Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Surga Laut di Kota Kinabalu

Kiri-kanan: Area makan yang berada di tepi pantai; Justin Juhun, sang pemandu tamu di Gaya Island Resort.

Kendati bersahaja, resor tersebut diperkaya banyak ornamen luks: matras lapang yang dibungkus seprai lembut, bathtub, serta dek yang dilengkapi daybed. Fasilitasnya antara lain kolam renang sepanjang 40 meter dan kompleks spa di tepi hutan bakau yang menawarkan sesi perawatan dengan bahan-bahan harum semacam kayu manis dan kenanga. Resor ini juga memiliki sepasang restoran. Yang pertama menyuguhkan sesi makan formal. Yang kedua, Fisherman’s Cove, melayang di dek dan menyajikan panorama bintang. Mayoritas kamar dilengkapi tontonan menarik, yakni pemandangan matahari terbit di atas Kinabalu, gunung terjangkung di Malaysia. Pada malam hari, resor ini senantiasa mengundang lamunan, terutama saat lampu-lampunya berkilauan seperti barisan lilin di lereng bukit.

Justin Juhun, naturalis resor, dibesarkan di sebuah perkebunan kayu di sisi lain Negara Bagian Sabah. Pria 42 tahun ini telah hidup di sekitar satwa sepanjang hayatnya, bahkan pernah memelihara buaya. “Di jam makan, mereka sangat menyenangkan dan bersemangat, mirip anjing peliharaan,” katanya pada suatu pagi, ketika kami berjalan kaki menuju interior pulau yang berbukit, meniti jalur di hutan yang mengular di sepanjang panggung pulau. Saya membayangkan Juhun mengenakan jubah biksu Buddha. Bukan hanya karena wajahnya bundar dan rambutnya cepak, tapi juga karena sikapnya yang begitu damai saat menembus hutan, meski nyamuk mengerubungi betisnya dan semut berbaris di lehernya.

Saat berjalan-jalan di hutan, saya menyadari Gaya dan pulau-pulau lain di taman laut ini secara geologis merupakan bagian dari rantai Pegunungan Crocker di Sabah, dan bahwa naiknya permukaan air laut di ujung zaman es terakhir telah menceraikan mereka dari daratan utama. “Semua ini awalnya hutan dipterocarp di pesisir; hanya ada segelintir pulau di dunia yang menyerupai Gaya,” jelas Juhun antusias. “Bekantan hidup di sini. Begitu juga 18 spesies kadal, 21 spesies ular, dan 72 spesies burung.”

Kiri-kanan: Salah satu sudut bersantai para tamu yang dikepung pepohonan hijau; jalanan setapak di pulau yang bisa diakses tamu.

Juhun lalu menunjukkan sebatang pohon endemis meranti dan kelapa nibong (buahnya, dalam keadaan darurat, berfungsi sebagai makanan). Dia kemudian mengambil bongkahan dari lantai hutan. Di dalamnya terdapat benih besar yang diselubungi warna merah darah. “Ini berasal dari pohon knema. Banyak orang menyebutnya pala liar. Rangkong menyantap benihnya, begitu pula merpati imperial hijau.”

Kami melewati satu resimen semut (“sebenarnya rayap,” Juhun mengoreksi saya) dan melihat seekor kadal terbang yang sedang tertidur pada juntaian liana keriput. Di atap hutan, tempat suara bising bersahutan, Juhun menjelaskan, “Cicada (tonggeret). Kebanyakan orang menganggap suara itu dihasilkan oleh gesekan sayap cicada, tapi sebenarnya tidak. Cicada mengonsumsi getah pohon yang kaya kadar air dan minim nutrisi. Mereka mengeluarkan airnya dan menyerap nutrisinya. Saat air keluar dari perut, layaknya membran akordeon, suara berisik pun muncul.” Beberapa menit kemudian, saya merasakan tetesan di kepala. “Cicada pipis,” jelas Juhun sambil menyeringai.

Seperti yang saya utarakan di awal, laut di sini sangat berwarna. Saya menyaksikannya saat snorkeling di atas padang karang yang berjarak singkat dari resor. Pemandu saya hari ini, Mayback, adalah pria pemalu asal New York yang sontak berubah garang di dalam air. Dia bergerak gemulai layaknya seseorang yang hidup di laut sejak lahir. Selain memimpin tur snorkeling, Mayback mengelola marine centre Gaya Island Resort di Teluk Tavajun, tak jauh dari tempat saya bertemu babi hutan penggemar jempol. Di sana, Mayback merehabilitasi penyu, menyemai karang, serta mengajarkan tamu dan siswa sekolah setempat tentang pentingnya konservasi. >>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5