Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Surga di Kaki Myanmar

Meski berkesan, kunjungan ke Desa Ma Kyone Galet menghapus semua gagasan romantis tentang tradisi nomaden kaum gipsi laut. AK mengatakan, merajalelanya overfishing sedang mengancam kelangsungan hidup warga. Tahun lalu, AK sempat bertanya kepada satu keluarga Moken tentang apa yang akan mereka lakukan jika laut tak lagi bisa dijadikan sandaran hidup. “Jika itu yang terjadi, maka kami akan mati,” jawab mereka.

Enggan para penumpangnya larut dalam kesedihan, Kapten Ekachai Pongpaew mengarahkan kapal ke Honeymoon Island guna menyuguhkan pengalaman romantis yang memikat. Kami berenang dan snorkeling, menyelami alam cantik yang lazim terpampang di brosur-brosur wisata.

Kiri-kanan: Pantai dengan pasir sehalus bedak; Nelayan suku asli Moken yang kerap barter hasil tangkapan dengan kru Burma Boating.

Setelah itu, kami meluncur ke Pulau Kyun Phi Lar di mana kapten menjanjikan pasir pantai sehalus bedak—janji yang ditepatinya. Saat kami mendekati pulau, ikan berlompatan dan membelah permukaan air. Menu makan malam di depan mata.

Kami tidak sendirian di Kyun Phi Lar. Ada dua perahu Moken berlabuh di sudut pantai, hingga menciptakan siluet di bawah sinar mentari senja. Para nelayan juga melihat kami, kemudian mengirimkan tiga utusan: dua pemuda dan seorang gadis berambut keriting. Ketiganya naik ke atas kapal kami. Kelasi menghadiahkan mereka beras, ikan, air, dan beberapa butir telur dan permen (disusul dengan sebotol rum dan beberapa bungkus rokok). Delegasi nelayan membalas kebaikan tersebut dengan menghibahkan dua ekor lobster.

Kini tiba waktunya sesi koktail. Saban malam, penumpang secara bergantian memimpin sesi minum-minum, dan sekarang giliran saya. Saya memilih ramuan berbasis rum, dengan tambahan sari mangga, kiwi, dan jeruk. Idenya menarik, tapi hasilnya justru smoothie yang memabukkan.

Kami mengangkut koktail dan kudapan ke sekoci, lalu membawanya ke pantai. Para ABK telah menyulut api unggun, sementara Ekachai memetik gitarnya untuk menyempurnakan atmosfer sunset. Di senja yang melankolis ini, laut tampil layaknya cermin perak yang memantulkan cahaya terakhir di langit. Kami sibuk memotret, berharap bisa membawa pulang keindahan dari kawasan yang mirip Arcadia versi Asia ini.

Kembali ke kapal, makan malam tersaji di bawah taburan bintang. Koki Wa mengolah ikan menjadi menu pembuka bergaya sashimi. Untuk menu utama, dia memasak lobster. “Lobster thermidor,” kata Wa tentang konsep masakannya.

Salah satu pulau yang ada dalam gugusan Mergui.

Untuk saat ini, mencarter yacht adalah satu-satunya metode untuk menjelajahi Mergui. Hanya ada satu island resort; lokasinya di dekat Kawthaung. Schwanitz sebenarnya pernah mendengar beberapa pengembang telah mengantongi lisensi pendirian hotel, tapi hingga kini belum ada yang terealisasi.

“Sejauh ini, kondisinya masih asri, karena turis hanya bisa ke sini dengan menaiki perahu,” kata Schwanitz. “Tidak ada jalan aspal, tidak ada telepon maupun koneksi internet, dan hanya ada dua sumber air tawar. Tapi, 10 tahun kemudian, saya yakin tempat ini bakal sepenuhnya berubah.”

Wisata Pesiar
Dalam paket ekspedisi lima malam persembahan Burma Boating, kapal bertolak tiap Sabtu antara Oktober hingga akhir April. Tarifnya mulai dari Rp27.250.000 per orang (twin share), mencakup makanan, minuman non-alkohol, dan beragam aktivitas. Carter privat dimungkinkan. Untuk reservasi, hubungi 66-2/107-0445 atau klik burmaboating.com.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September-Oktober 2015 (“Myanmar di Luar Radar”)