Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kenapa Helsinki Dijuluki Ibu Kota Pariwisata Pintar?

Kiri-kanan: Ruang rubanah di Amos Rex, museum seni rupa yang didesain oleh firma JKMM Architects dan diresmikan pada Agustus 2018 (Foto: Tuomas Uusheimo/Amos Rex Museum); zona membaca di Oodi Central Library, perpustakan yang diresmikan pada Desember 2018. (Foto: Tuomas Uusheimo/Helsinki Marketing)

Oleh Cristian Rahadiansyah

Akibat keterbatasan finansial atau fisik,” kata Miikka Rosendahl, CEO Zoan, “sekitar 80 persen penduduk bumi belum pernah naik pesawat. Apa yang kami ciptakan bisa membantu mereka berwisata.”

Di kantornya yang bersarang di gedung renta, Miikka tengah mempresentasikan Virtual Helsinki, sebuah produk canggih yang memungkinkan kita mengunjungi Helsinki tanpa secara jasmaniah hadir. Dan berhubung formatnya virtual, kita bisa “datang” kapan saja, dari mana saja, bersama siapa saja.

Miikka mencomot sebuah perangkat VR, lalu memasangkannya di kepala saya. Di luar kantornya, langit kelabu dan salju menumpuk, tapi lewat Virtual Helsinki saya bisa melihat wajah kota yang hangat. Saya menatap senja jingga di tepi laut dan berjalan-jalan di Senate Square pada musim panas. “Untuk saat ini dia belum bisa diajak bicara,” Miikka berkelakar tentang seorang gadis virtual yang sedang duduk di hadapan saya. Hampir saja saya mempermalukan diri sendiri.

Dalam industri pariwisata, Virtual Helsinki merupakan terobosan inovatif dalam teknik promosi. Apa yang ditawarkannya telah merevolusi konsep brosur kota. Dalam waktu dekat, kata Miikka, produk ini akan dipasang di YouTube dan disebar di wahana arcade di banyak kota. Targetnya meraup satu juta turis VR. Turis yang tidak butuh tiket pesawat dan paspor tentunya.

Tetapi jangan mengira Virtual Helsinki sepenuhnya proyek amal bagi mereka yang tak sanggup terbang. Digarap bersama Pemkot, produk ini juga difungsikan layaknya “iming-iming” bagi mereka yang penasaran dengan Helsinki, kira-kira mirip trailer sebuah film. Itu pula sebabnya, Virtual Helsinki kelak dilengkapi pramuwisata virtual, tutorial naik trem, bahkan panduan memilih hotel. Artinya, Anda bisa menginspeksi kamar jauh sebelum check in. “Skala model 3D kota yang kami ciptakan lebih akurat dari versi Google,” tambah Miikka.

Asortimen makanan racikan koki Turki Mehmet Gürs di restoran Andrea. (Foto: Elvi Rista/Hotel St. George)

Saya datang ke Helsinki Januari silam. Kota ini bersemayam di kaki Finlandia, sekitar 14 jam penerbangan dari Jakarta. Selama seminggu berkelana, temperatur senantiasa susut di bawah titik beku, salju memutihkan kota, dan matahari musim dingin kelewat malas untuk melewati ubun-ubun. Helsinki di Januari bukanlah kota yang melulu asyik dijelajahi.

Bagi turis Indonesia, kota ini belum terlalu populer, walau banyak dari kita mungkin pernah mendengar namanya. Helsinki punya tempat khusus dalam sejarah Indonesia. Di sinilah pada 2005 utusan pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka meneken pakta damai.

Pun bagi turis dunia, Helsinki belum terlampau digemari. Tahun lalu, kota ini membukukan hanya 2,2 juta pelancong asing. Dibandingkan kota-kota utama di kawasan Nordik, ia kalah tenar. Dan jika disandingkan dengan kota- kota besar Eropa Barat, Helsinki jauh tertinggal.

