Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana Bali Menjadi Produsen Perhiasan Perak Terbesar

Toko perhiasan John Hardy dengan fasad unik.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Putu Sayoga

Usianya lebih dari setengah abad, tapi tubuhnya masih memancarkan energi seorang remaja. Di ruang kerjanya, Desak Nyoman Suarti, seorang pengusaha perak paling berpengaruh di Bali, bergerak-gerak gemulai layaknya penari di atas panggung. Ibu tiga anak ini hendak menunjukkan tarian yang menginspirasi motif ukiran. Telapak tangannya bergerak memutar. Jari-jarinya membentuk simbol-simbol. Tak mudah memahami maksudnya. Menangkap wajah bingung saya, dia hanya tertawa.

Desak lalu membongkar tumpukan katalog, kemudian menunjuk gambar sebuah gelang. Lekukan-lekukan motif di badan gelang itu menyerupai alur putaran tangannya. “Motif ini disebut util,” katanya. “Alurnya melengkung.”

Selanjutnya, Desak menunjuk sebuah lukisan, lalu sebuah ukiran. Ada lebih banyak lekukan di sana. Ada lebih banyak motif yang tercipta. “Seluruh desain saya merujuk pada tradisi,” katanya. “Masing-masingnya memiliki akar budaya, yang kemudian dikembangkan menjadi perhiasan modern.”

Budaya, inikah penjelasan bagi asal-usul kerajinan perak Bali?

Orang-orang lazim memanggilnya Mami atau Mangku, sebutan bagi pemimpin ritual di pura. Rambutnya disasak dengan bunga kamboja terselip di telinga. Menjadi seniman bagaikan takdir hidupnya. Ibunya penari. Ayahnya perupa. Rudolf Bonnet kerap bertandang ke rumahnya untuk berkarya. Desak masih ingat bagaimana dia berlari-lari riang di rumahnya, ketika ayahnya berdiskusi dengan pelukis ternama asal Belanda itu.

Saat berusia 20 tahun, bakat menarinya tertangkap radar pengamat. Desak dikirim sebagai duta budaya ke Amerika untuk mengajarkan tarian dari kampung halamannya kepada warga asing. Jauh sebelum mengekspor perhiasan, wanita kelahiran Ubud ini sudah memperkenalkan seni Bali kepada dunia.

Saya kembali bertanya tentang motif ukiran perak, dan Desak kembali menjawabnya lewat tarian. Memori tarian dari masa muda telah merasuk ke tiap sendinya. Atau barangkali dia lebih mudah berbicara lewat bahasa tubuh ketimbang kata-kata.

Kiri-kanan: Nyoman Suarti memantau anak buahnya yang bekerja membuat perhiasan perak di studio miliknya; Nyoman Suarti dari Suarti Silver dengan dandanan eksentriknya.

Desak merintis bisnis perak pada 1976. Pergaulan yang luwes di luar negeri membuka jalan baginya untuk memasarkan perhiasan Bali. Desak ingat, di masa itu, barang-barang etnik Nusantara hanya digemari kalangan pemilik museum. Melalui sejumlah negosiasi, wanita yang pernah menikah dengan pria Amerika ini berhasil meyakinkan seorang pemilik butik bergengsi di New York untuk menjual perhiasan asal Bali. Ini pencapaian yang monumental. Bisa menembus salah satu pusat mode dunia membuka jalan bagi penetrasi pasar yang lebih luas. Jika kini perhiasan Bali telah menjadi aksesori busana, tak sekadar barang pajangan museum, Desak punya andil besar di dalamnya.

Suarti Company, perusahaan milik Desak, kini mempekerjakan sekitar 100 karyawan, ditambah ratusan perajin lepas di luar kantor. Nyaris seluruh produknya diekspor. Kenapa tidak menekuni emas? “Dari segi harga, perak lebih murah dibandingkan emas. Proses mengukirnya juga lebih mudah,” jawab Desak. “Bagi konsumen, mereka juga bisa membeli perak lebih banyak ketimbang emas—dan tidak akan merasa terlalu rugi jika ada yang hilang, ha ha ha…”

Mulai 2008, Desak rajin berburu inspirasi dari luar Bali, contohnya Kalimantan dan Papua. Ukiran kayu Suku Dayak dan Asmat melahirkan ide-ide desain yang lebih segar, lebih bercitarasa Nusantara. “Tiap produk kami memiliki filosofi. Melalui perhiasan perak, saya bercerita tentang budaya, pulau, dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Suarti Company berjarak hanya beberapa langkah dari Pantai Ketewel, di mana ombak deras Samudra Hindia terus menggerus daratan. Di sebuah bengkel kerja yang mungil, lima lelaki mengukir lempengan-lempengan perak di meja panjang. Jari-jari mereka bergerak luwes. Gesit, tapi teliti. Orang-orang yang terampil.

