Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pintu Pertama Masuknya Islam ke Indonesia

Pesanggrahan Raja Uti di Desa Lobu Tua.

Lapo adalah sebutan untuk warung yang menyediakan tuak. Tapi fungsinya bukan cuma menyuguhkan makanan dan minuman. Lapo jugalah sebuah episentrum kehidupan, tempat orang bercengkerama, bertukar informasi, serta bernyanyi. Kata anekdot setempat, kalau ingin membunuh orang Batak, pisahkan lapo dari kehidupan mereka. Saya datang pada waktu yang kurang tepat. Hujan tiada berhenti sejak subuh. Di tengah cuaca dingin begini, kedai tuak penuh sesak.

“Saya datang ke sini untuk mengetahui sejarah Barus,” kata saya memperkenalkan diri. Seluruh pelanggan di kedai ini saya traktir tuak murah seharga dua ribu rupiah per gelas. Di antara mereka ada Situa, Manulang, Marbun, dan Simatupang. Semuanya hanya menyebut nama marga. Bagi orang Batak, nama depan tabu bila disebutkan. Cuma Lasdel yang sudi memberitahukan nama depannya.

Pengunjung lapo berdebat seperti segerombolan pengacara. Lasdel menghidangkan gulai anjing, dan para tamu melahapnya sembari terus mengurai benang kusut sejarah. “Dulu sekali, Portugis jauh-jauh datang ke sini demi pohon kapur,” kata Situa dengan gigi yang tak seberapa. “Ah, mana mungkinnya, itu Jepang,” Manulang membantah.

“Kalau Jepang, mana mungkin di Barus ini ada benteng Belanda. Pastilah Belanda, opungku bilang begitu. Opungku tahu semua tentang Barus ini. Opungku juga bisa membedakan mana kayu yang mengandung minyak kapur dan mana yang tidak,” Marbun berorasi seperti ketua partai.

Lasdel hanya diam. Dia berjalan ke arah belakang laponya, lalu muncul lagi membawa sebuah botol mungil. “Ini minyak umbil, minyak pohon kapur. Ini lebih mahal dari kapur barus. Hanya tersisa sedikit ini pada saya. Dicampur tuak lebih bagus,” kata Lasdel. Ia meneteskan minyak dari botol itu ke jari saya. Saya menjilatnya. Tidak berapa lama, sesuai kata Lasdel, badan saya terasa lebih ringan.

“Apanya kubilang, ini obat. Itu pohon kapur, menampik segala ilmu jahat,” kata lelaki tua di pojok lapo. “Kalau tidak ditebang-tebang, ini pasti masih banyak,” kata lelaki lain yang baru datang dan langsung memesan segelas tuak. Tapi, sebagaimana zaman dan musim, pohon dan tanaman telah berganti. Masa kapur barus telah lama lindap, sementara zaman sawit dan karet menggeliat cepat.

Kiri-kanan: Batu-batu nisan tua yang bertuliskan aksara Arab dan Persia di kompleks Makam Mahligai, tempat yang dipercaya menampung jenazah generasi awal ulama penyebar Islam di Nusantara; menu ikan palu palu (atau kukul gondang) yang dihidangkan bersama tuak.

“Bagusnya di mana? Sawit dan karet itu tidak ada harganya sekarang,” lelaki lain protes. Lasdel tersenyum mendengar perdebatan, lalu mengajak saya melihat pohon kapur yang tumbuh besar di belakang lapo. “Peneliti dari IPB Bogor, Jepang, Prancis, datang ke sini untuk meneliti pohon ini,” kata Lasdel.

Meninggalkan lapo, saya menembus jalan berliku yang digenangi lumpur. Saya sedang menuju kota masa lalu, menuju Barus yang sebenarnya. Namanya adalah Lobu Tua. Kata Claude Guillot, arkeolog Prancis, Lobu Tua adalah kota yang dihancurkan oleh sekelompok Gergasi pada awal abad ke-12. Gergasi? Raksasa hitam dan buruk rupa? Saya membayangkan Guillot menulis sambil menenggak tuak panas.

Tapi jangan-jangan Barus memang sebuah kota yang hilang, yang lenyap diserbu kekuatan besar yang entah siapa. “Mungkin yang dimaksud Gergasi itu adalah semacam metafora akan kekuatan yang lebih besar,” kata Gusti Asnan ketika saya tanyakan hal itu pada waktu yang berbeda. Sejarah Barus adalah pertalian yang erat antara realitas dan mitos. Memisahkannya sama seperti mengurai kembali air dan ragi pada tuak.

Melewati jalan licin, saya menuju ke Lobu Tua, kota yang menurut Guillot tidak lebih dari sebuah perkampungan yang dirundung sepi, lengang dengan rumah-rumah beratap kusam, sebagian besar berdinding papan, terselip di antara kakao, kelapa, sawit, dan karet.