Tapi tahun ini kondisinya sedikit berbeda. Walau secara statistik kalah laris, Helsinki sekarang punya predikat baru yang membuatnya tampil bersinar di Eropa. Oleh lembaga Uni Eropa, kota ini diganjar gelar European Capital of Smart Tourism, sebuah penghargaan bagi kota-kota yang dipandang menunjukkan keberhasilan dalam merespons tantangan mutakhir pariwisata, mulai dari revolusi digital hingga perubahan iklim. Untuk 2019, Helsinki berduet dengan Lyon di podium teratas.

Kiri-kanan: Area publik di lantai dasar Oodi Central Library (Foto: Tuomas Uusheimo/Oodi) ;
 vege tartar di Grön, restoran dengan satu bintang Michelin.

Gelar itu didasarkan atas penilaian pada empat kategori: accessibility, sustainability, digitalization, serta cultural heritage & creativity. Untuk kategori pertama misalnya, Helsinki dinilai sukses menyediakan kemudahan navigasi, termasuk bagi difabel. Sementara di poin digitalization, kota ini menorehkan sejumlah pencapaian menonjol, salah satunya Virtual Helsinki yang saya singgung di awal tulisan.

“Cara-cara lama tidak lagi memadai,” jelas Jukka Punamaki, Senior Advisor Pemkot Helsinki, tentang makna penghargaan yang diraih kotanya. “Kami harus lebih cerdas dalam menjawab pertumbuhan turis, tantangan lingkungan, serta perubahan teknologi. Tanpa strategi baru, pariwisata bisa memicu masalah. Sudah banyak contohnya.”

Sebelum mengulas Smart Tourism lebih jauh, satu yang penting diketahui, terminologi ini bukan semata soal Wi-Fi gratis atau kartu diskon untuk turis. Smart Tourism sesungguhnya lebih berbicara tentang kemampuan sebuah destinasi mengikuti derap zaman, tanpa mengorbankan kemaslahatan lokal. Smart Tourism, gampangnya, adalah kebalikan dari “dumb tourism,” istilah untuk praktik pariwisata yang riskan merusak alam dan budaya setempat, misalnya prakarsa menciptakan tempat-tempat Instagrammable.

Bagi Helsinki, tanah kelahiran Linux, berlaku “pintar” sepertinya bukan perkara sulit. Yang lebih menarik justru melihat proses di baliknya. Bagaimana Helsinki, sebuah kota kecil yang belum menjadi favorit turis dunia, kini mampu menjadi teladan di sektor pariwisata?

Pondok sauna di Pulau Lonna yang terbuka untuk umum selama musim panas. (Foto: Julia Kivela/Helsinki Marketing)

Objek wisata terlaris di Helsinki terdiri dari Linnanmaki Park, Benteng Suomenlinna, serta Gereja Temppeliaukio. Itu daftar menurut statistik resmi. Tapi itu semua sesungguhnya kurang mewakili secara utuh esensi wisata di Helsinki. Setidaknya bagi saya, magnet terkuat kota ini justru terletak pada kemampuannya membawa kita menyelami gaya hidup warga.

Novelis Meg Wolitzer menggambarkan Helsinki sebagai “tempat yang tak pernah terpikirkan, kecuali saat kita sedang mendengarkan Sibelius, atau berbaring di papan sauna yang panas dan basah, atau menyantap semangkuk sup rusa kutub.” Kalimat itu bisa ditambahkan dengan berbelanja Marimekko dan menenggak gin tonic merek Napue.

“Kami berorientasi pada kepentingan warga, termasuk di sektor pariwisata,” jelas Leena Karppinen, Humas Helsinki Marketing. “Saat menciptakan sesuatu, prinsip kami sederhana: jika warga suka, maka turis juga akan suka.”

