Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Destinasi Wisata Baru di Selatan Tokyo

Fukuzumiro, ryokan yang didirikan pada 1890 dan pernah ditinggali banyak saudagar asing dan seniman lokal.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Fransisca Angela

Odawara bagi Tokyo mungkin ibarat Serpong bagi Jakarta. Terpisah 90 menit berkendara ke arah selatan Bandara Haneda, kota kecil ini telah lama menjalankan fungsi sebagai satelit, penyangga, juga “bedroom community” bagi Ibu Kota Jepang yang kian sesak, riuh, dan karena itu terpaksa melebar.

Tapi Odawara kini juga ingin memikat wisatawan. Kota satelit yang memasok dan menampung komuter ini sekarang berambisi menjaring pelancong. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kotanya mulai giat berpromosi. Semangat kampanye yang dusungnya relatif cerdik sekaligus rendah hati: “destinasi lanjutan.” Salah satu brosur pariwisatanya mencantumkan judul “Selatan dari Tokyo.”

Tahun lalu, kampanye pariwisata kota ini mendapatkan embusan angin segar. Dalam novel terbarunya yang terbit awal 2017, Haruki Murakami menjadikan Odawara salah satu latar utama. (Kehebohannya di Jepang kira-kira setara jika Bekasi dijadikan latar novel Dewi Lestari atau Andrea Hirata.) Beberapa bulan kemudian, Odawara disinggung dalam film laga kolosal Mumon: The Land of Stealth. Dengan masuk “budaya pop,” kota ini pun mulai dipergunjingkan, dan saya berkunjung untuk melihat daya tariknya.

Kiri-kanan: Emblem klan Tokugawa di Odawara Castle; Odawara Castle menjulang 27,2 meter.

Odawara Castle
Sudah lebih dari 500 tahun berdiri, bangunan ini masih saja memicu polemik. Keturunan dari dua klan yang pernah menghuninya terus mempermasalahkan siapa tuan rumah kastel yang sejati. “Banyak orang mengenalnya sebagai properti milik klan Hojo,” ujar Yuko Omori, wanita yang bekerja sebagai pramuwisata, “padahal pendiri sebenarnya adalah klan Omori, leluhur saya.”

Terlepas dari perdebatan sejarah yang alot itu, Odawara Castle telah ditetapkan sebagai ikon Odawara. Dengan tinggi 27,2 meter, bangunan ini resmi menyandang gelar kastel tertinggi ketujuh di Negeri Sakura. Ia didirikan di ujung abad ke-15, dan sejak itu setidaknya lima gempa besar pernah mengguncang tubuhnya. Dalam proyek renovasi terakhir, struktur cagar budaya ini dipersenjatai teknologi tahan guncangan. Penampilannya setia melestarikan masa lalu, tapi rangkanya datang dari masa kini.

Kiri-kanan: Pohon pinus omatsu di kompleks Odawara Castle; Baju zirah warisan periode Azuchi–Momoyama.

Oleh Japan Castle Foundation, Odawara Castle ditempatkan dalam daftar 100 kastel tercantik di Jepang, walau sebenarnya untuk urusan kastel, “cantik” adalah klaim licin yang sulit ditakar. Sekilas pandang, Odawara Castle terlihat mirip kastel pada umumnya: bangunan semampai bercat putih dengan atap bergaya irimoya yang saling menumpuk di tiap lantainya. Dari kejauhan, siluetnya menyerupai pohon Natal.

Tapi daya tarik sesungguhnya dari kastel ini justru terletak di interiornya. Kelima lantainya memajang secara kronologis beragam benda warisan sang tuan rumah, termasuk sejumlah pedang katana dan katchu (baju zirah samurai). Di sela-sela artefak, pengunjung disuguhi kisah-kisah seputar babad, perang, dan bencana yang menyertai perjalanan kastel ini. Keluhan pemandu agaknya saya tak keliru. Hikayat tentang keluarga Hojo dibeberkan panjang, sementara klan pendahulunya, Omori, cuma mendapatkan porsi secuil. Sejarah lazimnya memang ditulis oleh kaum yang menang perang.

