Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Taman Nasional Raksasa di Sulawesi

Sesuai dengan namanya, Rawa Aopa juga terdiri atas rawa. Rawa ini merupakan yang terbesar di Sulawesi.

Teks dan foto oleh Harley Bayu Sastha

Dari 45 taman nasional di Indonesia, Rawa Aopa Watumohai mungkin terdengar paling asing. Dan layaknya taman nasional yang asing, perannya bagi lingkungan kerap jauh melampaui pamornya.

Saya datang di musim kemarau. Satu fakta yang mencengangkan dari Rawa Aopa adalah ukurannya. Suaka di ujung tenggara Sulawesi ini membentang di empat kabupaten sekaligus. Luasnya sekitar 105.000 hektare, jauh lebih luas dari Jakarta.

Selain burung, taman nasional ini juga menjadi rumah rusa.

Burung adalah satwa ikonisnya. Tempat yang berada di Zona Wallacea ini merupakan habitat bagi 155 jenis burung, dengan 32 di antaranya tergolong langka. Mereka berkeliaran di lima ekosistem yang mengukir lanskap: rawa, hutan pantai, sabana, bakau, serta hutan hujan dataran rendah. Salah satu koleksinya sempat menciptakan sensasi, yakni kacamata Sulawesi. Sempat raib selama puluhan tahun, burung dengan ciri lingkaran putih di sekeliling mata itu kini mulai terlihat kembali di Rawa Aopa.

“Di musim teratai, biasanya kita bisa melihat banyak burung di atas daun,” ujar Darman, staf Balai Taman Nasional, saat kami menyusuri rawa. Dia menunjuk beberapa ekor burung yang menyempil di antara tumbuhan dan ilalang. “Jika musim migrasi, burung aroweli sangat mudah dilihat di sini,” ujarnya lagi. Aroweli, burung langka yang dilindungi, lebih popular dengan nama bangau putih susu.

Pohon-pohon tinggi menjadi habitat alami burung.

Kami mengarungi kompleks rawa terluas di Sulawesi hingga hari beranjak senja. Dari atas perahu, Rawa Aopa terlihat bak sebuah baskom raksasa. Baskom yang punya peran vital dalam memasok air bagi sungai dan rumah di sekitarnya,termasuk ke Kota Kendari yang berjarak tiga jam.

Warga umumnya terkonsentrasi di zona bakau dan menyandarkan hidup dari menangkap ikan, udang, dan kepiting. Saat hasil tangkapan tak menjanjikan, mereka bertani rumput laut. Warga dan alam hidup rukun. Demi menjaga lingkungan, kampung-kampung nelayan sudi mematuhi larangan mendirikan bangunan baru.

Luas Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai mencapai empat kabupaten.

Tapi bukan berarti tempat ini sepenuhnya bebas masalah. Di Watumohai, gunung berhutan di Rawa Aopa, populasi rusa jauh terkikis akibat perburuan liar. Guna melestarikannya, pihak taman nasional terpaksa menciptakan area penangkaran. Keputusan yang janggal. Buat apa memiliki kawasan yang dilindungi jika masih harus membangun penangkaran di dalamnya.

Padang sabana adalah lanskap yang paling menakjubkan di Rawa Aopa. Kompleks seluas 23.000 hektare ini memadukan padang rumput dengan tumbuhan agel, lontar, bambu berduri, serta belukar.

Sapi-sapi yang juga memanfaatkan taman nasional Rawa Aopa untuk mencari makan.

Untuk menjangkau sabana, saya menaiki motor dan meniti jalan lebar yang, menurut warga, didirikan atas bantuan pemerintah Australia. Setelah 15 menit berbelok dari jalan raya, sabana terhampar di hadapan. Bentuknya mirip padang golf alami.

Selanjutnya kami menyeberangi sungai dan menembus hutan, juga melewati lokasi bertelurnya maleo dan kakatua jambul kuning. Setelah dua jam, kami kembali tiba di padang sabana lainnya, tapi kali ini sosoknya lebih ajaib: bukit-bukit rumput yang saling berkelindan layaknya gelombang di lautan hijau. Mirip lokasi syuting Teletubbies.

“Ini baru sebagian,” kata Putu, teknisi Pengendali Ekosistem Hutan, menyela lamunan saya. “Di balik ini masih ada bukit-bukit lainnya yang lebih bagus.”

Padang rumput luas dengan bukit-bukit hijau.

Rawa Aopa bukan hanya penting bagi Indonesia. Pada 6 Maret 2011, taman nasional ini dinobatkan dunia sebagai Situs Ramsar, yakni area lahan basah yang didedikasikan bagi konservasi. Ramsar merujuk pada sebuah kota di Iran yang menjadi tempat ditandatanganinya Konvensi Lahan Basah oleh tujuh negara. Kendati namanya asing, Rawa Aopa ternyata menjadi bagian gerakan global yang berniat menjaga kelestarian bumi.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2015 (“Suaka Sulawesi”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5