Tentu saja, tidak semua yang disukai warga otomatis disukai turis. Ambil contoh sauna. Kegiatan ini merupakan hobi nasional Finlandia, sebuah negeri berpopulasi lima juta jiwa yang mengoleksi tiga juta tempat sauna! Saya sempat mencobanya, dan sepertinya tak akan mengulanginya. Duduk satu ruangan bersama pria-pria bugil penuh peluh adalah pengalaman traumatis yang membekas panjang.

Ini lawatan kedua saya ke Helsinki. Seminggu di sini, saya mendapati banyak hal telah berubah. Jika dulu praktis hanya mengandalkan gedung-gedung renta, Helsinki kini mengoleksi beragam kreasi urban yang menyegarkan. Salah satu contoh terbarunya ialah Amos Rex, museum seni yang mirip pangkalan rubanah alien. Ruang pamernya meringkuk di bawah tanah, sementara lapisan atasnya ditaburi kaca bundar yang menyembul bak lampu tembak.

Namun demikian, dari semua inisiatif baru Helsinki, satu yang paling menyita perhatian dunia tetaplah kreasinya di bidang teknologi. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan teknologi, kota ini tersohor sebagai laboratorium yang meramu aneka inovasi cerdas yang memudahkan hidup.

Berjalan kaki, saya menembus suhu minus menuju Maria 01. Tiba di tujuan, sebuah pelang memasang tulisan “Welcome to Startupland.” Melayangkan pandangan ke sekitar, ada gedung-gedung tua bekas rumah sakit peninggalan Rusia. Pemandangan yang janggal. Maria 01, jembatan menuju masa depan Helsinki, menempati kompleks suram dari masa silam.

Kiri-kanan: Miikka Rosendahl, CEO Zoan, perusahaan yang menciptakan virtual Helsinki (Foto: Hannes Honkanen/Zoan); seorang tamu melakoni swafoto di butik Marimekko, produk ekspor paling terkenal dari Finlandia selain Nokia dan Angry Birds. (Foto: Yiping Feng & Ling Ouyang/Helsinki Marketing)

Maria 01 diklaim sebagai kantong startup terbesar di wilayah Nordik. Fungsinya sebagai inkubator: ruang kerja sekaligus wadah berjumpa investor. Sebuah tempat untuk merajut mimpi bagi mereka yang bercita-cita mengikuti jejak Steve Jobs atau Jack Ma.

Saya memasuki gerbang utamanya yang dikangkangi tulisan “Not A Hospital,” lalu duduk di samping meja biliar. Pada denah kompleks tertulis Maria 01 menampung pula aula serbaguna, restoran Starter, serta ruang Games Factory yang berukuran paling lapang.

“Industri permainan memang paling menjanjikan,” ujar Voitto Kangas, CEO Maria 01, yang menemui saya pada Sabtu pagi dengan mata mengantuk. Katanya, 25 persen pendapatan sektor TIK di Finlandia mengalir dari bisnis gim. Selain Angry Birds, kreasi box office negeri ini antara lain Hay Day dan Max Payne.

Diresmikan pada 2016, Maria 01 merupakan inisiatif Helsinki untuk bersaing di zaman digital. Seperti kita ketahui, dalam industri ini, website dan aplikasi merupakan komoditas utamanya, sementara produsennya ialah remaja berotak encer, bermimpi liar, dan umumnya bersepatu sneaker. Menyediakan kantor bertarif terjangkau adalah kiat jamak untuk memikat kaum technopreneur itu.

Helsinki dan kawasan sekitarnya kini menampung lebih dari 500 perusahaan rintisan, dan Maria 01 hanyalah salah satu markas mereka. Skena rintisan di sini merekah berkat infrastruktur yang prima. Mengutip survei dari Consumer Technology Association, Finlandia berada di kelompok atas dalam hal dukungan untuk inovasi. Parameternya antara lain kebebasan individu, koneksi internet, serta bujet riset. “Dalam peta kota startup,” tambah Voitto, “Helsinki berada di kelompok kedua, bersaing dengan Stockholm dan Tallinn.”

