Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mendaki Gunung Tertinggi di Daratan Korsel

Kami lalu menuju ke Sansingak atau puri roh gunung. Lukisan-lukisan fantasi menggambarkan roh itu sebagai orang tua berjanggut panjang yang selalu ditemani seekor harimau. Meski mata si kakek yang mengantuk terlihat bersahabat, saya tak lupa merapal doa agar trip ini dipenuhi berkah dan terbebas dari bala.

Namulbap (nasi campur rempah-rempah) dengan roti daging, acar renyah deodeok, serta acar di restoran Jirisan Namulbap.

Dan doa itu terkabul. Di sebuah restoran, kami disuguhi salah satu menu paling terkenal di kawasan ini: daging babi dari babi yang dikembangbiakkan di dataran tinggi Jirisan. Penduduk setempat percaya daging ini punya banyak khasiat, mulai dari melindungi lever hingga membuat wajah awet muda. Percaya atau tidak, menu ini sangat pantas dicicipi. Saya memanaskan daging di atas panggangan meja, menyiraminya dengan minyak wijen, lalu membungkusnya dengan daun perilla. Sesuai tradisi lokal, sajian ini selalu ditemani sayuran gunung, irisan bawang putih, serta taburan gochujang, yakni campuran petis kedelai dan cabai kering. Kami tak cuma mengumbar hobi makan di restoran ini, tapi juga mulai berkenalan dengan kuliner lokal.

Usai menghabiskan malam di atas lantai hangat, tubuh kami dikejutkan udara subuh yang menusuk tulang. Kami pun berpaling ke dapur Persimmons Flower guna menyeruput teh hijau pahit bersama Lee Chang-rim, pria Seoul lainnya yang rutin ke Jirisan. Kata dia, “Ini satu-satunya tempat di Korea yang terbebas dari gedung dan apartemen. Cuma ada gunung.”

Hari ini, agenda kami adalah meniti rute barat yang membentang 19 kilometer antara Kota Geumgye dan Inwol. Di sini terdapat jalan-jalan kuno yang menghubungkan desa-desa terpencil. Seperti etape lainnya, rute kami dilengkapi rambu-rambu kayu yang menginformasikan arah dan jarak tiap pos pemberhentian. Awalnya, kami bertolak dari jalan yang disibukkan lalu-lalang bus, kemudian berbelok ke jalan setapak yang terjepit kebun dan hanya ideal dilewati traktor. Berikutnya, kami menghabiskan jalan berbatu yang menanjak ke kaki Jirisan. Perjalanan ini lebih tepat disebut olahraga ketimbang tamasya, tapi tetap menyenangkan, apalagi di tengah udara segar yang beraroma daun pinus.

Dari sela pepohonan, kami menatap lembah di kejauhan. Walau kadang bersua pengembara lain, secara umum rute ini sangatlah sepi. Keheningannya sangat membius. Satu-satunya suara yang lebih berisik dari langkah kami adalah gemuruh arus sungai. Kami menyeberanginya dengan hati-hati sembari menapaki bebatuan licin. Kami menyeruak dari perut hutan dan tiba di Junggun.

Kiri-kanan: Barisan bukit di Jirisan; Pemandangan sublim dalam perjalanan ke Unbong.

Sempat dihuni markas tentara selama invasi Jepang pada abad ke-16, desa ini sekarang mendedikasikan dirinya pada pertanian. Semua rumah di sini membelakangi petak-petak sawah. Selain bertani, warga desa mulai mengambil keuntungan dari hadirnya rute Dulle-gil. Paviliun dibangun untuk menampung petualang. Mural-mural aneka warna menyampaikan pesan selamat datang. Seorang nenek memilah-milah akar dalam keranjang besar, lalu mengundang kami ke rumahnya untuk minum kopi. Duduk di serambi, Choi Sun-hee, yang mengaku berusia lebih dari 100 tahun, mengatakan tak pernah melihat Junggun begitu sibuk seperti sekarang. “Hanya ada orang-orang seperti kami yang menetap di sini. Lima anak saya sudah lama pindah,” katanya dengan aksen Jeolla yang kental. “Tapi sekarang saya tak terlalu kesepian—meski kadang ada terlalu banyak orang di akhir pekan.” Ketika kami pamit, dia meminta maaf karena tak mampu menyuguhkan makanan, lalu mengisi tangan kami dengan segepok chestnut matang.