Bengkel ini bertugas menciptakan produk prototipe, yang kemudian hasilnya dikirimkan ke ratusan perajin untuk diproduksi dalam partai besar. Kata Desak, semua karyanya dibuat memakai tangan, karena itulah lebih dihargai di luar negeri. Tapi, bukankah mesin bisa bergerak lebih cepat? Bukankah dengan teknologi canggih ukiran-ukiran yang rumit bisa dibuat lebih presisi, lebih minim kesalahan? Desak percaya, budaya Bali juga menyimpan jawaban atas pertanyaan itu.

“Melalui doa dan ritual sebelum bekerja, seorang seniman bisa membuat karyanya hidup,” jawab Desak. “Itu artinya, karyanya sudah di-Taksu-kan.” Taksu? Membaca wajah bingung saya, dia melanjutkan penjelasannya. “Taksu berasal dari Tuhan. Manusia hanya menjadi perantaranya. Penari yang memiliki Taksu lebih menarik disaksikan. Kerajinan perak juga sama. Taksu itu mirip roh.”

Di Bali, kerajinan perak ternyata bukan semata bisnis kreatif yang mengandalkan keahlian tangan. Di dalamnya bersemayam dimensi spiritual yang luhur. Mesin tak mungkin menggantikan peran perajin perak, seperti juga penari mustahil digantikan oleh robot.

Kiri-kanan: Pekerja yang tengah sibuk membuat perhiasan perak di perusahaan John Hardy; Guy Bedarida dari John Hardy.

Di Bali, perak bersinar lebih kemilau dibandingkan emas. Celuk adalah salah satu buktinya.

Menyusuri Celuk seperti memasuki pabrik perak raksasa. Dari tepian jalan utama hingga gang-gang sempit, tokoperak bertaburan. Kadang saling menempel. Kadang saling berhadapan. Pelang-pelang toko perak menyembul di depan rumah layaknya barisan papan nama kafe di Legian.

Merujuk data BPS , 78 persen ekspor perhiasan perak Indonesia berasal dari Bali, dan Celuk adalah salah satu simpul terpenting yang membentuk statistik tersebut. Bisnis perak di sini memutar perekonomian rumah tangga dan menghidupi ribuan nyawa. Puluhan kilogram gelang, kalung, dan cincin diproduksi saban bulannya.

Hari ini, saya memulai penjelajahan dengan metode yang keliru: menaiki mobil. Untuk mengarungi sudut-sudut labirin Celuk, sepeda motor adalah moda transportasi yang ideal. Mayoritas gang ukurannya terlalu cupet untuk dilewati kendaraan roda empat. Saya pun memarkir mobil, berpindah dari satu rumah ke rumah lain, dari satu toko ke toko lain, mencoba memahami mengapa kampung sesak ini bisa menjadi produsen perhiasan perak ternama.

“Celuk sudah menjadi sentra kerajinan sejak saya kecil, bahkan sebelum Belanda datang,” kenang I Komang Nuriantara, pria kelahiran 1971. Dia mengelola Putra Kembar Silver, perusahaan warisan ayahnya. Keahlian mengukir perak di sini seperti kode DNA yang diwasiatkan turun-temurun. Istilah perajin autodidak barangkali tidak eksis di Bali.

Hampir 90 persen warga Celuk kini menekuni bisnis perhiasan perak. Kendati bisnis mereka punya sejarah panjang, toko-toko yang kini bertaburan di Celuk usianya belum terlalu tua. Mereka produk modern yang diciptakan Komang dan rekan-rekannya. Sebab, di masa lalu, mengukir hanyalah metode untuk menambal kas keluarga. “Di zaman orangtua saya,” ingat Komang, “mengukir perak adalah pekerjaan sambilan, selain menjadi petani.”

Celuk berkembang berkat pariwisata. Daerah ini menghubungkan kawasan selatan dan utara Bali. Turis yang ingin merasakan hangatnya pantai di tepi Samudra Hindia dan sejuknya desa-desa di utara, pasti melewati Celuk.