ResQ Club adalah contoh gagasan cemerlang lain yang lahir dari ekosistem kondusif Helsinki. Perusahaan ini mengusung misi unik: mengenyangkan perut sekaligus menyunat sampah. Saban harinya, ResQ mengunggah daftar makanan yang terancam dibuang akibat hampir kedaluwarsa. Pengguna cukup memilih produk yang disukai, lalu membelinya dengan harga diskon, lazimnya antara 40-70 persen. Mirip bazar online makanan sebenarnya.

Pengunjung Tuska, festival heavy metal tahunan yang digelar sejak 1998. Finlandia memiliki rata-rata 54 grup heavy metal untuk setiap 100.000 jiwa. (Foto: Jesse Kamarainen/Tuska)

Saat dirintis pada 2016, ResQ fokus menggarap restoran prasmanan, bisnis yang cukup populer di Helsinki, tapi di saat yang sama bertanggung jawab atas kemubaziran banyak makanan. Di tahap berikutnya, ResQ menyasar restoran a la carte, kafe, juga supermarket. Setelah tiga tahun beroperasi, ResQ mengklaim sudah menyelamatkan 1,2 juta porsi makanan. “Itu setara tiga juta kilogram emisi CO2 atau 24 juta kilometer perjalanan naik mobil,” jelas Sauli Bohm, CEO ResQ, yang saya temui di Robert’s Coffee, salah satu mitranya.

Membaca kiprahnya, ResQ jelas turut andil dalam ikhtiar Helsinki menjadi kota ramah lingkungan. Kendati begitu, menurut Sauli, perusahaannya tak cuma mendukung gerakan sustainability, tapi juga memetik manfaat darinya. “Di sini tak perlu susah payah mengedukasi pasar, karena semangat ramah lingkungan sudah dianut banyak orang,” jelasnya.

Apa yang diungkapkannya tidaklah berlebihan. Cobalah masuki sembarang toko di Helsinki, maka kita akan menemukan simbol organic, fair trade, atau biodegradable menghiasi begitu banyak label. Kondisi serupa berlangsung di panggung politik, di mana isu lingkungan rutin mewarnai debat perumusan kebijakan. Green League, partai hijau pertama di Eropa yang menempatkan wakilnya di kabinet, punya pengaruh kuat di Finlandia. Berkat dorongan dari pusat itu pula, beragam infrastruktur kota ini dibenahi agar lebih “hijau.” Hasilnya, pelabuhan Helsinki menyabet trofi Greenest Port, sementara bandaranya sudah bebas karbon.

Berkat perhatian pada konservasi, Helsinki didaulat sebagai Smart Tourism Capital. Dari kisah ResQ, kita bisa mencerna fakta itu dari perspektif yang lebih luas: gelar kota ini bukanlah buah upaya pemerintah semata, melainkan hasil kerja kolektif banyak pihak.

Kiri-kanan: Ruang untuk terapi tidur di lantai atas coworking space Sofia Future Farm (Foto: Riikka Jalava/Sofia Future Farm); firma ALA memetik inspirasinya dari jembatan kayu saat merancang Oodi Central Library. (Foto: Tuomas Uusheimo/Helsinki Marketing)

Hari kelima di Helsinki, salju makin tebal dan kulit saya terasa kian tipis. Sepanjang jalan, orang-orang berjalan seperti debitur yang dikejar penagih utang. Tergesa-gesa. Pelit senyum. Acap dengan mulut dibungkam syal. Musim dingin memang bukan momen yang ideal untuk mengenal sisi terbaik warga, padahal sejatinya mereka terkenal ramah, santun, kadang pemalu.

Tabiat asli warga kota ini pernah dirangkum secara kocak dalam komik populer Finnish Nightmares karangan Karoliina Korhonen. Saya kutip satu contohnya: “Jika menerima pelayanan buruk di restoran, orang Finlandia tak akan mengeluh, tapi malah introspeksi diri.” Terkesan hiperbola memang, tapi tak melulu keliru. Dan berhubung menghibur, saya berikan satu contoh lagi: “Ketika hujan deras dan halte sudah diisi seseorang yang berteduh, orang Finlandia akan sabar menanti di luar.”

