Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Taman Ismail Marzuki

50 Tahun Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki
Teater Jakarta, gedung pementasan yang berkapasitas 1.240 orang di TIM.

Oleh Bambang Bujono
Foto oleh Rosa Panggabean

Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini,” ucap Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dalam peresmian Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 10 November 1968, “akan memberikan bunga dan buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita di ibu kota di masa-masa yang akan datang,”

Tahun ini, 50 tahun setelah TIM berjalan dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai kurator kegiatannya, benarkah ada “buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita”? Pertanyaan itu tak mudah dijawab, terutama bila yang dimaksud dengan “kita” adalah kita semua. Seni, juga segala hal yang berkaitan dengan perasaan dan selera, tidak datang menyapa orang dengan keseragaman. Subjektivitas erat melekat pada seni, dan karena itu tiap individu menikmatinya dan menyikapinya secara berbeda: dari menolak sampai menerima, dari meninggalkannya hingga menyimpannya dalam hati.

Dalam sebuah diskusi pada awal 1970-an di kantor DKJ, seseorang bertanya: “Untuk apa DKJ mementaskan musik klasik yang tak dimengerti oleh abang-abang becak yang nongkrong di depan TIM?” Waktu itu becak masih legal beroperasi di Jakarta, dan sejauh yang saya ketahui, tak ada abang becak masuk TIM untuk menonton musik klasik, juga tak seorang pun anggota DKJ menawari abang becak untuk menonton musik klasik. Jawab pembicara, Arief Budiman, anggota DKJ: “Kenapa kita harus memaksa abang becak menikmati musik klasik?”

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Para penari Wayang Orang Bharata, kelompok yang dibentuk oleh orang-orang yang dulu rutin mementaskan wayang di TIM; FX. Harsono, peserta pameran monumental Pasaraya Dunia Fantasi pada 1975 di TIM.

Demikianlah, sejauh pergelaran di TIM ada peminatnya, pergelaran itu merupakan “buah karya seni yang bernilai.” Itu pula sebabnya Ali Sadikin mempertahankan Jurusan Seni Tari di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta), walau pernah suatu ketika yang mendaftar hanya satu orang. Biar saja, saya akan tetap menggaji dosen-dosennya, begitu kira-kira argumen Bang Ali, yang optimistis kelak jumlah pendaftar bertambah.

Peminat, penonton, dan kolektor merupakan sebagian prasarana pendukung kegiatan, termasuk pergelaran kesenian. Jawaban Ali Sadikin tentang jumlah mahasiswa seni tari mengingatkan kita bahwa peminat pergelaran kesenian tidak harus semata diukur dari sisi kuantitas. Kekuatan peminat juga tergantung pada kualitas, dan pada gilirannya kualitas akan memengaruhi kuantitas.

Upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas menyiratkan perlunya promosi. Bukan hanya berbentuk reklame, melainkan juga pemberitaan dan penulisan ulasan. Di masa-masa awal TIM, jurnalis seni-budaya mendapat kartu TIM untuk menonton dengan gratis hampir semua pergelaran. Eloknya lagi, terutama di media massa utama kala itu, para redaktur seni-budaya adalah mereka yang mencintai kesenian dan menyadari peran TIM. Promosi yang disampaikan dengan bekal simpati, kemampuan yang mumpuni, dan kesadaran akan perlunya mengembangkan TIM, membuat pusat kesenian ini, katakanlah pada 10 tahun pertamanya, dirasa penting dan bermanfaat kehadirannya. Salah satu bukti: sejumlah daerah membentuk semacam pusat kesenian dan dewan kesenian masing-masing.

Waktu itu, pergelaran besar dan kecil mendapatkan publikasi yang lebih daripada memadai. Beberapa media mengangkat pergelaran di TIM sebagai laporan utama; beberapa menyediakan halaman sekali sepekan untuk tulisantulisan seni di TIM dan seni pada umumnya.

Taman Ismail Marzuki
Heri, pemeran karakter Semar dalam salah satu pertunjukan Wayang Orang Bharata di Senen, Jakarta.

Waktu itu pula, TIM dengan DKJ-nya bekerja dengan kreatif, tak sekadar menyuguhkan pergelaran. Gagasan-gagasan “baru” didiskusikan dan dilaksanakan, misalnya batas seni “serius” dan seni “hiburan” dibuka demi memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Maka ada pertunjukan Srimulat di samping teater Rendra dan Putu Wijaya. Ada Lenong yang manggung di tempat Sardono W. Kusumo menggelar Dongeng dari Dirah. Ada pentas Koes Bersaudara dan Panbers di samping orkestra klasik dan musik kontemporer Slamet Abdul Sjukur. Juga ada pameran keramik pakai di tempat yang sama dengan pameran Gerakan Seni Rupa Baru.

Tapi waktu terus berjalan, ruang berubah, dan muncullah pendapat di kalangan para seniman, juga di masyarakat, bahwa pergelaran di TIM semakin kurang bermutu. Meminjam katakata kritikus Dan Suwaryono, pergelaran seni kala itu “membosankan, yang itu-itu juga.”

Lalu muncul jawaban yang mungkin benar namun tak sepenuhnya dipapar jelaskan guna menemukan solusi: itu semua akibat pemegang keputusan atas merah birunya TIM, Ali Sadikin, sudah habis masa jabatannya. Dia diganti sebelum sempat menjadikan TIM sebuah institusi yang mapan, bukan ad hoc, karena itu mudah dipermak. Dan visi penggantinya tidak lagi melihat TIM dan DKJ sebagai, meminjam pendapat Sardono W. Kusumo, tempat “tersalurnya energi kreatif dari berbagai lapis pendukung dan pelaku seni.” Seorang gubernur sesudah Ali Sadikin, dalam wawancara dengan saya selaku wartawan, dengan tegas menyatakan akan mengubah TIM menjadi semacam Taman Impian Jaya Ancol. Bukan ide yang buruk, namun itu berarti menghapus makna TIM.

