Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tanah Kelahiran Silat

Kiri-kanan: Masjid Asasi di Nagari Gunuang, Padangpanjang, yang berdiri sejak abad ke-18; Firman Nauli, guru silat yang menyambi sebagai penjahit, mengaku mempelajari silat di Medan dari seorang transmigran asal Banten.

Kendati demikian, menurut Pramono, filolog dari Universitas Andalas, sebenarnya tak satu pun catatan masa lampau orang Minangkabau bicara soal silek. “Cuma ini yang membahas silat,” jelasnya seraya memperlihatkan naskah-naskah bertuliskan aksara Arab-Melayu. “Ini pun diperkirakan dari awal abad ke-20.”

Tapi argumen itu pun juga disanggah. “Catatan tentang silek [di Minangkabau] sudah lama ada, setidaknya di naskah Cindua Mato,” klaim Bahren, dosen sastra Minangkabau di Universitas Andalas. “Cindua Mato mempelajari silek dari Datuk Parpatih nan Sabatang.”

Di Minangkabau, masalah debat-mendebat, siapa meningkahi siapa, adalah hal yang tidak asing. Orang Minangkabau mungkin sudah rajin “bersilat” lidah di warung-warung sebelum silat ada di bumi Nusantara ini. Perdebatan riwayat silat juga sempat saya tanyakan kepada Gusti Asnan, guru besar ilmu sejarah Universitas Andalas. “Saya tidak percaya silat berasal dari Minang,” jawab sang profesor. “Silat berasal dari dunia Melayu, Melayu dalam artian Malaynesia, bisa bumi Melayu mana saja, bahkan sampai ke Madagaskar sana. Sebaran silat itu sangat luas.”

Baca juga: 48 Jam di Padang

Tapi Gusti tidak menampik silat punya akar yang panjang di Sumatera. Di era penjajahan misalnya, silat menjadi alat perlawanan utama orang Minangkabau. Bahkan, ketika kaum pejuang di banyak tempat sudah beralih memakai senapan, silat terus diandalkan warga Minangkabau. “Inilah barangkali yang menyebabkan silat susah lepas dari masyarakat Minangkabau, karena kebutuhan untuk memberontak,” simpul sang profesor.

Lantas, tebersit pertanyaan konyol: bila Nusantara mengoleksi begitu banyak pendekar, kenapa masih juga dijajah, Gusti? “Penjajahan tidak ada hubungan dengan silat. Penjajahan berhubungan dengan pikiran,” jawabnya menutup percakapan.

Masih melacak silsilah silat, saya menemui Sofyan Nadar, guru Silek Harimau Singgalang. Pria paruh baya ini tampil klimis dengan tubuh yang boleh dibilang ramping. (Toh harimau Sumatera memang tidak tambun.) Kami bersua tidak di padepokannya, melainkan di sebuah warung sempit yang berisik di Pasar Ateh Bukittinggi. “Jangankan orang bule, orang di luar Minangkabau saja bilang ‘apaan tu silat Minang, menari aja’,” ujar Sofyan, tanpa sempat meneguk kopi. “Orang yang tidak mengerti bagaimana silek, ya, akan mengira seperti itu. Tapi sekarang, lihat, di Asian Games, silek menjadi penyumbang emas terbanyak.”

Betul memang. Tahun lalu, pencak silat panen emas di Asian Games. Sedangkan di layar bioskop, seni bela diri ini bersinar lewat acting Iko Uwais dan Yayan Ruhian. Silat mendunia dan dipuja. Anehnya, tidak ada yang tahu persis dari mana bela diri ini sesungguhnya berasal.

Kiri-kanan: Wahyu dan Yogi memeragakan ‘lacuik kain basah,’ jurus membanting lawan; Tarmizi Akbar, guru silat asal Lembah Harau, yang mengaku pernah diterjunkan ke Dili untuk melatih tentara.

Merujuk Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation, silat dipercaya berasal dari Sumatera, terutama Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. Kata “silat” konon diserap dari “silek,” dan Sumatera memang memiliki aliran Silek Harimau. Konon pula, silek diciptakan oleh Datuk Suri Dirajo dari Tanah Datar pada abad ke-11. Masalah dari semua catatan itu: terlalu banyak kata “konon.”

“Silat ada di mana-mana,” kata Sofyan lagi. “Coba tanya ke Cimande itu, dari mana berasal silat mereka? Mereka akan bilang itu dari Minangkabau. Tapi jangan bilang semua silat berasal dari Minangkabau. Tidak. Silat yang paling tua, berasal dari sejak dunia ini terkembang. Cuma bukan silek namanya, tapi ilmu berantam.” Berbicara dengan orang Minang memang harus hati-hati memilih kata. Mereka tumbuh dengan kemampuan mengasah lidah.