Sayangnya, kisah Celuk tak melulu kemilau seperti perhiasan yang dihasilkannya. Karena bergantung pada sektor pariwisata, naik-turunnya jumlah turis berpengaruh signifikan pada kehidupan warga. Masih basah dalam ingatan Komang bagaimana dua serangan bom di Bali melumpuhkan usahanya. Sebelum tragedi itu, karyawannya lebih dari 20 orang. Sekarang Cuma tujuh yang bertahan. “Setelah bom, bisnis seperti mati. Tidak ada pembeli,” timpal pengusaha perak yang lain.

Dalam beberapa kasus, perkembangan turisme pun bisa mengancam. Kehadiran banyak hotel di pelosok Bali mendorong pertumbuhan infrastruktur. Jalan-jalan baru bermunculan untuk menghubungkan utara dan selatan pulau. Celuk kini bukan lagi jalur satu-satunya bagi bus wisata.

Belum lama, para pengusaha mendirikan Celuk Design Centre. Lantai satunya diisi etalase yang memamerkan perhiasan dari puluhan perusahaan. Dihadapkan pada ancaman lesunya pasar, juga fluktuasi harga bahan baku, para pengusaha Celuk bersinergi untuk membuat terobosan. “Rombongan-rombongan bus sering singgah di sini,” kata seorang staf Design Centre. “Kami juga memiliki koperasi perajin. Anggotanya 160-an orang.”

Saya kembali menyusuri kompleks labirin Celuk. Beberapa toko telah ditutup dan dijual. Saya lalu singgah di UD. Romo, perusahaan yang fokus melayani pasar ekspor. Tiap bulannya, puluhan kilogram perak yang dibeli dari Aneka Tambang diolahnya menjadi perhiasan. Beberapa produknya dikirim hingga ke negara-negara di Amerika Selatan. Dengan melayani pasar asing, Romo berhasil melepaskan diri dari ketergantungan pada turis di Bali. Bisnis boleh pasang-surut, namun kisah Celuk untuk mempercantik dunia belum berakhir.

Kiri-kanan: Kolam dengan hiasan jembatan bambu di Bambu Indah; resepsionis menyambut tamu di penginapan bernuansa alam, Bambu Indah.

Swiss dan cokelat. Seorang teman memilih analogi itu untuk menjelaskan hubungan Bali dan perak. Swiss yang tidak memiliki kebun kakao berhasil menjadi produsen utama cokelat dunia. Meski tak punya tambang logam, Bali sukses menjadi sentra perhiasan perak. Kita pun menyimpulkan: kreativitas manusia sanggup mengatasi keterbatasan alam. Dan kreativitas itu bisa datang dari mana saja.

John Hardy mendarat di Bali sebagai turis lebih dari tiga dekade silam. Waktu itu, kerajinan perak belum menjadi industri besar. John, pria eksentrik yang hobi melancong, menyambung hidup dengan bekerja serabutan: membuat satu-dua buah perhiasan perak, lalu menjualnya ke konsumen dengan berdagang di jalan atau pantai. Satu perhiasan laku, John punya cukup uang untuk hidup seminggu. Saat koceknya menipis, dia kembali berdagang keliling.

Metode serabutan itu tak berlangsung lama. John didesak sang istri untuk lebih serius berbisnis. Bermodalkan gantungan kunci berbahan perak, dia pun terbang ke Amerika untuk merayu sebuah butik perhiasan terkenal. Upayanya kandas. “Kami berbisnis perhiasan, bukan gantungan kunci,” kata si pemilik butik. Untungnya, John tidak pulang dengan tangan hampa. Pihak butik memintanya menciptakan anting perak. Karyanya kali ini sukses, atau mungkin terlalu sukses. Pemilik butik memesan 300 anting. Bagaimana mungkin seorang pedagang keliling bisa menciptakan produk sebanyak itu? John pun meminjam uang dari sejumlah pihak sebagai modal usaha. Sejak hari itu, bendera John Hardy sebagai produsen perhiasan perak mulai dikerek.

Guy Bedarida menuturkan kisah dramatis itu dengan nada takjub. Dia tak habis pikir bagaimana sebuah perusahaan perak berskala kakap ternyata dirintis dari berdagang keliling. Gantungan perak yang dulu dibuat John masih disimpannya sebagai memorabilia. Guy mengambilnya dari lemari kaca, lalu memperlihatkannya. Wajahnya masih tidak percaya.

