Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Petualangan di Cagar Alam Borneo

Dionysius tengah bekerja di jembatan yang membelah rimbunnya daun pepohonan.

Oleh Johnny Langenheim
Foto oleh James Morgan

Dengan penuh konsentrasi, Linda melahap buah fig liar. Ia bertengger 50 meter di atas tanah, dengan satu tangan menggenggam dahan yang berkelindan, sementara bayinya melekat di punggungnya. Melihat orangutan memicu getaran-getaran batin, seolah saya sedang menyaksikan keajaiban semesta. Dari segi genetik, orangutan mungkin berjarak hanya satu langkah kecil dari manusia.

Perenungan saya terusik oleh lintah yang menyelinap ke celana. Saya menyentilnya, tapi ia justru mendarat di leher teman di sebelah, lalu dengan gesit mencengkeram kulitnya erat-erat. Saya berusaha menahan tawa. Teman saya menemukan sisi gelap belantara ini, sedangkan saya menemukan sisi lucunya.

Seekor orangutan di pohon di Danum Valley.

Saya menginap di Borneo Rainforest Lodge, penginapan premium yang didesain ramah lingkungan. Di sini ada kompleks pondokan rotan yang disebar di samping sungai, serta paviliun yang menyajikan menu prasmanan tiga kali per hari. Fasilitas lainnya ialah jembatan kayu dan menara pandang yang bertengger setinggi 25 meter dalam rimbunnya kanopi hutan, di mana kicauan burung kerap menenggelamkan kita dalam hiruk-pikuk alam. Pangeran William dan Kate Middleton sempat singgah di sini dalam tur Jubilee mereka tahun lalu.

Semua itu ditawarkan Danum Valley Conservation Area di Sabah, negara bagian paling utara di Malaysia cabang Borneo. Cagar alam ini memiliki luas 438 kilometer persegi, menjadikannya zona konservasi hutan hujan tropis termegah di Negeri Jiran. Di dalamnya berkeliaran orangutan, macan dahan Kalimantan, gajah kerdil Kalimantan, ular piton, serta badak Sumatera. Warga asli lainnya masih banyak, contohnya tarsius, owa, bekantan, katak, serta kadal (beberapa bisa terbang, atau lebih tepatnya, melayang).

Kiri-kanan: Pemandu menemani turis dalam acara jalan-jalan pagi; Seorang turis dengan peralatan penjelajahan lengkap.

Serangga juga berlimpah dan beberapa agresif. Sebut saja kumbang banjo, hewan yang bisa menyemprotkan asam butirat yang berpotensi melumpuhkan tubuh. Jika penduduknya disensus, Lembah Danum dihuni sekitar 550 spesies mamalia dan burung, serta lebih dari 200 jenis tumbuhan. Borneo Rainforest Lodge dimiliki oleh Yayasan Sabah. Semua paket tur yang ditawarkannya dikelola oleh anak usahanya yang bernama Borneo Nature Tours. Organisasi bertubuh ramping ini sepertinya hendak mengawinkan antara bisnis penginapan dengan petualangan alam. Semua jagawana yang dipekerjakan pihak penginapan adalah warga asli lokal dan telah berlisensi, artinya pernah menjalani pelatihan yang ekstensif.

Linda adalah satu dari sekitar 500 ekor orangutan yang mendiami Lembah Danum. Sejumlah pakar menjadikan tempat ini fokus penelitian orangutan berkat ekosistemnya yang terawat dan aksesnya yang mudah. Pada hari kedua, kami bertemu mahasiswa doktoral asal Portugal, Renata Mendonça. Dia duduk termenung di kaki sebuah pohon, mungkin karena lelah usai melacak seekor kera betina selama seminggu. Mendonça menuturkan sejumlah info menarik. Katanya, hanya orangutan jantan dominan yang memiliki wajah lebar yang khas—kombinasi bantalan pipi berlemak dan kantong leher. Ukuran tubuhnya juga lebih besar dari pejantan lain yang tak memiliki aksesori distingtif tersebut. “Kita mengenal istilah bimaturism, artinya ada dua jenis pejantan,” jelas Mendonça. “Dalam satu zona habitat, hanya ada satu pejantan berpipi lebar. Ia akan menoleransi pejantan tanpa pipi lebar di sekitarnya, tapi tidak bagi pejantan dominan pesaing. Peneliti menduga ia mengeluarkan hormon yang menghambat pertumbuhan pejantan lain dalam jangkauannya.”

Kabut sisa hujan mulai terlihat.

Fokus penelitian Mendonça adalah relasi erat antara ibu dan anaknya. Bayi orangutan hidup dengan induknya hingga berusia 10 tahun, dan bakal konsisten mengunjunginya hingga enam tahun berikutnya. Ikatan jangka panjang ini tergolong langka di kalangan mamalia. Hingga kini, ilmuwan belum menemukan penjelasan tuntas atas ikatan tersebut. Setidaknya, informasi dari Mendonça telah membantu saya memahami eratnya hubungan Linda dan anaknya. Bersama sang pemandu, Dennysius Aloysius, kami mendaki rute curam menuju Viewpoint.

