Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bangkitnya Museum di Jakarta

Kiri-kanan: Pameran di Art:1 tak hanya dilakukan di dalam ruang, namun merambah eksteriornya juga; Rooseno, ayah Toeti, adalah seorang pakar teknik beton terapan yang pernah tiga kali menjadi menteri di bawah Presiden Soekarno.

Sosok Pribadi dalam Museum
Mengunjungi Museum Cemara 6 seperti mengurai perjalanan hidup sang empu koleksi, Profesor Toeti Heraty. Ibu empat anak ini membuka koleksinya kepada publik dua tahun silam. Museumnya menjadi satu dengan Galeri Cemara 6 yang bisa diakses melalui dua ruas jalan di kawasan Menteng.

Toeti merupakan legenda hidup di bidang akademis, sastra, dan feminisme. Sebagai sastrawan, namanya telah ditahbiskan sebagai salah satu penyair wanita terkuat pada 1970-an oleh Horison, majalah sastra bergengsi asuhan HB Jassin. Kritikus sastra yang dikenal sangar semacam Subagio Sastrowardoyo menanggapi positif karya Toeti di majalah tersebut. Saat itu, pujangga terkemuka Rendra, Asrul Sani, hingga PK Ojong kerap berkunjung ke rumah sewaannya di Menteng.

Sebagai birokrat kesenian, sejak 1971 Toeti telah mengampu hampir seluruh organisasi yang mengurusi seniman di Jakarta. Dia menjadi Ketua Lingkaran Seni, anggota Dewan Kesenian, hingga Rektor Institut Kesenian Jakarta. Karir akademisnya juga sukses. Toeti ikut mendirikan jurusan Filsafat Universitas Indonesia dan menjadi guru besar filsafat hingga kini.

Melihat 150-an lukisan yang ditebar di seantero dinding Cemara 6 seperti menyelami sejarah seni rupa Indonesia. Toeti bergaul secara langsung dengan para pembuat karya yang dikoleksinya, mulai dari barisan perintis seni rupa modern Indonesia seperti Hendra, Sudjojono, dan Affandi, hingga generasi penerus semacam Basoeki Abdullah, Srihadi Soedarsono, dan Mochtar Apin.

Suatu siang di museumnya, Toeti menunjuk lukisan Mother and Two Children yang menampilkan dirinya tengah duduk bersama kedua anaknya, Cyril dan Migni. Lukisan bertarikh 1971 yang terpasang di ruang tamu itu dibuat oleh pelukis yang menjadi juru bicara seni rupa Indonesia modern, Sudjojono.

Warnanya agak pucat dengan pancaran suasana yang kuat. Irama khas Sudjojono. Dulu, Toeti dan Sudjojono kerap saling berkunjung. Sudjojono, penemu teori “jiwa ketok,” hobi bertamu ke vila milik Toeti di Bandung. “Saya dilukis di rumah Sudjojono di Pasar Minggu,” kenang ibu berusia 82 tahun ini. Lukisannya sangat berkesan, sehingga Toeti membawanya saat melanjutkan studi psikologi ke Belanda. Tak jauh dari lukisan tersebut, terpajang Bambu Kering karya Affandi. Lucunya, aset berharga ini dibeli Toeti seharga Rp2 juta, itu pun dengan mencicil 10 kali. “Sopir Pak Affandi yang selalu datang menagih ke Jakarta,” ujar Toeti.

Di antara lukisan maestro yang berjejer di dinding, Toeti memperlihatkan lukisan berobyek dirinya yang lain: sebuah drawing hitam putih karya Srihadi Soedarsono. Lukisan buatan 1994 itu dikerjakan sambil lalu oleh pelukisnya tanpa memberi tahu Toeti. Usai Toeti menyampaikan pidato pengukuhan guru besar Filsafat UI, lukisan kelar dan diserahkan kepadanya.

Tak jauh dari lukisan tersebut terdapat lukisan abstrak Tumpah Darahku dari Basoeki Abdullah. Mungkin ini satu-satunya lukisan abstrak Basuki. Toeti mendapatkannya langsung dari Basuki, sebulan sebelum sang pelukis mangkat di kamarnya.

Lalu, apa alasan Toeti mendirikan museum?

“Saya hanya punya dua lukisan Affandi. Anak saya banyak, nanti kalau dibagikan tidak cukup. Jadinya saya berikan kepada publik saja lewat museum ini,” ujar anggota Akademi Jakarta ini. Memang tak semua lukisan dibelinya dengan harga selangit. Sebagian bahkan diperoleh berkat kemurahan hati si pembuat. Lukisan pertamanya, Perempuan dan Ikan, misalnya, adalah hadiah dari perupa Mochtar Apin yang bersahabat dengannya sejak studi di Belanda.