Pada 2007, Guy bersama Damien Dernoncourt membeli perusahaan yang dirintis John Hardy. Merek orisinal “John Hardy” dipertahankan. John, sang pendiri, juga masih menetap di Bali, tapi kali ini untuk mengelola hotel. Dia belum mau meninggalkan pulau yang telah mengubah garis hidupnya.

Perusahaan perak John Hardy punya tempat spesial dalam peta industri perhiasan dunia. Seluruh produknya dibuat dari bahan daur ulang, metode yang bertujuan mereduksi kerusakan lingkungan. Juga penting dicatat, tiap perhiasannya dibuat mengandalkan tangan. Ada nilai seni tinggi yang terkandung di sana.

Proses produksinya dipusatkan di area seluas dua hektare di Mambal, tak jauh dari Ubud. Kompleks ini dikelilingi sawah, dan sepertinya sengaja didesain untuk menyatu dengan sawah. Di antara bangunan beratap ilalang, padi-padi tumbuh subur di lahan becek. Semuanya ditanam oleh para karyawan. “Menanam padi adalah salah satu job desc di sini,” kata seorang staf.

Saya seperti berada di sebuah desa di tengah sawah. Jalan setapak membawa saya ke kandang-kandang hewan yang berbaris rapi. Ada kandang sapi, kambing, dan kelinci. Aroma tanah becek dan ternak begitu kental. Kadang baunya terbawa oleh angin dan menerpa tamu-tamu asing yang datang dengan dandanan rapi. “Kami ingin menjaga keaslian lahan,” Guy bercerita sembari memberi makan kambing. “Jika properti ini suatu hari nanti angkat kaki, lahan bisa dipulihkan ke kondisi semula.”

Rambutnya putih. Kemejanya putih. Celananya putih. Guy terlihat mencolok di tengah ratusan karyawannya yang berbusana jingga. Pria berdarah Prancis-Italia ini terlibat di industri perak Bali sejak 1999. Berbeda dari John, dia tak memulai usaha dengan berdagang keliling. Karirnya di bisnis perhiasan merentang panjang. Jejaknya penuh catatan wangi. Dia pernah bekerja untuk nama-nama besar sekaliber Boucheron dan Van Cleef & Arpels.

Kiri-kanan: Perhiasan perak hasil karya Made Pada, yang akan digunakan sebagai pelengkap topi seorang Pedanda (pendeta Hindu); giwang perak produk dari Suharti Maestro.

Saat John menawarkan pekerjaan di Bali, Guy meresponsnya dengan sebelah mata. Wajar. Sebagai desainer perhiasan, dia telah berada di puncak karir. Tak ada alasan membuang semua pencapaian itu untuk Bali, sebuah pulau yang terlihat begitu jauh dari kantornya yang mentereng di New York. Waktu itu, dia bahkan belum pernah berkunjung ke Asia.

Tapi Bali punya magnet yang sulit ditepis. Banyak warga asing enggan berpaling usai menginjakkan kakinya di sini. Setelah bertemu para perajin dan berjalan-jalan di Mambal, Guy seperti tersihir. Apa sebenarnya yang dirasakannya saat itu? Guy tak punya jawaban tunggal. Dia melihat sekeliling, lalu kembali bercerita: tentang alam Hindu yang mengandung banyak ilham, tentang lanskapnya yang memesona, tentang orang-orangnya yang terampil.

“Kunjungan pertama saya mengubah segalanya,” kenangnya. Diiringi bau kambing dan tanah yang berseliweran terbawa angin, saya memasuki sebuah ruangan di mana puluhan remaja mengolah batang-batang perak menjadi gelang. Perkakas mereka simpel. Ada tang, pinset, dan pahat. Tangan mereka berpindah-pindah dengan cekatan. Prosesnya runtut dan rapi, tapi penuh daya kreasi.

