by Yohanes Sandy 19 April, 2013
Tongkat Estafet Wallace
Oleh Rahadiansyah
Tahun ini, genap 100 tahun dunia mengenang kepergian Alfred Russel Wallace, sosok dominan dalam sejarah dokumentasi alam Indonesia. Sang peneliti mangkat sebelum ambisinya memetakan kekayaan natural Nusantara tuntas. Celakanya, mencari penerus Wallace sangatlah sulit. Apa yang dilakukannya—menembus belantara, melacak spesies, dan menantang bahaya malaria—adalah pekerjaan yang menuntut lebih dari sekadar pengetahuan dan keahlian, tapi juga dedikasi dan nyali.
Itu sebabnya kehadiran Riza Marlon (indonesiawildlife@gmail.com) menjadi penting. Bermodalkan ilmu dari Fakultas Biologi Universitas Nasional dan kemampuan memotret, Riza mengabdikan hidupnya pada bidang dokumentasi alam dan satwa. Dalam durasi panjang, kadang hingga berminggu-minggu, ia hidup di tengah hutan demi mendapatkan potret makhluk-makhluk liar. “Saya terjun ke dunia dokumentasi sejak zaman kuliah,” katanya. “Banyak satwa Indonesia telah punah atau terancam punah, sayang jika tidak didokumentasikan.
Living Treasures of Indonesia merekam hasil kerja keras Riza selama dua dekade. Buku berisi 200 foto ini merupakan karya komprehensif pertama tentang satwa Indonesia yang dibuat oleh orang Indonesia. Secara visual, buku monumental ini juga lebih kaya dibandingkan Malay Archipelago buatan Wallace, karya agung yang memang lebih fokus pada dokumentasi tekstual.
Melalui bukunya, Riza berusaha menghibur dan mendidik publik. Ia tak mau sekadar memperlihatkan satwa-satwa yang telah populer, tapi juga memburu yang elusif dan nyaris punah, sebut saja badak Sumatera, cenderawasih, bahkan kanguru pohon. Nama-nama itu kerap terdengar, tapi jarang terlihat. Di tengah suguhan potret-potret yang apik, Riza juga menyisipkan informasi tentang pentingnya upaya konservasi. Harapannya sederhana: “Agar bertambah banyak masyarakat Indonesia yang mengenal, cinta, bangga, lalu peduli dengan keberadaan satwa dan kelestarian habitatnya.”
Kiri-kanan: Hewan nokturnal tarsius memiliki kemampuan atletis untuk melompat dari dahan ke dahan; satu-satunya cenderawasih di luar Papua, bidadari Halmahera, memamerkan bulu-bulunya guna memikat betina.