Denny adalah pemandu dengan masa kerja terlama di Borneo Rainforest Lodge. Kejelian matanya tak diragukan. Dialah yang pertama kali menemukan posisi Linda di antara dedaunan. Pria yang penuh semangat ini juga bisa mencium keberadaan macan dahan. Suatu kali, dia menunjukkan kulit pohon yang mengandung bahan psychoactive. “Bisa membuat Anda bergairah dan nekat, tapi juga membuat Anda ceroboh,” katanya.

Kiri-kanan: Jembatan gantung setinggi 25 meter untuk observasi sekaligus tempat pengunjung menyaksikan alam sekitar; jembatan gantung yang tak cocok untuk orang yang mengidap fobia ketinggian;

Viewpoint menawarkan panorama rimba di sekitarnya, yang tentu saja terlihat lebih jelas jika hujan hari ini segera berhenti. Kami menyimpan perlengkapan di bawah akar-akar gemuk. Tak lupa, saya menanggalkan sandal jepit, benda yang sempat mengundang tatapan meremehkan dari tamu Rusia yang tampil bak petualang sejati: bot, kaus kaki anti-lintah, dan kelambu antinyamuk. Saat hujan mereda, saya berkelana ke bibir tebing dan menonton kabut merayap naik dari belantara hijau yang diperkirakan telah eksis selama 130 juta tahun.

Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik di bawah. Dengan posisi jongkok, saya melihat sekawanan lutung merah dalam jarak beberapa meter. Baru sejenak saya menikmati momen berharga ini, gerombolan merah itu beranjak pergi ke dalam rimbunnya rimba. Cara terbaik menutup trekking adalah berendam, apalagi jika Anda berhasil menemukan air terjun. Usai menyegarkan tubuh, saya berjemur di atas sebidang batu dengan kaki dicelupkan ke air…sampai akhirnya sesuatu mengemut jari kaki. Saya sontak menjerit. Tapi kemudian teringat pesan dari Denny: di sini tidak ada piranha, melainkan ikan keradu. Saya kembali berbaring dan membiarkan ikan-ikan mengelupas kulit mati.

Kiri-kanan: Menjelajah sungai dengan menggunakan ban dalam berukuran jumbo; ruang ganti di Jacuzzi Pool, fasilitas pemandian dengan air terjun alami di dekat Borneo Rainforest Lodge.

Puncak ekspedisi saya adalah perjumpaan dengan kawanan gajah kerdil. Meski kerdil, mereka adalah warga terbesar di Lembah Danum. Kata pemandu, satwa ini merupakan keturunan gajah-gajah Sumatera yang dihibahkan British East India Company kepada Sultan Sulu pada 1750. Legenda ini menarik didengar, tapi akurasinya meragukan. Analisis DNA terbaru menyimpulkan, leluhur gajah-gajah tersebut mendiami Borneo sejak 300 ribu tahun silam. Seiring waktu, mereka berevolusi secara terpisah dari sepupu mereka di Sumatera, kemudian menjadi gajah dengan tubuh yang lebih kecil, lebih buntal, dan lebih imut. Tapi hari ini, kesan imut itu tidak terasa. Yang tampak di sepanjang perjalanan kami menuju Sungai Danum adalah tumpukan tinja segar. Kata Denny, feses itu ditinggalkan pejantan besar yang memimpin kawanannya. “Mungkin setengah jam yang lalu, tidak lebih.” Inilah pariwisata alam liar yang sebenarnya. Menutup petualangan, saya menghabiskan sisa pagi dengan menyusuri sungai memakai ban dalam berukuran jumbo, seraya menyaksikan pohon-pohon berlalu.

Kiri-kanan: Kamar di Borneo Rainforest Lodge; Sarapan dengan pemandangan pepohonan rimbun.

DETAIL
Danum Valley

Rute
Terletak di pesisir tenggara Sabah, Lahad Datu adalah kota terdekat dari Danum Valley Conservation Area. Kita bisa menjangkaunya melalui jalur darat selama enam jam dari Kota Kinabalu. Opsi lain adalah menaiki pesawat MASwings (maswings.com.my)—anak usaha Malaysia Airlines yang beroperasi di Borneo—yang terbang setiap hari ke Lahad Datu. Dari Lahad Datu, Borneo Rainforest Lodge menyediakan layanan transfer berjadwal menuju Lembah Danum dengan waktu tempuh sekitar dua jam.

Penginapan
Paket full-board dua malam di Borneo Rainforest Lodge (60-88/267-637; borneonaturetours.com) dibanderol $784 per orang, mencakup izin masuk, pemandu, dan transfer dari Lahad Datu.

Dipublikasikan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2013. (Dispatches—Adventure: “Cagar Borneo”)

 

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5