“Selalu ada kisah di balik tiap karya,” jelas Guy. Dia mengambil beberapa lembar kertas berisi dongeng seekor naga. Hewan perkasa itu jatuh cinta pada mutiara laut. Tiap pagi, ia menceburkan diri ke laut untuk mencium mutiara di perut tiram. Malam harinya, ia melingkari puncak gunung sembari mengawasi pesisir. Dari dongeng itu, John Hardy melahirkan gelang-gelang perak yang teksturnya menyerupai kulit naga. Di ujung gelang, terpasang kepala naga dengan mata menyala. Guy lalu menunjukkan gelang di tangannya. “Ketika kepala naga menghadap ke luar, ia memberikan perlindungan. Saat menghadap ke dalam, ia membawa kesejahteraan.”

Dari Mambal, John Hardy mengapalkan perhiasan ke butik-butik bergengsi di banyak negara. Seiring dengan itu, kasta kerajinan perak Bali terangkat. Mungkin tak banyak yang membayangkan perhiasan yang diproduksi di tengah sawah bisa memikat dunia. Saya lalu teringat analogi teman saya. Orang Swiss juga dulu mungkin tak membayangkan negaranya bisa mengirimkan batangan-batangan cokelat ke penjuru planet.

Arsitektur toko perhiasan John Hardy didominasi bambu dan bahan-bahan alam lainnya.

Pande. Nama itu selalu terngiang di kepala. Banyak cerita menarik tentangnya. Pande adalah nama sebuah klan dari kasta bawah. Tapi bukan sembarang klan. Dalam kisah-kisah lawas, mereka bertugas membuat perkakas pesanan raja dan bangsawan. Bentuknya apa saja. Keris, tombak, pisau, mangkuk, alat musik… pokoknya apa saja. Di zaman sekarang, Pande mungkin bisa disejajarkan dengan tukang, tapi tukang untuk orang-orang penting. Tukang yang sangat disegani.

Roda zaman lalu berputar. Kekuasaan politik raja-raja di Bali sirna dan Pande pun kehilangan fungsinya. Awalnya hidup di sekitar pusat-pusat imperium, contohnya Klungkung dan Buleleng, mereka lalu menyebar, melebur dalam masyarakat modern. Demi bertahan hidup, mayoritas telah beralih peran. Mereka kini bekerja, bukan mengabdi. Klan ini masih eksis, tapi populasinya minim. Made Gede Suwardika adalah salah seorang yang tersisa.

“Dulu, Pande dibayar dengan tanah. Satu keris bisa dibayar dengan tanah seluas dua hektare,” Made Gede mengenang masa lalu keluarganya dengan nada lirih. Kakeknya seorang Pande. Bapaknya juga. Made Gede mewarisi keahlian dan gairah seni keduanya.

Di balai sejuk samping rumahnya, Made Gede duduk bersila. Tubuhnya tegap. Tangannya kekar. Sosok yang ditempa oleh pergulatan dengan baja dan bara bertahun-tahun. Dia memperlihatkan salah satu karyanya: sebilah keris yang  dipenuhi ukiran perak. Detailnya menakjubkan. Lekukan-lekukannya sangat dalam. Seekor naga mungil melekat di dekat gagangnya. Inikah ukiran perak tradisional Bali?

“Saya hanya membuat bilah keris. Ukiran dibuat teman saya. Namanya Made Pada. Dia tinggal di Taro Kelod,” jawabnya. Taro Kelod, desa adat di utara Ubud. Ke sanalah saya meluncur.

Kiri-kanan: Bangunan dengan arsitektur rumah adat Minang di Bambu Indah yang digunakan untuk latihan yoga; pemandangan lanskap Ubud dari Hotel Bambu Indah.

Di pagi yang dingin di awal September, saya menelusuri rute sepi di jantung Bali. Jalannya sempit dan berkelok-kelok layaknya ukiran di gelang Suarti. Tiga jam saya habiskan di jalan. Berhenti beberapa kali, kadang berputar arah karena salah jalan. Made Pada berambut gondrong. Iris matanya berwarna kuning. Sosok yang tak mudah dilupakan. “Awalnya saya membuat perhiasan perak untuk aksesori. Tapi saya tidak suka. Rasanya membosankan,” jelasnya. “Sekarang saya membuat ukiran perak untuk keperluan adat. Saya membuat barang pusaka.”

Made Pada bukan seorang Pande. Pria kelahiran 1973 ini mempelajari keahlian mengukir dari keluarganya. Ayahnya seorang pematung. Kakaknya pemahat kayu. Hidup menjadi perajin seperti sebuah keniscayaan sejarah. Tapi Made Pada tak mau menjadi perajin. Dia ingin berkarya, bukan bekerja. Dia ingin menjadi seniman. Dan dia seniman yang berhasil. Banyak keris yang dipajang di Neka Museum, Ubud, merupakan buah tangannya.

