Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Baku, Kota Ajaib di Tepi Laut Kaspia

Heydar Aliyev Center, ikon Azerbaijan.

Teks & foto oleh Muhammad Fadli

Sudah pernah naik mesin waktu?” tanya Gani Nasirov. “Di sini kita bisa menyaksikan tiga zaman sekaligus.”

Tengah hari, matahari bersinar cerah di Baku, tapi angin dingin dari Laut Kaspia terus berkesiur hingga memaksa saya menambah lapisan jaket. Riwayat kota ini memang akurat. Syahdan, Baku berasal dari kata “Bad-kube” yang artinya “kota yang diterjang angin.”

Saya sedang berada di Kota Tua Icheri Sheher. Gani, seorang pemandu lokal, mengantarkan saya mengendarai “mesin waktu”: menyaksikan penggalan-penggalan kota dari babak yang berbeda. Dia memperlihatkan sepotong tembok berusia lima abad warisan Istana Shirvanshahs. Berdiri di atas tembok, saya melayangkan pandangan dan menyaksikan gedung-gedung peninggalan era Uni Soviet. Menatap lebih jauh ke puncak bukit, tiga menara Flame Towers menjulang gagah laksana lidah-lidah api yang hendak menjilat langit.

Kiri-kanan: Panorama Kota Baku dipotret dari Istana Shirvanshahs, situs bersejarah di kompleks Kota Tua Icheri Sheher; salah satu sudut kota.

Ini pertama kalinya saya menyambangi Azerbaijan. Namanya belum terdengar seksi sebagai destinasi liburan, termasuk bagi pelancong asal Indonesia. Maklum, negara ini berbatasan dengan sejumlah kawasan yang punya reputasi menakutkan di mata banyak orang. Di selatannya ada Iran. Di utaranya, Rusia. Pegunungan Kaukasus, yang saya kenang sebagai daerah rawan konflik, mengungkungnya dari arah barat.

Tapi Azerbaijan ingin memikat pendatang, dan Baku adalah aset terbesarnya. Kota ini mengerek beragam bangunan jangkung dan megah, membentangkan jaringan jalan layang dan rel, melahirkan banyak jutawan yang mengendarai mobil-mobil mewah rakitan Eropa. Jika dulu dijuluki “Paris di tepi Kaspia,” Baku kini bergelar “Dubai di Kaukasus.”

Angin dingin masih berembus di Icheri Sheher. Gani kini membawa saya menembus ganggang uzur yang membentuk kompleks labirin raksasa di Kota Tua. Berbeda dari kawasan lainnya di Baku, Icheri Sheher selamat dari arus modernisasi. Di sini, masa lalu dirawat. Mayoritas rumah masih dihuni oleh penduduk pribumi, berbeda dari banyak Kota Tua di Eropa yang menjelma jadi taman rekreasi dan ditinggalkan warganya.

Kiri-kanan: Menara jam renta di Icheri Sheher, bagian kota yang selamat dari gelombang modernisasi; Vaqif, seorang skateboarder profesional di Baku.

Usai singgah sejenak di sebuah toko karpet, saya menikmati sesi minum teh, lalu melahap makan siang di sebuah restoran yang menempati bekas karavanserai, sebuah tempat rehat dari zaman Jalur Sutra. Beberapa pria paruh baya berseliweran dalam pakaian tradisional, sementara muda-mudi melenggang dalam pakaian modis kontemporer. Selain beberapa keluarga asal Timur Tengah, tak mudah menemukan turis di sini.

Berjalan-jalan di antara bangunan renta di Icheri Sheher, ingatan saya melayang ke James Dodds Henry. Seabad lampau, redaktur majalah Petroleum World itu melawat Baku, lalu menuangkan hasil observasinya dalam buku bertajuk Baku: An Eventful History. “Jika minyak adalah raja, maka Baku adalah singgasananya,” simpul James. Analoginya tidak berlebihan. Semenjak membangun instalasi kilang modern pertama pada pertengahan abad ke-19, Baku telah menyuplai sekitar separuh konsumsi minyak dunia hingga awal abad ke-20. Di masa Perang Dunia II, Hitler sempat berusaha menguasai sumur-sumur di Baku, meski agenda itu akhirnya kandas pasca-kekalahan telak dalam pertempuran brutal di Stalingrad.

