Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seni Memanah Melawan Zaman

Panah melesat menuju sasaran. adalah membidik sasaran sambil duduk bersila.

Teks dan Foto oleh Toto Santiko Budi

Di zaman Kerajaan Mataram, senjata panah atau disebut jemparing disandang oleh pasukan khusus. Pasukan yang disebut panyutro ini berdiri di barisan paling depan dalam setiap peperangan. Tugasnya menumbangkan pasukan lawan dengan melepaskan panah-panah tajam. Sebuah aksi pertempuran jarak jauh antar pemanah kerap dianggap sebagai tanda pembuka sebuah perang. Mereka bergerak maju selangkah demi selangkah. Ketika anak panah habis mereka mengganti senjatanya dengan kerambit (pisau tajam dengan bentuk melengkung seperti kuku bima) pedang, parang, atau tombak.

Adalah Tubagus Ali Mustofa, atau akrab dipanggil Gus Mus, yang dalam darahnya mengalir “ruh” leluhurnya yang merupakan petinggi di masa kerajaan Pajang dan Demak. Dia bersama pemanah-pemanah lain yang datang dari latar belakang beragam tergabung dalam pedepokan jemparing Dewondanu. Pedepokan ini mempunyai misi besar yakni, melestarikan seni berperang dengan panah tradisional.

Kiri-kanan: Tubagus Ali Mustofa (Gus Mus), pembina Padepokan Jemparingan Dewondanu tengah membidik sasaran; Gus Mus, demikian ia akrab disapa juga merupakan ahli membuat berbagai senjata pusaka termasuk jemparing (panah).

Secara rutin mereka berlatih di sebuah lapangan di Dusun Karangnongko, Desa Maguwoharjo di Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta. Lapangan berukuran 525 meter persegi yang diapit rumah-rumah penduduk di tengah pemukiman padat. Teh khas Jawa Tengah, kopi dan kacang rebus adalah sajian yang selalu ada di setiap latihan. Meskipun suasananya santai, latihan dilakukan secara serius. Bila ada rezeki lebih, ada hadiah bagi pemanah terbaik di setiap sesi latihan. Meskipun tak bersifat mengikat, Dewondanu biasanya menggelar latihan jemparingan setiap Minggu Wage yang dianggap sebagai hari baik.

Acara panahan yang digelar untuk turis biasanya diiringi oleh permainan musik gamelan.

Memanah adalah soal rasa, sesuai dengan kata “manah” yang dalam bahasa Jawa berarti hati.  “Harus ada perasaan dan hati yang tenang saat membidik, meregangkan busur, dan kemudian melepaskan anak panah ke sasaran,” ucap Gus Mus. Tak seperti cabang olah raga yang umum ditampilkan, jemparingan dilakukan sambil duduk bersila dengan posisi badan menyamping ke arah kanan. Fokus tertuju pada sasaran yang  terletak 31 meter di depan pemanah. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5