Usai merandai jalan penuh salju, saya memasuki Oodi Library, perpustakaan baru yang telah menjelma jadi objek wisata berkat desainnya yang fotogenik. Memasuki interiornya, orang-orang kantoran sedang bersantai melepas lelah, sementara kaum remaja mojok di sudut-sudut rak buku. Padahal ini Jumat malam, waktunya pesta bagi penduduk kota.

Saya mampir ke Oodi untuk menjumpai Ilkka Pirttimaa, salah satu bintang di jagat startup Helsinki saat ini. Pria genius ini sudah meracik aplikasi sejak usia 13 tahun. Saking banyaknya, dia lupa jumlahnya. “Seingat saya ratusan,” jelas Ilkka. “Tapi jika tidak salah 10 aplikasi saya masih dijual di App Store.”

Dari semua kreasi Ilkka, BlindSquare bisa dibilang menyandang status mahakarya. Aplikasi yang dirancang untuk penyandang tunanetra ini telah melambungkan penciptanya ke peta inovator papan atas dunia.

BlindSquare mirip perpaduan Google Map dan audio guide. Aplikasi ini tak cuma menuntun kita ke tujuan, tapi juga memberi orientasi ruang dan menerangkan beragam hal di sekitar kita. Bayangkan Anda sedang berkelana, maka BlindSquare akan menginformasikan, misalnya, nama jalan di mana Anda berdiri, museum seni 100 meter di depan, serta bus yang segera tiba di halte terdekat. “Ibarat Swiss Army Knife untuk tunanetra,” begitu Ilkka merangkumnya. Tidak keliru rasanya, walau saya membayangkan aplikasi ini bisa jadi “Swiss Army Knife” untuk semua orang jika dilengkapi fitur untuk melacak wanita atau pria lajang kesepian di lokasi terdekat.

Mengintip pameran dari atap Museum Amos Rex. (Foto: Mika Huisman/Amos Rex)

Ilkka menemui saya dengan mengenakan celana hitam, kemeja hitam, sepatu hitam, dan menenteng tas hitam. Geraknya kikuk. Gaya bicaranya seperti orang yang ingin menumpahkan semua kalimat dalam satu tarikan napas. Tapi dia tidaklah buta ataupun rabun. Pengetahuannya akan kebutuhan pengguna digalinya dari pengamatan pada beragam blog yang ditulis oleh penyandang tunanetra.

Tiga tahun silam misalnya, dia membaca kisah seorang wanita tunanetra di Meksiko yang cemas memegang telepon genggam di jalan penuh jambret. “Selama enam bulan saya pikirkan solusinya,” kenang Ilkka, “lalu muncul ide untuk memanfaatkan fitur music player. Sekarang BlindSquare bisa dioperasikan dari tombol di kabel earset.”

Diluncurkan pada 2012, BlindSquare kini memiliki 4.000 pengguna di 160 negara. Tahun ini, Ilkka berniat memasang fitur baru yang membuat aplikasinya berguna di dalam ruangan. Dia menyebutnya “indoor navigation.” Idenya, lagi-lagi, didapat dari orang tunanetra. Suatu kali, seorang wanita mengirimkan pesan, “Saya bisa melihat dengan BlindSquare, tapi begitu masuk ruangan, saya kembali buta.”

Fitur baru itu akan diuji coba di tempat kami berbincang, Oodi Library. Pertama-tama, Ilkka akan menyebar eye beacon di sudut-sudut interior. Dari perangkat seukuran kotak rokok itu, data akan dilayangkan ke BlindSquare. Kelak, tunanetra bisa melacak dengan mudah koleksi buku braille yang disediakan Oodi.