Rute Dulle-gil bukan cuma dijejali desa-desa mungil. Pemberhentian kami berikutnya, Inwol, lebih mirip kota kecil ketimbang desa. Ada banyak markah yang memandu pengunjung ke restoran atau penginapan. Mengikuti saran seorang pejalan kaki, kami singgah di Jirisan Namulbap, restoran dengan spesialisasi namulbap atau nasi yang disuntik bumbu-bumbu khas pegunungan. Kata sang pemilik, Park Jae-su, kecap dan petis lada di kedainya dibuat sendiri. Katanya lagi, kimchi kreasi istrinya sangat terkenal, bahkan sempat tampil di salah satu stasiun televisi nasional. Saya pun mencicipinya. Acar kol buatan Nyonya Park memang luar biasa, tapi namulbap-nya jauh lebih sempurna.

Hidangan-hidangan lainnya mendarat di meja secara berurutan: roti isi daging gurih; akar renyah dan pahit yang disebut deodeok; serta campuran kecap, bawang merah, dan cabai. Sesi makan besar ini ditutup dengan teh sari arrowroot yang, menurut Park, berkhasiat menambah stamina. Dan stamina memang sangat kami butuhkan. Rute berikutnya menampilkan tanjakan panjang, disusul persawahan di mana kawanan burung jenjang berkerumun di kedua sisi rute yang dipagari pita tipis. Kemudian hujan turun. Mengikuti nasihat Park, kami melewati Kota Unbong (garis finis di etape Dulle-gil kami), selanjutnya berjalan satu hingga dua kilometer ke Desa Samsan yang dihuni sejumlah homestay. Kami mengetuk pintu salah satu homestay. Pemiliknya menunjukkan sebuah kamar kecil yang rapi, kendati sepertinya belum selesai dipulas. Tiap kamar dilengkapi kamar mandi. Tarifnya 40.000 won (Rp440.000). Dengan tambahan 6.000 won, tamu bisa menikmati makan malam di ruangan berisi foto-foto keluarga. Opsi inilah yang kami pilih—dan kami tak menyesal. Meja makan disesaki menu yang melampaui ekspektasi: tumis babi pedas, ikan yang diasinkan, cabai, serta rice wine. Walau kasur homestay kurang mumpuni, kami terlelap begitu cepat.

Kiri-kanan: Pohon pinus tua di rute antara Geumgye dan Inwol; Papan penunjuk arah bergaya klasik.

Pagi berikutnya, di bawah naungan langit cerah, kami mengubah rencana tur. Craig, yang menganggap dirinya “anak gunung,” memutuskan untuk menyimpang dari agenda awal dan bergerak ke Jirisan. Jalan pintas ini sejatinya akan membawa kami ke titik selatan dalam rute Dulle-gil.

Kami berjalan tertatih melalui gerbang taman nasional dan menuju Puncak Baraebong. Walau medannya menyiksa, panoramanya spektakuler: lereng berbalut hutan, karpet yang ditumbuhi bunga-bunga jambon dan biru, serta irisan laut dan batas cakrawala. Tapi rasa bangga usai mencapai ketinggian 1.165 meter segera pudar saat kami menyadari masih ada dua puncak lagi yang harus ditundukkan.

Agenda kami melibatkan pendakian medan terjal dan bebatuan vertikal dengan bantuan tali. Menurut kepercayaan lokal, Jirisan bermakna “gunung orang bijak.” Tapi satu-satunya kebijaksanaan yang saya dapatkan di sini adalah, dalam urusan mendaki gunung, tak ada jalan pintas. Saya pun merasa bodoh saat akhirnya tiba dalam kondisi kelelahan di Cheoneunsa, kuil utama di lereng barat Jirisan, padahal kami sempat menumpang mobil dalam perjalanan ke sini. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5