Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Video: Kampung Terakhir Singapura

Oleh Rachel Will
Foto oleh Dimas Anggakara

Butuh waktu yang lama bagi kami meyakinkan sopir taksi untuk membawa kami ke Kampong Buangkok. “Kampong Buangkok? So far, lah!” ujar beberapa dari mereka sebelum akhirnya kami berhasil mendapat seorang sopir yang mau mengantar kami. Di dalam taksi kami hanya diam. Mobil menyusuri jalanan tol menuju pinggir kota. Jaraknya kurang lebih 14 kilometer dari pusat kota.

“Anda yakin ingin ke sana?”, tanyanya setengah tak percaya. “Tak banyak orang di sini tahu tentang keberadaan Kampong Buangkok.”

Taksi sudah dekat dengan tujuan, namun nyatanya dia juga tak begitu tahu tentang destinasi yang kami inginkan. Setelah beberapa kali tersesat, akhirnya kami menemukan jalan cupet dengan pepohonan yang rindang.

***

Kampong Lorong Buangkok, atau lebih dikenal sebagai Kampung Terakhir di Singapura, luasnya tiga kali lapangan bola dan terletak di wilayah timur laut. Dalam bahasa Melayu, “kampong” berarti desa, sedangkan “buangkok” berarti bersatu. Sejarahnya kampung ini dimulai pada 1956 ketika Singapura masih di bawah koloni Inggris. Sng Teow Koon, seorang tabib Cina membeli tanah tersebut kemudian menyewakannya pada warga keturunan Tionghoa dan Melayu yang bersatu setelah kerusuhan pada tahun 1960-an.

Hingga kini, masih banyak keluarga multi ras tersebut yang mendiami wilayah itu. Mulai dari Mui Hong, putri bungsu penjual obat asli Cina hingga Awe Bin Ludin yang telah mendiami kampung itu sejak pertama berdiri. Mereka memilih untuk tinggal di sini, menolak ikut 82 persen penduduk Singapura yang tinggal di rumah-rumah susun pemerintah.

Pertama kali menjejakkan kaki di sini, kesan ramah dan sejuk langsung menyapa. Jauh dari kesan sibuk jalanan Singapura. Sesekali terdengar kicau burung peliharaan Bin Ludin ataupun obrolan-obrolan hangat dengan menggunakan bahasa Hokkien dan Melayu dari dalam rumah. Meskipun menjadi langganan banjir, mereka tetap mempertahankan bentuk rumahnya. Setelah melakukan tur singkat, kami mampir ke rumah Bin Ludin. Dia menerima kami di rumahnya yang nyaman.

Burung peliharaan Bin Ludin yang menyemarakkan hari tuanya.

Saat itu Ramadan ketika kami berkunjung ke sana. Para wanita terlihat sibuk menyiapkan hidangan buka puasa. Setelah melihat-lihat seisi rumah, kami duduk di dekat dapur bersama Sabri, cucu termuda Bin Ludin yang siap menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan kami. Obrolan mengalir hingga akhirnya saya menanyakan pertanyaan yang cukup serius. “Apa yang terjadi ketika pemerintah mengambil alih lahan ini?” Pertanyaan tersebut dijawab dengan canda oleh Bin Ludin. “Mereka masih belum menyuruh kami pindah,” ujarnya santai.>>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5