Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gerakan Jarum Urban di Taipei

Dihua Street, Taipei.

Oleh Jonathan Hopfner
Foto oleh Christopher Wise

Berjalan-jalan mengarungi Huashan 1914 Creative Park, peluh mengucur deras di tubuh saya. Musim gugur sebenarnya telah tiba, tapi entah mengapa terik masih tajam. Mencari tempat rehat, saya memasuki sebuah lapangan yang dipenuhi keluarga yang sedang piknik dan pasangan yang bercengkerama romantis. Padang rumput ini membentang luas, menjulur ke tepian jalan layang di kejauhan, menampung pepohonan rindang dan kolam pasir tempat anak-anak bermain.

Di lahan 7,21 hektare, Huashan 1914 Creative Park mewadahi sejumlah sanggar, kedai, toko, dan studio. Namanya menjelaskan tawarannya: kompleks multifungsi tempat manusia merayakan kreativitas. Di sini, kita bisa menonton film di bioskop repertoar, berbelanja di butik independen, juga mencicipi kreasi restoran lokal semacam VVG (Very Very Good). Semua suguhannya menghibur, tapi entah mengapa saya merasa ada yang janggal dari tempat ini.

Kiri-kanan: Suasana senja di Huashan 1914 Creative Park, kompleks yang diresmikan pada 2005; pramuniaga di URS155 Cooking Together.

Usai beberapa menit merenung di bangku yang dinaungi dedaunan, saya akhirnya menemukan penjelasannya. Huashan 1914 berlokasi di jantung Taipei, kota terbesar di Taiwan, sebuah metropolis makmur di mana harga tanah menyamai standar Hong Kong. Di kota-kota besar Asia, ruang publik sebesar ini biasanya langsung diperebutkan oleh perusahaan pengembang untuk dijadikan kantor atau mal. Apalagi Huashan 1914 tidak menempati tanah kosong milik negara, melainkan bekas pabrik dan emplasemen—tipe properti yang bisa mudah diakuisisi oleh swasta.

Ada banyak cara untuk menilai kualitas sebuah kota, dan merujuk banyak parameter, Taipei sebenarnya berada di posisi yang “lumayan.” Dalam aspek desain misalnya, kecuali National Palace Museum yang menakjubkan, banyak bangunan di sini memancarkan paras yang menjemukan—warisan panjang dari babak industrialisasi. Gedungnya yang ikonis, Taipei 101, hanya sejenak menikmati gelar pencakar langit tertinggi di dunia. Di Asia, pamor Taipei 101, setidaknya dalam aspek estetika, bahkan telah tergeser oleh struktur-struktur memukau di Singapura.

Kendati demikian, dalam hal kemampuan memaksimalkan aset-aset lamanya, Taipei relatif unggul dibandingkan banyak tetangganya. Ketimbang menggelontorkan anggaran kolosal untuk mengerek sesuatu yang baru, kota ini meluncurkan inisiatif untuk memermak situs-situs usang, lalu menyuntikkan energi segar kehidupan. Pada 2005, di bekas pabrik arak, Taipei mendirikan Huashan 1914. Pada 2010, kota ini menyulap kompleks permukiman ilegal Treasure Hill menjadi desa seni. Terakhir, pada 2015, tempat penimbunan sampah Neihu—semacam Bantargebang versi Taipei—bersalin rupa menjadi eco-park.

Kiri-kanan: Pentas DJ dalam hari pembukaan pameran karya kartunis Spanyol Joan Cornellà; showroom khusus
beras di Dihua Street, Dadaocheng.

Publik internasional mengamati kreasikreasi tersebut. Sejumlah lembaga pemeringkat menempatkan Taipei dalam kelompok 100 besar kota paling layak huni di dunia. Oleh International Council of Societies of Industrial Design, kota ini didaulat sebagai World Design Capital 2016 atas ikhtiarnya meremajakan lanskap kota. Semua puja-puji itu meniupkan angin segar bagi Wali Kota Ko Wen-je. Kerap dikritik akibat gagal membuat Taipei mencolok dan menyilaukan, dia kini bisa membusungkan dada tatkala menerangkan bahwa prioritas kebijakannya adalah “membangun sebuah kota di mana warga bisa menjalani hidup dengan bahagia.”

Kebijakan yang berpihak itu juga terlihat di Songshan Cultural & Creative Park, sebuah kompleks megah yang ditata rapi dan dipecah ke dalam banyak blok. Tempat yang dilansir pada akhir 2011 ini menempati bekas pabrik tembakau warisan Jepang. Desainnya dalam banyak hal setia merujuk pada penataan orisinal di zaman Jepang. Gudang tembakau dan kantor pengelola pabrik didandani tanpa mengubah wujud aslinya. Parasnya sedikit usang, tapi masih berwibawa.