Emas hitam memberi Baku tempat penting di masa lalu. Mengandalkan emas hitam pula, kota ini ingin menemukan tempatnya di masa kini. Segenap kemegahan yang tersaji di Baku didanai oleh bisnis bahan bakar. Uang petroleum menggerakkan perekonomian, menyediakan pelumas bagi kemajuan. Kesenian berkembang pesat, teater bermunculan, dan vila-vila mewah milik para baron minyak berdiri jemawa menghadap Laut Kaspia, sebuah cekungan luas yang terkurung daratan dan sebenarnya lebih tepat disebut danau ketimbang laut.

Kiri-kanan: Gani Nasirov, pendiri operator Azerbaijan Traveller; seorang kakek bersantai di kaki sebuah monumen warisan Uni Soviet.

Semua suguhan itu pula yang ingin ditawarkan oleh Gani kepada turis. Usai meraih gelar sarjana di jurusan ilmu politik, pemuda ini banting setir menjadi pemandu wisata. “Tidak ada masa depan untuk ilmu politik di sini,” kenangnya. “Tamat kuliah saya bahkan tak tahu bakal hidup seperti apa.” Bersama beberapa rekannya, dia merintis operator tur Azerbaijan Traveller. Kantornya berupa seonggok meja di ruang belakang sebuah warung kopi di pusat kota.

Tur yang saya ikuti hari ini dinamai Baku Free Walking Tour, wisata sonder bayar di Kota Tua. Programnya cukup unik. Gani menyusun itinerary dengan merujuk novel laris Ali and Nino karangan Kurban Said. Karya yang diterbitkan pada 1937 di Wina itu telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan kerap digadang-gadang sebagai bacaan wajib tak resmi di Azerbaijan. Dilatari Kota Tua Baku awal abad ke-20, Ali and Nino berkisah tentang seorang pemuda Muslim etnis Azeri yang jatuh hati pada gadis Kristen Georgia. Sepanjang tur, saya diajak menyambangi tempat-tempat yang didatangi pasangan romantis itu.

Memandang perubahan besar yang agresif membasuh Baku, Gani mengaku merasa ambivalen. “Saya hampir tak mengenali kota ini lagi” keluhnya. “Gedung-gedung itu beberapa tahun lalu belum ada,” lanjutnya sambil menunjuk ke barisan gedung semampai di sisi utara kota. Banyak dari struktur modern itu berdiri di atas lahan gusuran. Merelokasi warga adalah kebijakan instan yang kadang ditempuh pemerintah demi mempercepat realisasi proyek. “Barangkali 10 tahun lagi kita bisa menyaksikan manusia mengendarai roket di atas gedung-gedung itu.”

Kiri-kanan: Salah satu hidangan di restoran yang bersarang di Baku TV tower; food truck yang menjajakan sosis Jerman di Fountains Square.

Di sebuah bar cupet yang temaram, saya dikepung beragam memorabilia dari masa silam: kamera usang buatan Rusia, mesin tik berselimut debu, gitar reyot tanpa senar, lukisan murahan berwarna pudar, hingga beker yang sepertinya sudah lama melupakan waktu. Lewat pengeras suara yang tak kalah uzur, nomor-nomor rok era 80-an digeber dalam volume nyaring.

Suguhannya sesuai dengan namanya: Old School. Bar ini bersemayam di kawasan padat di jantung Baku. Malam sudah lewat separuh, tapi Old School masih ramai oleh manusia. Dalam kurungan asap rokok, kaum remaja bercengkerama merayakan malam. Melihat penampilannya, mereka sepertinya belum sempat pulang ke rumah selepas jam kuliah.

“Di sini, semua masalah bisa disingkirkan hanya dengan 10 manat,” seloroh seorang pramusaji seraya berkali-kali meminta maaf untuk bahasa Inggrisnya yang sebetulnya tak jelek-jelek amat. Saya memesan Xirdalan, semacam Bir Bintang versi lokal. Sebotolnya dibanderol satu manat, setara Rp8.000. Setelah 10 manat, pikir saya, masalah hidup saya tidak akan tersingkirkan, melainkan hanya terlupakan, setidaknya untuk malam ini.

Hampir 97 persen penduduk Azerbaijan memeluk Islam, tapi miras dijual bebas di sini, dengan harga yang murah meriah pula. Vodka produksi lokal dibanderol setara anggur cap Orang Tua. Kebebasan itulah yang agaknya mendukung perkembangan bisnis sarang kongko. Di sekitar Old School terdapat lusinan bar dan kelab malam yang rutin diserbu warga. Beberapa dibubuhi embel-embel Irish Pub—sebuah siasat klasik guna menggoda turis dan ekspatriat.