Dari seluruh cerita yang dibeberkannya, tema ninja paling menyita perhatian. Syahdan, klan Hojo pernah mengendalikan agen telik sandi bernama Fuma, sebuah legiun ninja dengan reputasi yang menakutkan, barangkali setara Mossad saat ini. Itu pula sebabnya beberapa artikel di media massa menjuluki Odawara “kota ninja.” Lebih menarik lagi, cerita rakyat ini tak cuma bisa dibaca, tapi juga dialami. Di pelataran kastel, tamu bisa berfoto dalam seragam ninja atau samurai. Setiap tahunnya, Odawara Castle menjadi tuan rumah festival kostum bertema ninja dan samurai. “Acara terakhir diikuti sekitar 250.000 orang,” jelas Kurumi Adachi, staf komunikasi Pemkot Odawara. “Mereka datang dari banyak tempat. Populasi Odawara tak sampai 200.000 jiwa.”

Kiri-kanan: Odawara Fishing Port, tempat yang disinggung dalam novel karya Murakami; Restoran di seberang Pelabuhan Odawara.

Odawara Fishing Port
Awal 2017, nama Odawara mendadak bergema di panggung nasional. Sastrawan kenamaan Haruki Murakami menjadikan kota ini salah satu latar utama dalam Kishidancho Goroshi (Killing Commendatore), novel yang mengisahkan seorang seniman asal Tokyo yang berkelana ke Hokkaido dan Tohoku, sebelum akhirnya memutuskan berlabuh di lereng gunung di Odawara.

Novel itu menjadi amunisi segar Pemkot Odawara guna melambungkan pamornya. Selama bertahun-tahun, kota ini praktis cuma dikenal lewat kastelnya. Berkat novel Killing Commendatore, Odawara setidaknya kini bisa mempromosikan juga keindahan alamnya. Lanskap kota ini didominasi perbukitan hijau yang menjulur ke Teluk Sagami—panorama yang lebih mengagumkan saat dilihat dari puncak Odawara Castle.

Kiri-kanan: Takai Yoko, pedagang hasil laut di Pelabuhan Odawara; Fasilitas pemandian air panas di Hilton Odawara.

Dalam novelnya pula, Murakami menyinggung tentang Odawara Fishing Port, sebuah TPI (Tempat Pendaratan Ikan) yang bersemayam persis di bibir Teluk Sagami. Tempat yang beroperasi di pagi hari ini memperdagangkan sekitar 14.000 ton hasil laut saban tahunnya. Reputasinya belum setenar Tsukiji Market di Tokyo, dan perikanan komersial memang belum menjadi mesin perekonomian utama Odawara, tapi ada satu produk olahan lokal yang cukup dikenal di tingkat nasional—kamaboko. Bentuknya menyerupai bolu gulung dengan tekstur mirip jeli. Kita bisa mencicipinya di sekitar 10 kedai yang tersebar di sekitar Fishing Port.

Kiri-kanan: Arak beras amazake dan acar jahe di Amazake Chaya Teahouse; Cedar Avenue, bagian dari jalur ziarah Tokyo-Kyoto.

Hakone
Pada tahun lalu, Hakone disambangi sekitar 20 juta turis, dan hampir semuanya datang karena terpikat oleh alamnya. Permukiman dataran tinggi ini meringkuk di tanah vulkanis yang dikepung banyak gunung berapi. Pemandangannya mengagumkan, begitu pula kekayaan geologisnya. Oleh UNESCO, Hakone telah ditetapkan sebagai Geopark, sebuah predikat untuk wilayah yang menyimpan pelajaran penting tentang riwayat pembentukan bumi dan pengaruhnya pada peradaban.

Hakone berada di selatan Odawara. Keduanya telah terkoneksi oleh rel dan jalan cupet yang berliku di pinggang gunung. Road trip di jalur ini cukup populer. Sepanjang jalan, kita akan menemukan ratusan pondok ryokan dan belasan museum, salah satunya Open-Air Museum yang memajang patung-patung karya perupa dunia, ditambah paviliun khusus berisi sekitar 300 karya Picasso. “Museum ini menarik,” ujar Shin Kaneko, pemandu saya sekaligus pendiri operator tur Explore Hakone, “tapi tempat favorit saya adalah Onshi Hakone Park. Di sini, saya dan putri saya gemar menyusuri taman, lalu piknik seraya menatap Danau Ashi.”

