Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Panduan Makan Urban di Hong Kong

Chili crab dengan roti pullman, suguhan pamungkas Fatty Crab.

Oleh Nick Walton
Foto oleh Josephine Rozman

Untuk urusan makanan, Hong Kong tak pernah kekurangan pilihan. Beragam restoran dengan beragam menu berserakan dan bermunculan hampir saban bulan. Menarik, karena semua itu hadir di sebuah metropolitan yang lebih terkenal akan kekuatan ekonominya ketimbang kreativitasnya. Tahun lalu, generasi baru menyeruak penuh gairah di sejumlah kantong permukiman, seperti terlihat pada gerai-gerai anyar di kawasan Soho dan Sheung Wan. Mereka berhasil memberi sentuhan seni pada makanan jalanan khas Asia, lalu menyajikannya di ruang-ruang urban yang sempit.

Pendekatan segar tersebut disambut pasar. Para pendatang baru sukses menjaring pengikut setia, tepatnya orang-orang yang senantiasa mendambakan inovasi kuliner dan autentisitas.

Kiri-kanan: Nahm dtok nuer, selada wagyu sapi bakar, contoh menu khas jalanan yang disajikan Chachawan; ayam goreng saus asam manis khas Thailand di Chachawan.

Chachawan: Perlawanan Isan
206 Hollywood Rd., Sheung Wan; 852/2549-0020.
Saya datang di Kamis malam, sedikit terlambat untuk menikmati happy hour, namun juga terlalu dini untuk melantai di kelab malam. Tapi di bilangan Hollywood Road, salah satu sudut terpencil Sheung Wan, atmosfer justru terasa sesak. Penyebabnya adalah Chachawan, properti besutan seorang pengusaha hotel dan restoran asal Singapura, Yenn Wong.

Dari pintu besi berwarna zamrud, sebuah lorong membawa para tamu ke ruang berbahan beton polos yang diterangi lentera minyak tanah serta dihiasi mural dan poster kuno Hong Kong. Tersedia meja-meja berkapasitas dua hingga empat orang, tapi kursi-kursi yang paling diburu tamu sebenarnya berlokasi di dekat dapur. Di sinilah mereka bisa menonton langsung sang koki asal Australia, Adam Cliff, beraksi.

Koki Adam Cliff dan Junior Shiama, dua penggawa Chachawan.

Sebuah aksi yang tak layak dilewatkan. Saya pun melebur dalam kerumunan penonton. Langsing, pucat, cepak, berusia 27 tahun tapi berwajah anak ingusan, Cliff sepertinya lebih cocok menyuguhkan gelas-gelas bir di klub kriket Wollongong ketimbang berjibaku dengan kompor di Hong Kong. Sebuah pesanan meluncur dari tangan pelayan, dan Cliff meneruskannya dengan bahasa Thailand yang fasih kepada pasukannya di dapur. Selang beberapa detik, dapur di hadapan saya pun berubah hiruk pikuk.

Cliff memiliki pengalaman panjang dengan masakan Thailand. Dia pernah bekerja untuk Duangporn Songvisava di Bo.Lan, Bangkok, lalu mengabdi untuk koki tersohor David Thompson di Nahm, London. Pergulatan itulah yang mengilhaminya untuk mengutak-atik menu-menu panas khas Isan, kawasan di timur laut Thailand. Hingga kini, upayanya berbuah banyak pujian kritis dari pencinta kuliner di Hong Kong.

Es krim kelapa, hidangan pencuci mulut khas Thailand di Chachawan.

Tapi masakan Thailand karyanya bukan untuk kaum yang bernyali lembek. Masakan Isan berkarakter pedas dan tajam. Masakan tidak dicampur santan yang lembut, melainkan didominasi oleh rempah segar, potongan daging yang dipanggang di atas bara, dan taburan cabai. Salah satu menu andalan Chachawan adalah selada pepaya hijau.

Ada tujuh varian yang bisa dipilih, termasuk som dtum goong dengan tomat mungil, udang kering, asam Jawa, dan telur bebek. Opsi lainnya: nahm dtok nuer, selada berisi wagyu sapi bakar, ketumbar, daun mentol, jeruk limau, kecap ikan, dan nasi panggang; dtom sap moo, iga babi dalam sup asam; serta pla phao glua, ikan sea bass dengan kulit asin yang dibakar dengan serai dan pandan. Di kota di mana masakan lebih sering dibuat dengan bahan-bahan minimalis, Cliff seolah sedang mendobrak kemapanan. >>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5