Kilang minyak yang sudah terbengkalai di lepas pantai Laut Kaspia

Kawasan permukiman di mana Old School berdiri merupakan bagian dari masa lalu Baku yang dibangun atas perintah Nikita Khrushchev sewaktu Azerbaijan di bawah genggaman Uni Soviet. Sepi di siang hari, area ini senantiasa ramai saban malamnya. Suatu kali, saya singgah di bar yang dipenuhi jurnalis, aktivis politik, dan seniman. Pada malam lainnya, saya menonton konser musik cadas yang dibalut aroma mariyuana.

Akan tetapi, di luar denting gelas bir dan alunan musiknya, kawasan hiburan malam ini sebenarnya sedang waswas menatap masa depan. “Lima tahun lagi tempat ini mungkin sudah rata dengan tanah,” ujar pramusaji Old School, “bisa jadi lebih cepat.” Kekhawatirannya beralasan. Baku masih giat membangun, dan kota ini kadang melakukannya dengan menggusur masa lalu. Melangkah 200 meter dari bar, saya menemukan sebidang lahan kosong bekas gusuran. Terpisah tak seberapa jauh, barisan apartemen era Uni Soviet dipagut malam tanpa listrik. Saya mendekatinya dan menemukan garis segel, sebuah pertanda umurnya tak akan lama.

Menaiki subway, saya kini meluncur ke pusat kota untuk melihat bagaimana Baku menerjemahkan masa depan. Kereta bawah tanah adalah salah satu “berkah” penjajahan yang dipertahankan. Dulu, Uni Soviet memiliki kebijakan membangun sistem transportasi massal di setiap kota kolonial yang populasinya menembus satu juta jiwa. Berkatnya, aktivitas berkeliling Baku jadi mudah, juga murah.

Kiri-kanan: Seorang pengunjung Heydar Aliyev Center; bangunan yang dirancang oleh mendiang Zaha Hadid, arsitek kelahiran Irak.

Keluar dari gerbang stasiun, saya berjalan menembus angin dingin dan mendarat di muka sebuah bangunan janggal yang penuh lekukan. Heydar Aliyev Center, ikon arsitektur Baku, lebih mirip bongkahan es yang sedang mencair. Struktur tanpa sudut ini dirancang oleh mendiang Zaha Hadid, arsitek kelahiran Irak. Interiornya menampung museum, ruang pamer, juga auditorium. Semuanya menindih lahan gusuran seluas 10 hektare.

Gedung yang diresmikan pada 2012 ini adalah proyek mercusuar yang juga lahir berkat minyak. Namanya diambil dari nama presiden Azerbaijan periode 1993-2003, Heydar Aliyev, seorang figur sejarah yang kontroversial. Heydar, yang pensiun dua bulan sebelum meninggal, ibarat Soeharto versi Azerbaijan.

Sebagian orang memujanya sebagai bapak pembangunan, sementara kaum oposisi dan aktivis kemanusiaan mencibirnya sebagai pemimpin bertangan besi. Satu yang pasti, jejaknya bertaburan dan mustahil diabaikan. Ada Bandara Internasional Heydar Aliyev. Ada Jalan Raya Heydar Aliyev. Ada pula Kilang Minyak Heydar Aliyev.

Memasuki Heydar Aliyev Center, saya menyisir setiap sudut museum. Di ruang pamer, sebuah ekhibisi bertajuk The Reconstruction of the Being memajang patung-patung buatan seniman Meksiko Jorge Marin. Di luar itu, tak banyak yang bisa dinikmati. Museum ini lebih didominasi oleh hal-hal yang berbau propaganda. Setidaknya dua lantainya didedikasikan untuk mengulas kisah hidup Sang Bapak Bangsa.

Gedung kontroversial yang sempat dinamai Trump International Hotel & Tower Baku. Arsitekturnya terlihat menjiplak Burj Al Arab, hotel ikonis Dubai.

Saya meninggalkan pusat kebudayaan dan mengarungi pusat kota. Menyusuri jalan-jalan yang megah, siapa pun akan mendapati betapa Baku menempuh pakem baku pembangunan kota modern abad ke-21: mendirikan bangunan kaca yang memukau dan mendatangkan merek-merek global. Kita bisa menemukan hotel bintang lima sekaliber Four Seasons dan JW Marriott, begitu pula butik premium semacam Armani dan Ralph Lauren. Bahkan di sini Donald Trump sempat berniat mengelola sebuah hotel dengan arsitektur yang sepertinya menjiplak Burj Al Arab.