Dalam Histoire de Barus: Le Site de Lobu Tua, Guillot menjelaskan kamper sudah dikenal sejak abad ke-6, mulai dari Tiongkok hingga kawasan Laut Tengah, tapi kisah tentang produsennya, Barus, terus dirundung ide-ide yang kabur. Di awal Masehi, kota ini telah dicatat dalam berbagai bahasa, seperti Yunani, Arab, Tionghoa, Tamil, Jawa, dan Armenia.

Penanda lokasi Barus di puncak Tugu Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara, monumen kontroversial yang diresmikan oleh Presiden Jokowi.

Saya menjejakkan kaki di Lobu Tua. Melihat saya yang kebingungan, setelah mengintip beberapa kali, seorang gadis melongok dari balik pintu, lalu menggiring saya ke belakang rumahnya untuk melihat lubang-lubang bekas galian. Seorang ahli linguistik, Van der Tuuk, pernah dikirim oleh Bijbelgenootschap (Perkumpulan Ahli Kitab Belanda) ke Lobu Tua untuk membeli benda kuno seperti koin emas, belasan cincin, serta prasasti dalam aksara Nagari dan Kawi.

“[Lubang-lubang] ini dulu ada orang Barat yang datang menggali. Banyak ditemukan barang antik di sini. Harganya mahal itu,” Ira Galingging mulai bercerita, lantas bertanya apakah saya juga ingin mencari barang antik.

Ira kembali mengajak saya menyusuri jalan licin. “Belum lama ini,” katanya lagi, “ada orang di Lombok yang bermimpi untuk membangun pelindung makam ini. Dan dia datang ke sini.” Ira menerangkan mausoleum Syekh Tombang di depan kami. Kuburannya dinaungi rumah beratap ijuk. Banyak hal-ihwal di Barus memang terpaut dengan mimpi, alam gaib, hal-hal ganjil yang sulit diterima akal.

Sejengkal dari makam sang syekh, lubang-lubang bekas galian ternganga. Saya membayangkan Guillot datang ke kota kuno ini pada 1995 dan mulai menggali. Ira masih seorang gadis kecil saat itu. Lobu Tua, tulis Guillot lagi,adalah kota kaya yang kini telah tenggelam. Ya, tenggelam, bukan karena dilahap Gergasi, tetapi dibenamkan oleh sawit. Siapa yang mengira kota kaya itu sekarang telah menjadi kampung yang terpinggirkan?

Pagi buta, ketika penduduk Barus masih terlelap, saya diam-diam mendaki ratusan anak tangga di lereng Bukit Papan Tinggi. Di puncaknya, saya mendapati sebuah kuburan sepanjang tujuh meter. Kata Ira kemarin senja, ini makam Syekh Mahmud. Sebelumnya, kata Pasaribu, ini makam keramat yang menyimpan rahasia sejarah Barus. Sejarah kamper? Ataukah sejarah penyebaran Islam?

Kiri-kanan: Karya Fadli Pasaribu, 56 tahun, meninggalkan pekerjaannya di Jakarta untuk menetap bersama keluarganya di Barus; barisan patung di kompleks makam keluarga Situmeang di Bukit Hasang—satu dari sekian banyak makam tua di Barus.

Saya tidak mau lagi bertanya. Sejarah di sini toh bagai tuak penuh ragi. Di bawah sana, nun di Kuala Barus, saya membayangkan layar kapal Arab yang membawa Syekh Mahmud berkibar-kibar ditiup angin ribut pantai barat Sumatera. Di sebuah tanjung, Ira melambai, entah pada siapa.

PANDUAN
Rute
Barus terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Bandara terdekat adalah Bandara Dr. Ferdinand Lumban Tobing (Sibolga) yang telah dilayani oleh Garuda Indonesia (garudaindonesia.com) dan Lion Air (lionair.co.id) untuk menjelajahi Barus, sebaiknya sewa mobil di Sibolga, sebab Barus hanyalah sebuah kota kecamatan terpencil di mana rental kendaraan belum tersedia. Tapi setidaknya jaringan 4G telah tersedia di sini. Menggunakan peta digital, Anda bisa melacak objek-objek wisata religi seperti Makam Mahligai, Papan Tinggi, Lobu Tua, dan Tugu Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara.

Penginapan
Industri pariwisata belum berkembang di Barus. Di sini tidak ada resor atau hotel berbintang. Pilihannya hanyalah Hotel Fansuri, Hotel Borneo, dan hotel Sultan Haflah Pangeran 3 yang telah memiliki restoran. Kamar yang dilengkapi AC rata-rata dibanderol Rp150.000-400.000.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Babad Bancuh Barus”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5