Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Panduan Makan di Portland

Hidangan halal mudah ditemukan di sejumlah food cart.

Oleh Mary Sasmiro

Banyak orang lebih mengenalnya sebagai Kota Mawar. Portland memang mengoleksi taman-taman megah berisi aneka varietas mawar dari penjuru bumi. Sejak awal abad ke-20, kota di barat Amerika ini juga rutin menggelar Festival Mawar.

Tapi sebenarnya ada magnet lain yang membuat Portland begitu memikat. Di antara wangi kembang yang semerbak memenuhi udara, kita bisa mengendus aroma masakan dari dapur-dapur yang berbaris di pinggir jalan. Warga lokal menyebutnya food cart. Bentuknya berupa kios atau truk makanan. Mengoleksi lebih dari 600 armada food cart yang tersebar di pojok-pojok kota, Portland kerap dijuluki “sentra makanan jalanan dunia.”

Hidangan daging kambing khas Yunani.

Julukan yang agak superlatif memang, apalagi di telinga orang Indonesia, tapi cukup fenomenal untuk standar Amerika. Kios makanan punya sejarah panjang, tapi truk makanan baru bersemi pada abad ke-17 di Amerika. “Resto berjalan” ini konon bermula di kota-kota pesisir timur. Ada banyak alasan kenapa food truck tetap lestari. Selain menawarkan mobilitas dan strategi jemput bola, bisnis ini menuntut biaya operasional yang lebih murah. Merujuk data lembaga riset IBISWorld, industri food truck tumbuh 12 persen per tahun dari 2009, dan kini bernilai hampir $1 miliar.

Di Portland, bisnis yang dijuluki “mobile cuisine” itu mengidap karakter yang agak berbeda. Banyak pelakunya justru lebih nyaman menetap di satu titik ketimbang berpindah-pindah. Kawasan tempat berkumpulnya segerombolan food cart biasa disebut “pod.” Beberapa pod yang terkenal antara lain Alder, Fifth Avenue, Third Avenue, Portland State University, dan Mississippi Marketplace. >>

Meskipun sajiannya simpel dan tanpa alat makan mewah, kios makanan sangat diminati di Portland.

Dipandu sejumlah teman yang telah lama menetap di Portland, saya memilih melakoni petualangan lidah di Alder, salah satu pod terbesar di kota ini. Bagi turis asal Jakarta, kota tropis yang karut-marut, Portland lebih mirip kota retret, sebuah tempat di mana gunung, sungai, dan barisan pohon jangkung berkelindan di bawah langit cerah. Nuansanya sejuk, kalem, dan serbahijau. Berjalan-jalan di sini, saya justru merasa sedang berlibur di Puncak, Jawa Barat.

Tak jelas kapan tepatnya Portland mulai merekah menjadi salah satu “ibu kota kuliner Amerika.” Sejatinya, kota ini tidak dilirik koki-koki berpengaruh dunia. Kita tak akan menemukan properti bonafide milik figur tersohor sekaliber Thomas Keller atau Gordon Ramsay. Satu-satunya institusi kuliner terkenal di sini adalah kampus Le Cordon Bleu.

Alih-alih berkiblat pada megapolitan seperti New York yang dijejali restoran-restoran mentereng, para pemain kuliner di Portland justru lebih fokus pada konsep makanan jalanan. Menu di sini dibuat simpel dan disajikan di tempat yang simpel. Tak perlu sendok perak. Tak butuh bintang Michelin. Tapi yang pasti kaya rasa dan varian.

Frying Scotsman, kios yang menyediakan hidangan ikan dan kentang goreng khas Inggris.

Keputusan itu disambut positif oleh pasar. Portland sempat termaktub dalam tiga besar kandidat Delicious Destination of the Year versi Food Network pada 2007. Setelah itu, banyak media mengulasnya, mulai dari The New York Times hingga Washington Post. Pujian-pujian mengucur dan reputasi Portland pun terkerek. Alhasil, di kalangan petualang makanan, kota ini kerap masuk daftar “paling menggiurkan” di belahan barat Amerika.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5