Kiri-kanan: Patung Tianwu buatan Ai Weiwei di lobi Hotel St. George (Foto: Yiping Feng & Ling Ouyang/Helsinki Marketing); Kaisa House, bangunan artistik yang dihuni Helsinki University Main Library. (Foto: Tuomas Uusheimo/Helsinki Marketing)

Menurut Olli Sulopuisto, seorang penulis lepas di bidang teknologi, kelahiran BlindSquare tak lepas dari kebijakan “data terbuka” yang diterapkan Helsinki. Dia menyebut Helsinki Region Infoshare, sebuah lembaga kota yang mengompilasi dan membuka akses begitu banyak data, mulai dari jadwal trem, perbedaan ketinggian jalan, hingga tingkat konsumsi kopi warga. Data-data yang tersedia gratis itu, tambah Olli, sangat vital dalam menunjang proses penciptaan aplikasi. Tanpanya, inovasi semacam Virtual Helsinki, ResQ, dan BlindSquare bakal terlampau boros dan lama untuk diproduksi.

Bagi Ilkka, ketersediaan data juga penting karena memungkinkannya berada beberapa langkah di depan pengembang dari kota lain. Dia mengenang kisahnya mengikuti kontes aplikasi. Di babak final, kreasinya bersaing dengan aplikasi pelacak toilet umum di Wina, Austria. “Di Helsinki,” kata Ilkka, “aplikasi semacam itu sudah ada tiga tahun sebelumnya.”

Hemat saya, Helsinki menjadi Ibu Kota Pariwisata Pintar karena ia bertindak cerdik: menyediakan ekosistem bagi munculnya inovasi. Dalam kasus BlindSquare, keputusan itu membuat wisata bisa dinikmati semua orang, termasuk mereka yang tak bisa melihat.

Seorang anak berkeliaran di antara jendela dan menara Amos Rex Museum. (Foto: Tuomas Uusheimo/Amos Rex Museum)

PANDUAN
Rute
Penerbangan dengan
satu kali transit ke Helsinki dilayani antara lain oleh Finnair (finnair.com) via Singapura, Qatar airways (qatarairways.com) via Doha, serta Turkish Airlines (turkishairlines.com) via Istanbul. Agar lebih efisien menjelajahi kota, beli helsinki Card (hsl.fi) yang mencakup akses transportasi umum dan sejumlah objek wisata. Anda juga bisa mengunduh aplikasi Whim (whimapp.com) untuk melacak transportasi umum dan city bike.

Penginapan
Helsinki mengoleksi beragam hotel dengan tarif yang sangat variatif. (Airbnb legal beroperasi di sini.) Pendatang baru Lapland hotels Bulevardi (Bulevardi 28; laplandhotels.com; mulai dari Rp2.500.000) menampung 182 kamar yang mayoritas dilengkapi sauna. Hotel St. George (Yrjönkatu 13 C; stgeorgehelsinki.com; mulai dari Rp3.500.000), anggota Design Hotels, menghuni gedung uzur dan menyuguhkan sekitar 400 karya seni yang disebar dari lobi hingga kamar.

Wisata
Objek wisata terlaris meliputi Linnanmaki Park, Gereja Temppeliaukio, serta benteng Suomenlinna. Sauna mudah ditemukan, salah satunya uusi Sauna (uusisauna.fi). Jika mencari oleh-oleh, kunjungi design district (designdistrict.fi). Mencicipi sup rusa kutub adalah pengalaman kuliner khas lokal. untuk opsi yang lebih mewah, Sofia Gastro (sofiafuturefarm.fi) menyajikan paket enam menu dengan bonus panorama Senate Square. Sedikit di luar kota, Ramossa lodge (ramossa.fi) menawarkan kegiatan seru snowshoeing dan ice fishing. untuk informasi lain, kunjungi My helsinki (myhelsinki.fi).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2019 (“Bijak Biar Bajik”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5