Sebagaimana kota modern abad ini pula, Baku aktif mengikuti tender hajatan-hajatan akbar. Saya datang saat kota ini bersiap-siap menanggap Islamic Solidarity Games, semacam Olimpiade khusus negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam, termasuk Indonesia. (Episode sebelumnya digelar di Palembang pada 2013.) Pada 2012, kontes mengarang lagu Eurovision juga diselenggarakan di sini. Berselang tiga tahun, Baku mendapat kehormatan menjadi tuan rumah debut pesta olahraga European Games.

Tak semua acara itu direspons positif. Jilid perdana Formula 1 di Baku pada tahun lalu misalnya, justru menjadi proyek rugi. Kemeriahannya pun jauh dari harapan. Dalam reportasenya untuk majalah 1843, Matthew Valencia memaparkan banyaknya bangku kosong di tribune utama tatkala balapan berlangsung. “Dari sembilan juta jiwa populasi negeri ini, hanya segelintir yang sanggup membeli tiket, bahkan setelah ditawari diskon 40 persen,” tulisnya.

Kawanan burung dara di Fountains Square, bagian kota yang menyerupai alun-alun di Eropa.

“Itu kegiatan yang menghambur-hamburkan uang dan sarat korupsi. Tak ada dampak yang nyata bagi masyarakat,” ujar seorang ekonom lokal perihal beragam pergelaran impor di Baku. Saya menemuinya di sebuah gerai Starbucks di Fountains Square, bagian kota yang lebih mirip alun-alun di Eropa. Meski bekerja untuk pemerintah, sang ekonom tak ragu bersikap kritis, walau atas alasan keamanan dia tak sudi namanya dikutip.

Terlepas dari pro-kontra, banyak inisiatif yang diambil Azerbaijan sebenarnya bukan hal baru dalam kancah global. Dalam dua dekade terakhir, banyak negara kaya minyak di Asia dan Timur Tengah gigih mencari sumber pendapatan alternatif dengan cara mendirikan kota futuristik dan mengimpor beragam ajang internasional. Mereka paham, ketergantungan pada petrodollar berisiko tinggi. Akibat anjloknya harga minyak dalam beberapa tahun belakangan misalnya, Azerbaijan terpaksa mendevaluasi mata uangnya. Itu pun terjadi tak cuma sekali. Konsekuensinya, semua barang terasa dua kali lipat lebih mahal dalam semalam. Seiring itu, rakyat kecil pun menjerit dan banyak proyek mangkrak.

Tentu saja, devaluasi tak selamanya berdampak buruk. Bagi turis, turunnya nilai tukar berarti semua barang dan jasa bisa dinikmati dengan lebih murah. Saya masih ingat, lima tahun silam saya terpaksa membatalkan rencana trip ke Azerbaijan usai mendapati tarif hotel di Baku ternyata lebih mahal ketimbang hotel di kota-kota besar Eropa.

Sedan buatan Korea melesatkan saya di jalan mulus yang lengang. Dalam naungan pagi yang cerah, saya meluncur ke Semenanjung Absheron, daerah suburban Baku yang tersohor akan kandungan minyaknya. Melewati pinggiran kota, tembok-tembok tinggi menjulang di sisi jalan. Apa gerangan di baliknya? “Permukiman orang-orang miskin,” jawab Rashad, pemuda lokal yang menyopiri saya.

Kiri-kanan: seorang wanita membalut tubuhnya dengan bendera Azerbaijan. Bawah: Mobil-mobil tua merek Lada buatan rusia terparkir di tepi Laut Kaspia.

Baku adalah kota yang melenakan mata. Kemewahannya rentan membuat kita lupa mayoritas warga Azerbaijan sejatinya hidup dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Kekayaan yang dipompa dari perut bumi tidak merembes merata. Kaum berdasi yang menyetir Ferrari hanyalah sebagian realitas negeri ini. Tembok-tembok tinggi yang saya saksikan, yang ironisnya terkadang dibubuhi iklan mobil mewah, ditancapkan guna menyembunyikan kenyataan pahit itu.

