrika sana, hingga Rinjani dan Kerinci. “Lihat, sepeda ini lahir dari letusannya!” kata Yunsar berapi-api. Dulu, abu erupsi menutup langit Eropa dan membunuh banyak ternak, termasuk kuda. Orang-orang lalu mencari alternatif tunggangan yang tidak membutuhkan sinar matahari dan pakan. Sepeda pun tercipta. Tapi bukan cuma itu. Frankenstein, karakter rekaan Mary Shelley, juga muncul dilatarbelakangi oleh letusan Tambora. Di belahan yang lain, Pasukan Napoleon di Waterloo dipukul telak. (Tanpa Tambora, bahasa Prancis mungkin kini lebih populer.)
Kini, jelang puncak peringatan 200 tahun letusan, mata dunia tersedot ke sini. “Tambora Menyapa Dunia,” begitu tajuk peringatannya. Pemerintah berniat menggelar beragam acara menarik, salah satunya pendakian massal. Program ini diharapkan mampu memikat animo internasional. “Tambora Menyapa Dunia” agaknya hendak dibalik menjadi “Dunia Menyapa Tambora.” Tapi sapa dengan cara apa? Saya tidak tahu. Tak ada peta jalur pendakian. Museum arkeologi juga belum rampung. Bahkan, tak ada pusat informasi, jumlah porter sangat terbatas, dan penginapan cuma sanggup menampung belasan orang. Tambora memang memicu kelahiran sepeda, tapi di sini, penyewaan sepeda saja tidak tersedia.
Dalam guyuran hujan, kami menggasak langkah dari Dusun Tambora. Musim hujan telah membuat semua yang diinjak menjadi lecat. Tapi, apa mau dikata, gunung jangkung ini mesti didaki. Apa yang dicari seorang pendaki? “Kita mendaki, bukan menaklukkan,” Yunsar berbisik. Baginya, gunung adalah ibu. Ibu bagi bumi dan seluruh isinya.
Kami memacu langkah berjam-jam, di antara lintah yang bersembunyi di daun-daun. Hanya terdengar cericit burung, selebihnya sunyi. Kesunyian yang berimpitan dengan derap langkah dan denting hujan pada dedaunan. Apa yang kami cari di atas sana? Tak ada pemandangan indah seperti di Kelimutu. Tak ada telaga bening seperti di Rinjani. Tapi, seperti kata Yunsar: ini gunung yang mengubah dunia!
Waktu bagai degup jantung yang terus berderu. “Masih lama?” Gusti bertanya kepada Iwan Inul, lelaki Sasak yang merantau ke Sumbawa dan bekerja sebagai tukang panggul barang para pendaki. “Tenang, sebentar lagi sampai,” jawab Iwan. Kelar makan siang, ekspedisi dilanjutkan. “Ini belum setengah jalan,” kata Junaidin. Jun, Syamsuddin, dan Iwan menyandarkan hidup sebagai porter. Hujan deras kembali turun. Fisik kembali diuji. Apa yang dicari seseorang di puncak gunung? Saya masih bertanya. Belasan jam kami menggasak langkah, memaksa tenaga. Sedikitnya ada lima tahap pendakian. Masing-masingnya terpisah jarak dua jam. Seorang pendaki tidak akan mengeluh hanya karena letih, kata Yunsar.
Kami meniti jalan setapak yang licin dan menanjak. Kebun jelatang yang membuat gatal, membuat kami merasa was-was, walau akhirnya kami sama-sama gatal karena tersentuh daun jelatang. Pohon-pohon besar di Tambora, kata Iwan, menghilang tiap tahunnya. Penebangan terus berlangsung secara sembunyi-sembunyi.
Hujan reda dan kabut tebal membalut gunung. Kami tidur dalam pagutan kabut. Tidur sebentar saja, karena pada pukul tiga dini hari kami kembali berjalan menuju kaldera. Tanjakan makin terjal, kabut dan embun saling bertengkar menutupi jarak pandang. Aroma belerang menyengat hidung. Dua jam berselang. Langit berubah terang. Tubir hitam yang rapuh mengelilingi kaldera. Ada pohon-pohon kecil beranting keras, bebatuan hitam, dan edelweiss yang sedang mekar. Saya ingin turun ke bawah sana, ke kawah. Tapi, ketiga pemandu kami melarang. “Ini musim yang tidak tepat,” kata Syamsuddin. Angin kering yang tajam berkesiur. Awan gelap kembali berpusing di atas kaldera.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Bima via Bali atau Lombok dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dan Lion Air (lionair.co.id). Dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Anda bisa menyewa taksi menuju Labuan Kenanga dengan tarif Rp500.000. Mengunjungi Pulau Satonda sebelum memulai pendakian merupakan hiburan yang menyenangkan. Dari Labuan Kenanga, perahu sewaan ke Satonda dibanderol Rp100.000 pp. Pendakian ke Tambora bisa dimulai dari Desa Pancasila atau Dusun Tambora.
Penginapan
Pulau Satonda telah memiliki penginapan bernama Satonda Island Resort (0818-0376-1737; Rp1.000.000). Berbagai kegiatan bisa dilakukan di pulau ini, seperti menyelam di lautan bening di sekelilingnya atau berenang di danau berair asin di tengah pulau. Saat hendak mendaki Tambora, Anda bisa menginap di Desa Pancasila atau Pesanggrahan Tambora (Dusun Tambora; 0821-4741-5714; Rp150.000) yang menempati rumah warisan penjajah. Sekitar satu kilometer dari pesanggrahan terdapat situs penggalian artefak Kerajaan Tambora. Anda juga bisa meminta pengelola pesanggrahan menyediakan porter, makan siang, serta ransum dan logistik pendakian, seperti tenda, matras dan selimut. Tarif porter per hari Rp250.000.
Aktivitas
Dalam hal pengelolaan, wisata pendakian di Tambora belum sebagus Rinjani, gunung tetangganya di Lombok. Juni hingga Oktober merupakan rentang waktu yang cocok untuk mendaki karena hujan relatif jarang. Usahakan mengoleskan obat anti-lintah sebelum memulai ekspedisi. Hati-hati pula dengan daun jelatang yang memicu gatal. Di puncak Tambora, bila cuaca ramah, Anda bisa turun ke dasar kawah dengan ditemani porter.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2015. (“Jejak Petaka di Tanah Sumbawa”)