Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Oase Elok di Timur Maroko

Zenaga hanya memiliki satu masjid. Restoran tidak ada, kecuali beberapa kafe yang menyuguhkan kopi dan satu jenis kue buatan pabrik. Fasilitas hidup lainnya adalah satu alun-alun kecil, satu warnet, satu bank, satu apotek, dan beberapa toko yang menjual bahan pokok. Pantas saja penumpang bus menuju Figuig membawa banyak belanjaan.

Toples-toples berisi berbagai jenis reptil yang diawetkan.

Hanya kafe yang memiliki jam operasional yang jelas. Sisanya buka-tutup semaunya. Di muka sebuah apotek, saya mendapati beberapa stoples dan botol yang memuat reptil-reptil yang diawetkan dalam cairan khusus. Fungsinya simpang siur. Menurut Ismail, pemilik bengkel, cairan itu mengandung racun mematikan. “Masukkan beberapa tetes saja ke minuman musuhmu, tamat riwayatnya!” Tapi, kata seorang pemandu, fungsi stoples-stoples menakutkan itu adalah mencegah reptil masuk ke rumah. Konon, jika ada seekor kalajengking mati di rumah Anda, maka kalajengking lainnya enggan bertamu.

Algeria berjarak hanya tiga kilometer dari Figuig. Gerbang perbatasan ke sana ditutup sejak 1994 akibat perang teritorial. Di garis perbatasan yang membentang 1.559 kilometer itu, sebuah perseteruan akbar antara Maroko dan Algeria berkecamuk pada Oktober 1963. Dunia menjulukinya “Perang Pasir.”

Masjid di dekat perbatasan Algeria.

Perang memang sudah lewat, tapi bara permusuhan belum sepenuhnya padam. Berlokasi di dekat perbatasan, Figiug rentan terjebak dalam pusaran konflik. Turis ke kota ini wajib melewati proses pemeriksaan paspor yang ketat. Di sisi Maroko, hanya ada satu pos imigrasi kecil yang dilengkapi portal. “Kalau mau melintas, pasti tidak akan dipermasalahkan oleh pihak Maroko. Tapi pihak Algeria yang akan mempermasalahkannya,” tutur Ismail. Setiap orang Maroko yang saya tanya tentang kemungkinan pembukaan perbatasan hanya mengangkat bahu sembari menjawab singkat: “politik.”

Penutupan perbatasan telah menyusutkan jumlah pengunjung ke Figuig. Populasi Figuig juga berkurang setelah banyak warganya bermigrasi ke kota-kota besar di Maroko atau Eropa. Mereka yang tersisa menyandarkan hidup dari kebun-kebun yang memproduksi zaitun, kurma, atau gandum.

Tingkat pengangguran cukup tinggi. Di hari kerja sekalipun, banyak pria duduk-duduk di kafe untuk mengobrol atau menonton televisi. “Tidak ada pekerjaan di sini. Paling ada beberapa pekerjaan konstruksi sporadis untuk mendirikan rumah para imigran yang bekerja di Eropa. Mereka mengirimkan uang untuk membangun rumah di kampung halaman,” jelas seorang pemuda pengangguran bernama Mohammad.

Jalan setapak di sebuah daerah perumahan di Figuig.

Walau banyak orang tak memiliki sumber nafkah tetap, tingkat kriminalitas sangat rendah. Di Figuig, di mana jumlah pohon kurma mengalahkan populasi manusia, pintu-pintu rumah kerap dibiarkan tak terkunci. Asalkan mengucapkan salam, penduduk dengan senang hati menyambut tamu tanpa rasa curiga. Sekelompok ibu sempat mengundang saya ikut pengajian. Seorang petani mengajak saya ke kebunnya, lalu dengan antusias menjelaskan tentang kurma dan gandum yang ditanamnya. Hubungan kekeluargaan masih terjaga, dan paling kental terlihat di Oktober saat warga bergotong-royong memanen kurma. Kaum pria bertugas memanjat pohon dan memetik buah, sedangkan para wanita memilah-milah kurma terbaik.

Berbeda dari tempat-tempat touristy di Maroko, Figuig steril dari calo. Tidak ada orang yang meminta upah usai dimintakan tolong memotret atau menunjukkan arah jalan. Satu larangan di sini hanyalah mengambil gambar wanita yang mengenakan cadar putih. Dari Figuig yang tenteram, saya meluncur ke selatan untuk menyaksikan lanskap Sahara yang lazim ditampilkan di banyak film: hamparan pasir jingga dan bukit-bukitnya yang konstan tersapu angin.

Pusat administratif Figuig.

Erg Chebbi, satu dari dua kawasan perbukitan Sahara di Maroko. Lokasinya di dekat Pegunungan Atlas, perbatasan timur Maroko. Bukit-bukit di sini dibentuk oleh sapuan angin. Panoramanya mengundang decak kagum. Tinggi bukit pasir di Erg Chebbi bisa mencapai 150 meter. Menaklukkan puncaknya membutuhkan keahlian khusus. Saya lebih suka mendaki tanpa alas kaki agar pijakan lebih mantap. Ada kalanya lebih gampang merangkak ketimbang berjalan. Gundukan-gundukan di sini dibalut pasir sehalus bedak yang kadang sangat padat dan licin, tapi juga kadang rapuh sehingga kaki mudah terperosok. >>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5