Suatu kali Kartika Affandi juga menghibahkan sebuah lukisan. Saat itu, Kartika sedang menggelar pameran di Jakarta dan tak satu pun karyanya terjual. Toeti kemudian memberikan ongkos Kartika pulang ke Yogya dengan balasan sebuah lukisan.

Kini lukisan ekspresionis hitam putih Kartika bersanding tak jauh dari dua lukisan ayahnya. “Saya dapatkan koleksi ini saat bank dan properti belum memborong lukisan. Jika sekarang mengoleksi, saya tak mampu,” ujar Toeti merendah.

Menariknya, aneka koleksinya ditata secara personal. Di barisan depan museum, kita seolah diajak berkenalan dengan Toeti sebagai orang yang membumikan banyak teori feminis, mendirikan Suara Ibu Peduli, terlibat di Mitra Perempuan, dan menerbitkan Jurnal Perempuan. Di antara vas bunga, piano, dan foto-foto kenangan, Toeti menata lukisan karya Umi Dachlan, Ratmini Soedjatmoko, hingga Yanuar Ernawati. Tak ketinggalan karya generasi yang lebih belia, seperti patung-patung dari Dolorosa Sinaga dan Iriantine Karnaya.

Dalam Pencarian Belum Selesai, buku memoir yang terbit saat Toeti berusia 70 tahun, Toeti menulis kenangannya akan Paris. Dia menggambarkannya sebagai kota yang penuh cinta dan filsafat. Di sini pula dia menjalin persahabatan dengan Salim, pelukis yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di flat sederhana.

Pada 1990-an, Toeti menawarkan Salim berpameran di Jakarta. Salim kemudian mengirim 54 karyanya. Tapi komunikasi Dewan Kesenian Jakarta dengan Salim kurang lancar. Seluruh karyanya masuk tanpa membayar bea, sehingga dilarang dijual. “Saya benar-benar merasa tertekan saat itu. Apalagi Salim sebenarnya sudah tidak melukis karena ada sakit ‘alergi’ warna biru,” kenang Toeti.

Di saat yang hampir bersamaan, Toeti mendapat tawaran membeli mobil baru dari perusahaan keluarga Biro Oktroi Roosseno yang didirikannya. Kebetulan pagu yang ditawarkan perusahaan sama dengan uang yang harus dikeluarkan guna membeli seluruh lukisan Salim, yakni Rp137 juta. “Saya kemudian minta mentahnya saja,” ujarnya. Tapi untuk itu ada syarat yang mesti dipenuhi: karya bisa dibeli jika untuk kepentingan umum. Akhirnya Toeti pun mengerek Galeri Cemara 6 pada 1993.

Atmosfer rumahan membuat museum bercorak semi-Mediterania ini terasa intim dan akrab. Di antara barisan bingkai, kita mendapati pernak-pernik pemilik rumah. Jika mendambakan suguhan yang lebih aktual, pengunjung bisa melihat pameran di Galeri Cemara 6. Tempat ini meninggalkan banyak catatan dalam sejarah politik nasional. Di ujung kekuasaan Orde Baru, halaman tengah galeri aktif menyuguhkan teater, pembacaan puisi, hingga rapat gelap demonstran. Toeti juga menggelar rapat pendirian PAN dan Suara Ibu Peduli di sini.

Tontonan lain di Cemara 6 adalah kamar tidur Raden Ayu Oentari dan ruang Roosseno. Kedua orang tua Toeti merupakan sahabat dekat mendiang Presiden Soekarno. Roosseno, seorang pakar teknik beton terapan, sempat tiga kali menjadi menteri di zaman Soekarno. Di tengah ruangan ada maket Candi Borobudur. Bersama UNESCO, Roosseno terlibat merestorasi candi itu.

Berpaling ke kamar tidur RA Oentari, kita disuguhi lemari, kursi, sejumlah foto keluarga, juga sebuah lukisan potret diri RA Oentari karya Basoeki Abdullah. “Museum ini ke depannya bisa menjadi sejarah keluarga,” ujar Toeti. Museum ini juga dilengkapi tiga kamar berkonsep homestay yang artistik dengan tarif Rp300 ribu per malam. “Setiap bangun tidur, hati saya tenang karena rumah saya semakin tertata baik,” tambahnya.

November lalu, Museum Cemara 6 genap berusia setahun. Tiket untuk pengunjung sangat terjangkau, hanya Rp10 ribu, itu pun sudah mencakup minuman dingin dan camilan di kafe. Tempat ini memang tak sedang memburu laba, tapi bukan berarti sang pemilik kebal dari ongkos operasional. “Saya harus membeli genset agar saat mati lampu lukisan tetap terawat,” katanya. Jl. Hos Cokroaminoto No.9-11, Menteng; 021/3911-823; cemara6galeri.wordpress.com. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5