Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wisata Lidah di Melbourne

Kiri-kanan: Suasana di luar Cafe De Clieu. Pembeli rela duduk ala kadarnya demi menikmati kopi di sana; Cafe De Clieu yang selalu ramai pembeli.

Oleh Prabowo

Selalu ada yang menggelitik saya untuk kembali ke Melbourne. Suasana kotanya, perasaan untuk bertemu rekan satu negara yang menimba ilmu maupun bekerja di sana, serta karisma kotanya yang selalu mengundang. Kali ini, saya ke sana untuk menyaksikan turnamen tenis dunia, Grand Slam Australian Open 2013 yang digelar Januari silam di kota tersebut.

Setelah melakukan riset kecil-kecilan di internet, untuk kunjungan kali ini saya memutuskan untuk tinggal di daerah bernama Carlton—yang dulunya dikenal sebagai permukiman para komunitas Italia. Gambar-gambar yang saya temukan di internet ketika riset membuat saya jatuh hati dengan distrik yang kini banyak dihuni pendatang dari Asia Timur, Asia Tenggara dan Inggris ini. Mewarisi budaya Italia, area ini dipenuhi rumah-rumah berarsitektur lawas yang kebanyakan dibangun pada era 1900-an dan semuanya masih terawat dengan baik. Oleh karena itu pemerintah kota menghadiahi wilayah ini sebagai salah satu cagar budaya di Melbourne.

Rabbit Rillete dari Seven Seeds.

Selain arsitekturnya, alasan lain yang memantapkan saya untuk tinggal di sini adalah lokasinya yang dekat dengan Carlton Garden serta Melbourne Museum. Dari sini ke pusat kota pun hanya membutuhkan waktu tempuh 20 menit dengan berjalan kaki atau 5 menit dengan trem. Layaknya kota di Italia, daerah ini juga memiliki banyak kedai kopi serta restoran yang umumnya terkonsentrasi di sepanjang Lygon Street.

Salah satu tempat yang saya coba adalah Café De Clieu (187 Gertrude Street, Fitzroy, 61-3/9416-4661, sevenseeds.com.au). Saya berencana untuk sarapan di sana. Awalnya, kekhawatiran bahwa kafe tersebut tutup sempat hinggap di hati saya. Pasalnya, saya datang bertepatan dengan Australian Day di mana biasanya banyak toko, kafe, maupun restoran yang memilih untuk libur. Namun saya beruntung. Ketika saya tiba di depan gerainya, De Clieu tetap melayani pembeli—meskipun memangkas jam operasionalnya hingga pukul 17:00 saja.

Teman saya yang menetap di sana menjelaskan, nama kafe ini diambil dari nama seorang letnan berkewarganegaraan Prancis yang berjasa memperkenalkan kopi ke negara-negara koloni Prancis di Amerika Selatan. Kafe chic ini berdiri di sudut jalan dengan eksterior dibalur cat warna abu-abu tua. Di depannya ada tempat parkir sepeda bagi para pengunjung yang datang dengan alat transportasi beroda dua tersebut. Ada dua pilihan tempat duduk yang ditawarkan oleh Café De Clieu: di dalam ruangan dan outdoor. Pilihan kedua biasanya selalu ramai di musim panas karena para pengunjung ingin menikmati hangatnya sinar matahari sambil menyeruput kopi dan mengobrol dengan teman.

Kiri-kanan: Koleksi minuman yang cukup lengkap di bar Rice Queen; interior Rice Queen yang ramai namun tak berlebihan.

Warung kopi premium ini menyediakan berbagai pilihan kopi dari penjuru dunia seperti Honduras, Kenya, dan Kolombia. Bahkan, dengan barista yang terlatih, Anda bisa mencoba berbagai jenis racikan kopi di luar pilihan latte atau cappuccino. Sebagai peminum kopi sejati, saya cukup girang melihat pilihan menunya. Akhirnya saya pesan double shot espresso dengan susu dan moka. Untuk camilannya saya memilih kue kelapa yang gurih. Bila Anda jatuh cinta dengan kopi mereka, Café De Clieu juga menjual biji kopi dalam kemasan yang bisa Anda tebus untuk stok di rumah.