Satu ukiran dibuatnya selama berbulan-bulan. Harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. “Saya suka berkunjung ke tempat-tempat suci untuk memperhatikan ukiran bangunan dan patung,” kata Made Pada. “Saat mendesain keris, apa yang saya lihat itu memberikan inspirasi. Ide-ide muncul, semuanya terinspirasi tradisi ukir tua.”

Dia membawa saya ke ruang kerjanya: kamar tidur. Di depan matras yang lusuh, keris-keris setengah jadi berserakan. Di sekitarnya ada tengkorak kepala babi, tanduk rusa yang diukir, dan patung dinosaurus berbahan perak. Salah melangkah, saya bisa menginjak karya seni yang harganya lebih mahal dari mobil sewaan yang saya parkir di gerbang desa.

Tapi kamar bukanlah “studio” kerja satu-satunya. Di samping kamar ada sanggah, area sembahyang. Bentuknya mirip pura, tapi ukurannya mini. Menurut Made Pada, sanggah adalah bagian integral dalam prosesnya berkarya. “Sebelum membuat benda pusaka, saya bersembahyang untuk memutuskan pikiran dari hal-hal lain, lalu memfokuskan pikiran semata untuk bekerja. Taksu berasal hanya dari Tuhan.”

Kiri-kanan: Tempat tidur di Hotel Bambu Indah milik mantan pengusaha dan desainer perhiasan perak, John Hardy; ornamen pajangan dari kayu di Hotel Bambu Indah.

Taksu? Kata itu lagi-lagi muncul. Desak Nyoman Suarti sempat menyinggungnya saat berbicara tentang kerajinan perak Bali. Di kalangan seniman, Taksu sepertinya punya peran vital. “Taksu bisa datang jika kita fokus saat bekerja dan menyenangi pekerjaan kita. Jika kerja dipaksakan, hasilnya pasti tidak bagus,” kata Made Pada. “Ukiran yang dibuat benar, tegas, makin lama makin bagus Taksu-nya. Itu yang saya percayai.”

Made Pada menjadi seniman karena panggilan hati. Kehadirannya mengembuskan harapan bagi eksistensi tradisi ukiran perak Bali. Sebuah tradisi yang ditempa dan dipandu oleh Taksu.

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Bali dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari banyak kota, antara lain Kupang, Jayapura, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta. Maskapai anyar Batik Air (batikair.com) juga memiliki rute ke Bali dari Jakarta.

Penginapan
Salah satu hotel terdekat dari sentra perak Celuk adalah Aston Denpasar (Jl. Gatot Subroto Barat No. 283, Denpasar; 0361/411-999; aston-international.com; doubles mulai dari Rp528.000). Tak jauh dari butik-butik perak di Mambal dan Ubud, terdapat Bambu Indah (Banjar Baung, Sayan, Ubud; 0361/977-922; bambuindah.com; doubles mulai dari $125), hotel berkonsep ramah lingkungan yang menawarkan pondokan-pondokan dengan arsitektur tradisional Nusantara. Butik perak juga tersebar di kawasan belanja di selatan Bali dan Villa de daun (Jl. Raya Legian, Kuta; 0361/756-276; villadedaun.com; doubles mulai dari $400) menawarkan akses strategis untuk menjangkaunya.

Aktivitas
Di Bali, bisnis kerajinan perak ditekuni beragam pemain, mulai dari perusahaan keluarga berskala kecil, seniman yang setia pada gaya tradisional, hingga korporasi internasional yang melayani pasar ekspor. Di Celuk, toko perhiasan bisa ditemukan dari jalan utama hingga gang-gang sempit. Jika tak tahu arah, kunjungi saja Celuk Design Centre di Jalan Raya Celuk. Di dalamnya terpajang produk dari 50 perusahaan. Di Desa Kamasan dan Taro Kelod, kita bisa menemukan seniman yang umumnya fokus membuat barang-barang berbahan perak untuk keperluan adat, mulai dari wadah sesajen hingga keris. Pusat produksi dan butik John Hardy (johnhardy.com) di Mambal terbuka bagi publik, tapi Anda harus melakukan reservasi jika ingin datang.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret-April 2014 (“Risalah Taksu”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5