Sofyan adalah pesilat era modern. Saya menemuinya saat dia baru saja kembali dari beberapa negara di Eropa. “Murid saya sekarang lebih banyak orang bule,” katanya lagi. “Sebentar lagi akan ada juga beberapa orang yang belajar dari Milan. Mereka serius. Kalau ya, bilang ya. Kalau tidak, bilang tidak. Orang kita? Hmm, kadang-kadang dalam mengangguk menggeleng juga,” Sofyan meneguk kopi.

Rampung menggali riwayat silat, saya bertanya tentang kurambit, senjata khas Silek Harimau. Dalam buku Minangkabau Overzichtvan Land, Geschiedenis en Volk terbitan 1923, M. Joustra sempat mengulasnya: “Senjata orang Minangkabau yang amat istimewa adalah koerambi’ yang merupakan belati kecil yang sangat melengkung, ada lubang di pegangannya untuk menekan ibu jari.”

“Pasukan elite Rusia dan Amerika belajar menggunakan kurambit,” tambah Sofyan. Kurambit dianggap senjata pertarungan jarak dekat yang paling mematikan. Tapi dia kemudian menambahkan, “Yang mematikan itu Tuhan, bukan senjata. Apa pun senjatanya, kalau Tuhan bilang tidak mati, tidak akan mati.” Lagi-lagi sang guru bersilat lidah.

Saya merangsek perkampungan Balai Gurah di Agam, 90 kilometer di utara Padang. Di teras sebuah rumah gadang, Firman Nauli duduk bersila. Istri dan mertuanya menyulam di dekat jendela. Dingin mencengkeram Agam, sebuah negeri yang menjadi pusat kebudayaan Minangkabau; sebuah negeri dengan figur harimau pada panjinya.

“Saya ini petarung di arena. Tahun 80-an bertarung di arena selalu disediakan tandu, keras, tidak seperti sekarang. Silat Minang itu bagi saya hanya menari saja,” Firman membuka cerita. “Tapi, setelah saya pulang kampung, saya baru sadar, silat tradisi ini lebih sulit. Lentur, tapi tak bisa dipatahkan.”

Firman memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya yang rusak: tulang kering yang bengkok, serta nyeri di rusuk yang terus mendera. Latihan silat, menurutnya, selalu diwarnai gemeretak tulang, rasa sakit yang tak terperikan, darah yang mengucur. Tapi, sekarang, untuk membiayai kuliah anaknya, pelatih silat Satria Muda Indonesia ini mesti menerima upah menjahit baju tiap malam.

Kiri-kanan: Kuku alang dan kurambit—dua senjata tajam khas Sumatera Barat yang lazim dipakai dalam silek; sebuah ramah gadang di Nagari Sumpur, Batipuh Selatan, yang nyaris ambruk akibat lama ditinggal pemiliknya merantau. Separuh abad silam, pekarangannya rutin dijadikan tempat latihan silat dan menari oleh warga sekitar.

“Silat telah asing di tanahnya sendiri. Lihat saja, honor pengajar silat [di sekolah] jauh lebih murah ketimbang honor guru bela diri asing,” Firman menunduk. Hujan turun dan angin menghempas-empas jendela kayu rumah gadang yang tua. Istrinya buru-buru meninggalkan sulaman, lalu mencomot pakaian yang dijemur di halaman.

Firman membawa saya menuju Lembah Harau, sebuah perkampungan yang sekarang gencar dipromosikan oleh dinas pariwisata. Kami melintasi hujan menuju lembah datar yang dipagari bukit berkarang. Tiba di sebuah warung, seorang lelaki duduk menghirup kopi dan mengembuskan asap tembakau ke udara yang lembap. Tarmizi Akbar, seorang haji berusia 63 tahun, berpostur besar dengan rambut dikuncir ke belakang. Berbeda dari guru-guru silat yang saya temui sebelumnya, dia bicara tegas. Kata-katanya terstruktur bak petuah.

Pada tahun 1995-1996, Tarmizi diterjunkan ke Dili. Dia bukan seorang tentara. “Di tengah kecamuk perang, saya melatih silat di sana,” kenangnya. “Setelah itu saya melatih para perwira Kopassus.”

Tapi itu dulu. Menurut Tarmizi, Silat Minangkabau kini seperti menunggu ajal. “Sebentar lagi, orang Minangkabau akan belajar silat ke orang Barat. Lihat, betapa banyak orang Jepang, Amerika, yang ahli silat Minang? Inilah kita, orang Minang kan memiliki jiwa pedagang, mental kita memang mental pedagang, semua dijual,” katanya lantang. Tarmizi berkisah tentang silat yang akan berakhir, sementara saya seperti peneliti gigih yang terus mengajukan pertanyaan yang sama: dari manakah silat berasal?

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2019 (“Debat Hikayat Silat”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5