Esoknya, saya menyempatkan diri main ke Seven Seeds (106-114 Berkeley Street, Carlton, Victoria; 61-3/9347-8664; sevenseeds.com.au). Kafe ini terletak di Berkeley Street, dekat dengan Melbourne University dan masih di bawah manajemen yang sama dengan Café De Clieu. Seperti adiknya, Seven Seeds juga banyak diperbincangkan karena kopi dan makanannya yang lezat. Kopi dari beberapa penjuru dunia tersedia di sini dengan tingkat roasting berbeda-beda. Untuk meraciknya, para barista menggunakan mesin espresso La Marzocco Strada—yang merupakan impian semua barista—serta memakai beberapa metode penyaringan seperti pour over, aeropress, dan cold brew. Kafe ini juga memberikan kesempatan para pelanggannya untuk mencicipi kopi untuk sekadar tahu tingkat keasamannya atau rasa dari kopi-kopi yang dihasilkan di beberapa belahan dunia.

Berbanding terbalik dengan menu kopinya, jumlah makanan yang ditawarkan di sini cukup minim. Meskipun demikian, rasanya sangat memuaskan. Saat saya tiba di sana, tempatnya cukup penuh. Beruntung saya menemukan sebuah meja kosong di sisi bagian belakang. Saya mencoba Tasmanian salmon tartare yang segar dan Rabbit Rillette yang lembut disajikan dengan house pickles yang segar. Porsinya pas buat lambung saya. Tidak seperti kebanyakan restoran di Negeri Kanguru yang sering menyajikan porsi jumbo.

Tasmanian Salmon Tartare yang segar disajikan dengan roti bawang yang renyah.

Tak jauh dari Gertrude Street, ada satu jalan yang kanan kirinya penuh dengan toko semi permanen atau yang biasa dikenal dengan pop up store. Di Brunswick Street ini Anda bisa menemukan butik perancang lokal, kedai kopi, dan restoran yang menyediakan berbagai kuliner berbagai bangsa. Salah satu restoran yang bisa dijangkau dengan menggunakan trem ini yang berhasil memikat saya untuk masuk dan mencobanya adalah Rice Queen (389 Brunswick Street, Fitzroy, Victoria; 61-3/9419-6624). Eksterior yang unik dan menu Asia yang ditawarkan membuat saya penasaran untuk mampir.

Restoran yang juga bar ini menyajikan masakan dari beberapa negara Asia, seperti green curry dari Thailand, kari daging Massaman khas India, udang goreng ala Sichuan sampai gado-gado dari Indonesia. Senada dengan eksteriornya yang unik, interior didominasi warna merah serta dipenuhi pernak-pernik bernuansa Asia. Secara mengejutkan, menu kari yang disajikan terasa lezat dan cukup pedas untuk ukuran lidah orang lokal. Padahal biasanya orang Australia jarang suka pedas.

Kiri-kanan: Salah satu menu yang ditawarkan di restoran ini; pelang nama restoran Rice Queen dengan desain warna-warni.

Puas dengan makan-makan dan minum kopi, satu hal yang tidak boleh dilewatkan kala berada di Melbourne adalah menonton pertunjukan seni panggung baik itu musik, drama musikal, opera, balet, atau orkestra simfoni. Bagi mereka yang menyukai seni pertunjukan, Melbourne yang sering disebut Ibu Kota Budaya Australia itu selalu memiliki jadwal show menarik yang dapat dilihat sepanjang tahun.

Di hari terakhir kunjungan singkat saya, Jersey Boys dan War Horse sedang tampil di dua teater berbeda. Saya memilih menonton War Horse, drama pemenang penghargaan Tony Awards yang tampil di Arts Centre Melbourne. Berdurasi dua jam, War Horse bercerita tentang kisah menyentuh kuda perang di masa Perang Dunia I. Penampilan para aktornya cukup brilian terlebih mereka yang memainkan wayang-wayang kuda berukuran 1:1 yang terlihat hidup di atas panggung. Tak heran bila Steven Spielberg kemudian mengadaptasi cerita drama ini ke layar lebar.

DETAIL
MELBOURNE
Rute
Kota
yang terletak di sisi utara Australia ini bisa dijangkau dengan menggunakan pesawat dari Jakarta maupun Denpasar.

Penginapan
Anda bisa memilih Art Series The Blackman (artserieshotels.com.au) bila Anda menyukai hotel mewah dengan desain kontemporer. Namun bila Anda lebih suka dengan gaya konvensional maka Park Hyatt Melbourne (melbourne.park.hyatt.com) bisa jadi opsi yang tepat.

Tips
Melbourne dikenal sebagai “kota empat musim dalam sehari” bahkan hujan atau angin dingin bisa terjadi di musim panas. Oleh karena itu sediakan selalu payung maupun jaket. Selain itu, bila Anda tinggal lumayan lama di sana dan memilih untuk menggunakan kendaraan umum, lebih baik membeli kartu pas mingguan Myki. Dengan kartu ini Anda bisa naik semua jenis angkutan umum—kecuali taksi—sepuasnya.

 

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5