Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eksplorasi Destinasi Baru di Bandung

Seperti Café 13 yang legendaris di Taiwan, Noah’s Barn berusaha menjaga kemurnian kopi dari kreativitas kapitalisme. Barista di sini menyajikan cairan kafein tanpa susu dan tanpa gula. Bagi mereka, kopi adalah kopi, bukan beverage yang genit bermain dengan busa dan pewarna. Noah’s Barn sepertinya berusaha mengembalikan kopi pada khitahnya. Tempat yang cocok bagi pencinta kopi puritan.

Sepertinya ini hukum alam: di tempat-tempat touristy yang dipenuhi chain hotel, muncul akomodasi butik yang berusaha melawan arus. Jika di Kerobokan kita menemukan Brown Feather, di Bandung ada Cottonwood.

Masing-masing kamar di Cottonwood ditata dengan desain yang berbeda.

Melipir dari pusat kota, Cottonwood menawarkan atmosfer yang jauh dari riuhnya pariwisata. Properti berkonsep B&B ini menempati rumah empat lantai yang berarsitektur Eropa: atap gable yang dilubangi jendela dormer. Cottonwood dimulai secara tidak sengaja. Pendirinya, Teddy Gunawan dan Cuna Dwoe, awalnya hendak membangun sanggar mebel yang menyatu dengan tempat tinggal.

Alih-alih menjanjikan kemewahan, struktur megah, dan perangkat serbacanggih, Cottonwood menjanjikan intimasi dan kesederhanaan. Tiap kamar di sini didominasi mebel kayu. Nama-nama kamar pun diambil dari jenis pohon Layaknya hotel butik, Cottonwood lebih ekspresif dalam permainan desain. Di kamar tipe Mulberry misalnya, imajinasi tamu diterbangkan ke Inggris melalui pajangan bus, kotak pos merah, serta bedcover dengan komposisi warna Union Jack. “Kami hanya mengaplikasikan selera kami di setiap furnitur dan perintilan di sekelilingnya,” ujar Cuna sembari menyuguhkan secangkir cappuccino yang diracik dari biji kopi produksi Blue Doors, kedai kopi ternama lainnya di Bandung.

Di hotel yang bergaya Eropa, saya menikmati kopi yang tumbuh di tanah Pasundan. Bandung memang punya alasan baru untuk dibesuk—dan kali ini tidak ada hubungannya dengan batagor. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5