Tak sampai setengah jam, saya telah mencapai Ramana. Dari jalan raya, mobil berkelok menuju perkampungan. Jalan yang tadinya mulus kini digantikan lintasan bergelombang. Tak jarang aspal raib dan hanya menyisakan tanah kering berdebu di mana rumah-rumah yang mirip gubuk berbaris di tepinya. Kian jauh dari pusat kota, kenyataan hidup memang kian mengiris hati. Baku, sebagaimana kota-kota bagur di negara berkembang, dijangkiti problem kesenjangan.

Selepas rumah-rumah warga, saya menyaksikan ladang pengeboran minyak dalam skala yang sukar digambarkan. Dari sumur-sumur inilah pundi-pundi devisa mengalir ke kas negara, meski tak sebanyak dulu. Beberapa pekerja dengan tubuh berbalut minyak mentah tampak sibuk mengebor. Tanah yang luasnya berkilo-kilometer dipenuhi noda hitam. Ada lebih banyak pompa minyak ketimbang pohon di Ramana. Inikah harga yang harus dibayar untuk kenyamanan di Baku?

Meninggalkan Ramana, Rashad membawa saya kembali ke jalan raya. Tak lama berselang, saya singgah di Bilgah di bibir Laut Kaspia. Sewaktu harga minyak melambung tinggi, kawasan ini dikenal sebagai suaka pelesir kalangan ekspat. Tapi, pagi ini, Bilgah nyaris hampa sepenuhnya.

Dua buruh kilang minyak di semenanjung Absheron, daerah suburban Baku yang tersohor akan kandungan minyaknya.

Sebuah hotel mewah berdiri di pesisir. Hotel ini sempat dikelola oleh jaringan Jumeirah asal Dubai. Dalam pengumuman di laman resminya, Jumeriah menyatakan mereka hengkang karena kontrak manajemen sudah habis, tapi beberapa orang punya spekulasi berbeda: tingkat hunian hotel di Baku melorot drastis pasca jatuhnya harga minyak dan Jumeirah menyadari prospek bisnis di sini tak lagi menjanjikan.

Saya menepi di sebuah pantai yang menampung puing. Barangkali ke sinilah masa lalu Baku dibuang sebelum digantikan pencakar langit. Di balik gunungan puing, belasan warga, dengan bagasi mobil yang dibiarkan terbuka, berbaris di pantai seraya menanti perahu nelayan merapat dengan membawa hasil yang tak seberapa. Saya bertahan sejenak menyaksikan tawar-menawar alot dalam bahasa yang tak saya mengerti.

Rashad mengantarkan saya kembali ke pusat kota, menyusuri jalan-jalan yang masih sama sepinya. Di tepi jalan, sejumlah traktor dan derek terparkir, tapi tak ada aktivitas. Di tengah labilnya harga minyak, pembangunan masih digenjot, tapi tembok-tembok tinggi lebih mudah ditemukan. Tembok tinggi yang menyembunyikan nestapa.

PANDUAN
Rute
Hingga kini belum ada maskapai yang melayani penerbangan langsung dari Indonesia ke Baku. Penerbangan dengan durasi tempuh paling singkat ditawarkan antara lain oleh Qatar airways (qatarairways. com) via Doha, Emirates (emirates.com) via Dubai, serta Turkish airlines (turkishairlines.com) via Istanbul.

Penginapan
Baku mengoleksi banyak hotel bermerek global. Dua yang berada di lokasi strategis adalah Four Seasons (1 Neft-chilar Avenue; 994-12/4042-424; fourseasons.com; mulai dari Rp4.700.000) dan Hilton (1B Azadlig Avenue; 994-12/464-500; hilton.com; mulai dari Rp2.600.000). Di kawasan Kota tua Icheri sheher terdapat beberapa hotel butik dengan beragam kelas. Icheri sheher juga pilihan yang menarik mengingat lokasinya persis di dekat objek-objek wisata terpopuler di Baku.

Informasi
Baku bukanlah tempat yang ideal untuk berjalan kaki. Kota yang bersemayam 28 meter di bawah permukaan laut ini senantiasa diterjang angin dingin yang bertiup dari Laut Kaspia. Beruntung, kota ini memiliki transportasi publik yang mumpuni. Baku Metro (metro.gov.az), yang dirintis pada masa kekuasaan Uni soviet, memberikan banyak kemudahan untuk menjangkau banyak objek wisata populer seperti Heydar aliyev Center (heydaraliyevcenter.az) dan Port Baku Mall (portbakumall.az). Jika mencari operator tur, azerbaijan Traveller (azerbaijantraveller.com) menawarkan beragam trip menarik bersama pemandu lokal.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2017 (“Pakem Baku”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5