Songshan Park membidik segmen yang luas. Ada banyak tawaran bagi banyak orang. Kita bisa menemukan toko swalayan dan pujasera megah berisi restoran waralaba yang dioperasikan oleh jaringan raksasa Eslite. Kita juga bisa menemukan food truck dan bazar dadakan tempat para perajin lokal menjajakan barang berbahan kulit, pahatan kayu, serta boneka binatang. Sejalan dengan pendekatan “demokratis” Taipei, Songshan Park berniat memastikan agenda komersial tidak menyisihkan khalayak mayoritas.

Semakin akrab saya mengenal Taipei, semakin saya menyadari betapa kota ini sedang menganut pendekatan yang berbeda dalam strategi tata urban. Baginya, menciptakan ruang publik dan kantong kreatif adalah syarat penting untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Dengan cara apa semua perubahan itu dilancarkan?

Sebagaimana kota-kota tetangganya di Asia, Taipei dalam banyak babak sejarahnya memperlihatkan prinsip pragmatis dalam pembangunan fisik: merobohkan semua yang jompo dan menggantinya dengan yang baru. Namun, setelah Taiwan memasuki alam demokrasi, kebijakan semacam itu kerap memicu dislokasi dan protes. “Di masa lalu kami cenderung fokus pada infrastruktur ‘keras,’ tapi kemudian kami menyadari bahwa kami telah mengabaikan bagian ‘lunak’ dalam kehidupan sebuah kota, yakni komunitas,” jelas Hu Ju-chun, salah seorang pejabat Urban Regeneration Office (URO), lembaga yang berperan vital dalam transformasi Taipei.

Dilandasi kesadaran itu, URO meluncurkan strategi baru yang dinamai “akupunktur urban.” Terjemahan bebasnya: perubahan-perubahan kecil yang memikat manusia dan bisnis ke kawasan yang tadinya terabaikan. “Jarum” yang dipakai dalam strategi akupunktur ini disebut Urban Renewal Stations (URS), yakni bangunan sepuh atau lesu yang dibenahi lalu diberi fungsi baru berdasarkan masukan dari warga, pelajar, seniman, atau siapa saja yang memiliki aspirasi.

Kiri-kanan: Ruang residensi dan galeri yang menempati bangunan uzur di Dihua Street; panitia mempersiapkan pameran seni yang menampilkan karya-karya Joan Cornellà.

Proses pendirian URS cukup demokratis. Awalnya URO menyediakan platform untuk mendiskusikan ide-ide bersama. Adakalanya, lembaga ini juga membantu proses mediasi antara komunitas dan pemilik bangunan, serta menyediakan dana operasional awal agar tiap inisiatif bisa segera diwujudkan. Setelah itu, URO tak banyak campur tangan. Lembaga ini beranggapan setiap URS wajib tumbuh organik agar lestari. Partisipasi masyarakat diutamakan. Prakarsa harus datang dari bawah. Dari sinilah kita melihat kemunculan beragam entitas baru, mulai dari panggung musik hingga studio desain, di tempat-tempat yang sebelumnya suram. Suguhannya kadang mencengangkan, kadang membingungkan, tapi pastinya menjanjikan.

Untuk melihat bagaimana jarum urban dipraktikkan, saya menyambangi Dadaocheng, distrik di sisi barat kota yang berbatasan dengan Sungai Tamsui. Dadaocheng punya tempat penting dalam hikayat Taipei. Pada pertengahan abad ke-19, kawasan ini berperan sebagai pelabuhan utama dalam bisnis ekspor teh. Ada banyak ekspatriat dan saudagar lokal yang mendiaminya, termasuk di masa awal okupasi Jepang. Di sinilah stasiun kereta dan bioskop modern pertama di Taipei didirikan. Banyak keluarga berpengaruh yang kini mendominasi perekonomian Taipei merintis usahanya dari toko dan gudang yang berdesakan di Dadaocheng.

Masa keemasan Dadaocheng mulai meredup setelah pusat kehidupan bergeser ke arah timur. Pemicu utamanya adalah keputusan para jenderal Nippon memindahkan pusat administrasi ke Distrik Zhongzheng yang lebih lengang. Mereka mendirikan gedung-gedung bergaya barok dan neoklasik yang terus difungsikan setelah Taiwan lepas dari penjajahan Jepang. Semua perubahan tersebut membuat Dadaocheng kehilangan gravitasinya, tapi ia belum sepenuhnya dilupakan. Di abad ke-21, Dadaocheng justru menjadi contoh sukses bagaimana sebuah eksperimen urban membalik takdir.

Berkelana di Dihua Street, hal pertama yang saya rasakan adalah letupan energi kehidupan. Motor bebek pengangkut barang berkeliaran di jalan-jalan cupet. Jemaah berkerumun khidmat dalam kepungan asap dupa di Xiahai City God Temple. Kaleng minyak goreng dan barel jamu berbaris di tepi jalan, menjulur hingga trotoar, menguapkan aroma yang menusuk. Hal kedua yang menyita perhatian saya adalah koleksi bangunannya: hasil kawin silang yang apik antara ruko khas Cina dan fasad bata merah Victorian. Mayoritas tampak kelelahan melawan zaman, dan merekalah yang menjadi target URO.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5