Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dua Kutub Hue

Kiri-kanan: Varian makanan dan saus di Khong Gian Xua; Menu ikan dalam wadah tanah liat di Khong Gian Xua.

Warga Hue gemar mengunyah sepanjang hari dan kota ini punya banyak opsi berharga terjangkau untuk memuaskan hobi tersebut. Dalam kasta kuliner Hue, makanan jalanan dan menu bangsawan punya status yang sama luhur. Toko mi berlimpah di tepian jalan, dan bun bo (bihun rebus dengan daging sapi) bisa dibilang merupakan produk ekspor Hue yang paling masyhur—makanan yang dinikmati di seantero negeri oleh hampir semua lapisan masyarakat, dari jutawan hingga buruh. Bun bo disuguhkan dengan beragam bahan tambahan—huyet (darah bebek), kulit babi, telur, daging babi, atau bakso kepiting—dan banyak orang berdebat tajam soal kualitas kaldu yang disajikan para pedagang.

Saya akhirnya menjatuhkan pilihan pada mi dengan resep simpel di tempat bernama Mu Doi. Namanya berarti “sabar nyonya,” karena di sini tiap tamu memang harus lapang dada saat menanti dilayani. Di dapur yang ternoda karbon hitam di sudut sebuah toko bobrok, seorang wanita dengan piama bermotif bunga dan rambut ikal gaya Shirley Temple, mengaduk basi (tureen) berisi sup mendidih. Semua orang menunggu kreasi spesialnya, yakni banh canh: lemak, mi dari tepung beras yang direndam dalam kaldu, lalu ditutup empat udang rebus dan irisan daging babi. Menu yang pantas diantre? Anda nilai sendiri: semangkuk banh canh dibanderol kurang dari satu dolar.

Kembali ke Kim Long, kedai terbuka bernama Huyen Anh memiliki spesialisasi pork chop, daging babi yang direndam dalam madu dan saus ikan, lalu dipanggang di atas arang. Ruang produksinya menarik disaksikan: di dapur bersih di sisi muka, dua wanita sibuk menggosok, membungkus, mencincang, dan menumpuk. Sedangkan di sisi belakang, asap tebal beraroma daging panggang memenuhi udara, menyeruak dari lembaran daging babi yang digantung memakai kawat dan menjuntai di atas jilatan api. Skuat wanita gempal mengawasi panggangan dengan kening berkerut.

Bagi mereka yang mendambakan variasi makanan tapi malas berkendara ke banyak jalan, Khong Gian Xua adalah pilihan yang bijak. Restoran ini menem-pati rumah kebun yang menampilkan pilar-pilar kayu nangka, langit-langit melengkung, lentera berlapis sutra merah, dan ukiran berisi mutiara. Menu di sini beragam, mencakup seafood segar, ikan dalam poci tanah, iga babi, serta nangka muda rebus dengan udang. Jika mencari masakan yang diramu dengan prinsip keseimbangan phong thuy (fengshui)—lima elemen, lima warna, lima rasa—silakan kunjungi restoran rumahan yang merangkap galeri milik seniman eksentrik Boi Tran. Hmong, rumah kayu miliknya itu, berdiri di tepi jalan berbukit di luar kota. Saat libur dari melayani tamu, dia melukis di studio atau taman. Di tengah obrolan kami, paket makanan yang dikalibrasi untuk menyesuaikan cuaca basah Maret meluncur ke atas taplak sutra hijau.

Pesta dimulai dengan seekor udang lezat yang diformat dalam “lima rasa” di lautan kaldu berisi serai, bawang bakung, cabai, daun jeruk, dan jahe; disambung beef consommé hangat disertai nasi kukus yang dibungkus daun pandan mungil.Berikutnya adalah selada fig ara va tron yang berisi buah dari kebun milik Tran, disusul menu favorit ayahnya: sup nasi merah dengan ikan.

Slow cooking adalah ciri khas kuliner Hue,” jelas Tran. “Sup ini membutuhkan waktu memasak 24 jam: berasnya harus dinanak sepanjang malam dan ikannya direbus dengan gula selama tiga atau empat jam, serta diaduk terus-menerus. Ini menu kegemaran raja-raja Nguyen.”