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Teater Besar Jakarta diresmikan pada 2010; patung Ismail Marzuki, komponis kelahiran Kwitang.

Suara sumbang soal mutu pergelaran di TIM tecermin salah satunya dari menurunnya liputan pergelaran di tempat ini. Media massa yang berangkat dari fakta dan data aktual bisa dikatakan sebagai cermin perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan mendapat hanya setengah perhatian dari media massa dibandingkan sebelumnya, TIM agaknya sudah tak seiring jalan dengan perkembangan zaman.

Alasan lain dari menurunnya mutu pergelaran di TIM adalah dana yang terus berkurang nilainya seiring susutnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, lembaga lain, misalnya media massa, menyesuaikan gaji karyawannya saat terjadi penurunan nilai rupiah. Di periode awal TIM berdiri, untuk pengerjaan sebuah baliho yang dipasang di depan gerbang TIM, seorang pelukis menerima imbalan, seingat saya, Rp20.000. Imbalan ini sekitar satu setengah kali gaji seorang redaktur media. Ketika media massa menyesuaikan gaji redakturnya karena menurunnya nilai rupiah, imbalan di TIM bergeming.

Pada pekan terakhir Desember 1990, TIM dan DKJ menyelenggarakan seminar sehari bertajuk “Pusat Kesenian: Posisi dan Masalahnya.” Salah seorang pembicara, Nirwan Dewanto, menarik kesimpulan TIM sudah ketinggalan zaman. Seniman, katanya lagi, kini bergerak leluasa dan tak butuh pusat kesenian. TIM dan DKJ mestinya menyadari masyarakat kesenian kini tak lagi homogen dan terkonsentrasi.

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Aries Mukadi pada 1971 bergabung dengan Paguyuban Jaya Budaya, kelompok yang dulu rutin pentas di TIM; lobi Teater Jakarta.

Dua tahun kemudian, November 1992, TIM dan DKJ membuka seminar berjudul “Peranan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Kini dan Masa Datang.” Sardono W. Kusumo, salah seorang pembicara, menyatakan performa TIM dan DKJ menurun. “Ketika seni berkembang pesat di dalam masyarakat, manajemen seni di dalam TIM malah menurun kualitasnya.” Tapi dia kemudian juga menyatakan, “Itu tidak berarti kita tak memerlukan sebuah pusat kesenian.” Sardono melihat TIM memiliki potensi yang tidak ada di institusi lain: ada tempat (TIM), ada tim kurator (DKJ), ada lembaga pendidikan (IKJ), dan ada lembaga pemikir (Akademi Jakarta). Simpulnya, pergelaran di TIM bisa sangat bermakna bila mencerminkan sinergi keempat lembaga itu, apalagi jika TIM dan DKJ bisa membangun jaringan dengan institusi seni lain.

Baik Nirwan maupun Sardono tak membeberkan detail solusi untuk TIM dan DKJ. Kedua lembaga ini pun tak terdengar menindaklanjuti pemikiran-pemikiran dari kedua seminar tersebut. Sebagaimana saya alami saat dua kali menjadi anggota DKJ, begitu dilantik, dewan ini hanya sibuk menyusun organisasi dan program, lupa menengok kembali apakah konsep TIM dan DKJ perlu dimodifikasi. Meninjau kembali konsep DKJ? Tunggu sampai penyusunan organisasi dan program selesai. Dan ternyata kesibukan menyusun program tak pernah tuntas hingga masa keanggotaan habis.

Memang, masih ada acara di TIM yang patut diikuti, misalnya Indonesian Dance Festival dan Festival Teater Jakarta. Sedangkan pameran besar seni lukis, yang kemudian menjadi Jakarta Biennale, kini diselenggarakan oleh Yayasan Jakarta Biennale, yang salah satu pendirinya adalah DKJ. Selebihnya, TIM hanya diramaikan oleh perayaan sekolah ini dan itu, bazar makanan dan busana, serta acara-acara lain yang jauh dari kesenian yang “serius.”

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Putu Wijaya, dramawan senior yang pernah menulis naskah sekaligus menyutradarai banyak pentas teater di TIM, contohnya Aduh, Dor, dan Anu; Sardono W. Kusumo, koreografer yang mementaskan karya monumental Dongeng dari Dirah pada 1974 di TIM.

Sejak 2012, ketika Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta, TIM memang diperhatikan. Tempat ini direnovasi, proses yang masih berjalan hingga ulang tahun emas TIM. Yang tak tercium adanya “renovasi” justru di perangkat lunaknya, yakni konsep kesenian dan konsep dewan keseniannya. Padahal inilah zaman yang mengandung potensi besar untuk bergeraknya lembaga seperti TIM dan DKJ yang sudah bermodal pengalaman dan prasarana. Ketika di masyarakat terbentuk kolektor dan pasar seni rupa, komunitas-komunitas kesenian, serta galeri atau museum pribadi, ini semua seharusnya “memudahkan” TIM dan DKJ untuk mengambil peran yang bermakna dan perlu.

Di dalam KRL menuju TIM, dari Stasiun Pasar Minggu menuju Cikini, saya membayangkan muncul seseorang dengan gagasan untuk mengubah drastis TIM dan DKJ agar bermakna kembali seirama zaman. Contohnya seperti Ignasius Jonan yang berani dan bisa membenahi perkeretaapian Indonesia hingga lebih nyaman bagi publik. Atau, mengutip Nirwan Dewanto, “Pusat kesenian kini hanyalah benar-benar [tinggal] sebuah keterangan tempat.”

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2018 (“Mencari Solusi”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5