Salah satu objek wisata paling terkenal di Hakone adalah Owakudani (artinya “Lembah Mendidih”), sebuah mangkuk vulkanis yang menakutkan sekaligus mengagumkan. Di sini, asap senantiasa mengepul, bau belerang berseliweran, air panas mengalir di pipa-pipa panjang dan menebarkan gemuruh layaknya teriakan parau dari perut bumi. Melayangkan pandangan, kita bisa melihat banyak gunung, termasuk Gunung Fuji yang elok di kejauhan.

Kiri-kanan: Salah satu gapura ikonis Hakone Shrine; Pirate Ship yang menawarkan tur di Danau Ashi.

Tapi turis datang ke sini bukan untuk menikmati pemandangan semata. Banyak dari mereka juga berniat memperpanjang umur. Owakudani memiliki sebuah toko yang menjajakan kuro-tamago, telur ayam yang direbus berjam-jam dalam air sulfur hingga cangkangnya menghitam. Menurut mitos lokal, menyantap satu butir saja, usia kita bisa bertambah tujuh tahun. Saya menyantap dua butir sembari membayangkan usia pemandu saya sebenarnya.

Hakone juga menyimpan sejarah yang menarik. Tempat ini telah tertera di peta pengelana sejak ratusan tahun silam. Pada masa kekuasaan Tokugawa Shogunate misalnya, Hakone merupakan titik transit utama dalam jalur “komuter” yang menghubungkan Tokyo dan Kyoto. Di periode inilah bisnis tea house menjamur. Bagaikan rest area dari zaman samurai, pondok-pondok guyub bertubuh kayu ini menawarkan ruang rehat serta menghidangkan moci dan amazake (arak beras khas lokal).

Berlanjut ke abad ke-19, Hakone sebenarnya lebih dulu dikenal dunia ketimbang Odawara. Ketika Jepang mulai membuka pintunya bagi dunia Barat, permukiman dataran tinggi ini menjadi satu dari segelintir tempat yang boleh dikunjungi oleh kaum ekspatriat. Beberapa ryokan yang dulu melayani para saudagar asing, contohnya Fukuzumiro, masih beroperasi hingga kini. Kala itu, turis datang bukan untuk memperpanjang umur, melainkan berendam di onsen—aktivitas pelesir populer yang membuat Hakone kemudian dijuluki “destinasi pemandian.”

Kiri-kanan: Onshi Park, tempat liburan musim panas keluarga kekaisaran Jepang di masa lampau; Kuro-tamago, telur ayam yang direbus dalam air sulfur.

PANDUAN
Rute
Odawara berjarak sekitar 90 menit berkendara ke arah selatan bandara Haneda, Tokyo. Penerbangan ke Haneda dilayani oleh banyak maskapai, salah satunya Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com).

Penginapan
Satu-satunya hotel jaringan internasional di Odawara saat ini, Hilton Odawara Resort & Spa (Nebukawa 583-1; 81-465/291-000; hilton.com; mulai dari Rp2.400.000), menaungi 173 kamar yang menatap laut. Fasilitasnya antara lain lapangan tenis, kapel, gelanggang boling, dan 11 kolam renang. Di Hakone, pengalaman menginap khas lokal ditawarkan oleh ryokan, salah satunya Fukuzumiro (74 Tounosawa; 81-460/855-301; fukuzumi-ro.com; mulai dari Rp4.000.000 per orang, termasuk sarapan dan makan malam). bangunan kayu yang didirikan pada 1890 ini menaungi 17 kamar yang pernah ditinggali banyak saudagar.

Informasi
Untuk info objek wisata, kunjungi situs Discover Odawara (odawara-guide.com) dan Hakone Tourist Association (hakone.or.jp). Jika membutuhkan pemandu di Hakone, hubungi Shin Kaneko dari operator Explore Hakone (explore-hakone.com).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2018 (“Satelit Selatan”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5