Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bangkitnya Pariwisata Tohoku

Pelayan merapikan ornamen di pintu kedai.

Teks & foto oleh Reza Idris

Tohoku sudah aman. Sudah aman. Toshi, pemandu saya, terus mengulangi kata-katanya. Dia yakin badai sudah berlalu. Horor sudah lewat. Tohoku telah siap kembali menyambut turis.

Lima tahun silam, gempa hebat mengguncang tanah ini, lalu memicu tsunami yang menyapu ribuan rumah. Saat air mata masih berlinang, bencana susulan melanda: sebuah reaktor nuklir bocor dan memuntahkan radiasi. Ini tragedi alam terdahsyat dalam sejarah modern Jepang. Bank Dunia mencatatnya sebagai bencana termahal sejagat. Saya datang saat luka itu sudah mengering.

Dari Tokyo, kereta peluru membelah perbukitan, menembus perut gunung, hingga akhirnya mendarat di Tohoku. Saya disambut gunung-gunung bercaping salju. Angin sejuk berembus, mentari bersinar hangat.

Jalur Aspite Line yang dikawal dinding salju saban April.

Tohoku berada di utara Tokyo. Luasnya 67.000 kilometer persegi, kira-kira separuh Pulau Jawa. Kawasan ini menampung enam prefektur, semacam provinsi di Jepang. Lanskapnya didominasi bukit dan pantai. Musim di sini bergulir lebih lambat dibandingkan kawasan lain di Jepang. Saat Tokyo atau Kyoto sudah menikmati musim semi, sebagian Tohoku masih terkubur salju.

Saya memulai perjalanan dari Prefektur Fukushima, gerbang masuk Tohoku. Namanya sempat menghiasi tajuk media akibat tragedi nuklir. Ancaman radiasi memaksa pemerintah menutup sekitar 10 persen kawasan pesisir di sini, lalu menetapkannya sebagai zona terlarang. Kita seolah dihadapkan pada Chernobyl versi Asia.

Mengesampingkan area verboten itu, Fukushima sejatinya tempat yang sangat menawan. Ikon pariwisatanya adalah pohon sakura. Saya bergabung dengan rombongan asal Korea dan RRC, lalu mendaki bukit untuk menyaksikan pohon sakura paling terkenal di seantero Jepang—Takizakura.

Namanya berarti “air terjun.” Rantingnya memang menjurai menyerupai kucuran air terjun. Di sekitarnya, bunga nanohana kuning bermekaran layaknya dayang-dayang yang menemani seorang raja. Raja yang sudah sepuh. Takizakura berusia sekitar 1.000 tahun. Tubuhnya ditopang tiang-tiang kayu, membuatnya seperti kakek renta yang memakai tongkat. Entah sudah berapa gempa yang mengguncangnya, ia masih saja tumbuh subur, masih saja berpose di depan kamera turis. “Paling hanya beberapa batang yang rontok. Sisanya lihat, masih kuat bukan?” ujar Toshi.

Kiri-kanan: Takizakura, pohon sakura yang berusia sekitar 1.000 tahun; aktivitas menaiki becak tradisional di Prefektur Akita.

Tingginya 12 meter dengan bentangan sayap mencapai 20 meter. Pada 1922, pohon sakura tertua di Jepang ini dinobatkan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah. Hari ini, saat pohon sakura di Tokyo mulai menggugurkan daun-daunnya, Takizakura masih merekah. “Iklim dingin yang masih membasuh Tohoku adalah faktor utamanya,” kata Toshi seraya menunjuk kabut yang melayang di bukit.

Dari pohon sakura sakral berusia satu milenium, saya berpindah ke Hanamiyama yang menawarkan taman bunga yang menghiasi bukit setinggi 200 meter. Awalnya perkebunan pribadi, taman ini berubah menjadi objek wisata populer sejak dibuka untuk publik 57 tahun silam. Dari kejauhan, ia terlihat seperti taman dari negeri dongeng. Shotaro Akiyama, fotografer kawakan Jepang, bahkan menjulukinya Shangri-La versi Fukushima.

Saya menjangkaunya dengan mendaki jalan setapak. Bunga-bunga bertaburan di sisi kiri, sementara lembah menganga di sisi kanan. Jalan tanah dan batu ini terus berkelok dan menanjak. Selang 30 menit, saya berhasil menggapai puncak bukit dan disambut pemandangan 360 derajat Fukushima dan pegunungan salju di kejauhan. Rasa lelah di perjalanan terbayar lunas.

Ekspedisi menyisir tepian Tohoku berlanjut ke Miyagi, prefektur yang mengalami kerusakan terparah akibat tsunami. Ikon tempat ini adalah Kastel Shiroishi, struktur megah yang didirikan pada abad ke-16. Awalnya dihuni klan penguasa Katakura, kastel ini sempat berubah fungsi menjadi markas militer ketika Perang Boshin pecah pada 1868.

Kastel Shiroishi yang berusia lebih dari lima abad.

Mengunjungi Kastel Shiroishi membawa imajinasi saya ke zaman kaum shogun. Usai melewati gerbang yang dipercantik ornamen naga, saya mendarat di sebuah halaman lapang yang dinaungi bangunan kayu. Meski usianya sudah lebih dari lima abad, kastel ini masih terlihat gagah. “Kami mengerahkan lebih dari 20 orang dalam proses revitalisasi. Masing-masing dengan keahliannya tersendiri,” ujar Kishiro, pemandu kastel.

Bertolak 187 kilometer ke Prefektur Iwate, udara dingin kian menggigit. Saya singgah di Hachimantai di sisi barat laut Iwate. Sebagian kawasannya berstatus taman nasional. Dari kaki bukit, minibus meraung-raung mendaki rute terjal. Selang 30 menit, pemandangan di balik jendela mulai berubah: dedaunan hijau dan cokelat bersalin menjadi salju putih. “Kita sekarang berada di ketinggian 1.200 meter,” ujar Toshi.

Mobil kemudian bertemu tembok es raksasa. Inilah jalur Aspite Line yang tersohor itu. Tiap Maret, 10 traktor dikerahkan guna menyingkirkan salju dan membuka jalan. Saljunya kemudian ditumpuk di kedua sisi jalan, hingga membentuk dinding putih sepanjang 27 kilometer layaknya sebuah koridor ajaib. Menyusurinya seperti memasuki wahana di taman rekreasi.

Hachimantai adalah destinasi ski yang populer, dan tempat ski terpopuler di sini adalah Appi, resor yang menawarkan 21 rute ski dengan lanskap bervariasi. Menjajal rute khusus amatir, saya terkesima dengan debit salju yang menumpuk di musim semi. “Kebanyakan slope menghadap utara, jadi tidak terkena sinar matahari secara langsung. Dari Desember hingga Mei, tamu bisa ski sepuasnya,” ujar staf resor. Hachimantai adalah satu dari segelintir tempat di dunia di mana kita bisa menikmati ski di musim semi.

Kiri-kanan: Memberi makan rubah adalah salah satu objek wisata populer di Prefektur Miyagi; baju zirah khas Jepang di Kastel Shiroishi.

Di hari terakhir, saya mencicipi kuliner tradisional wanko soba di kota kecil Morioka, sekitar 45 menit dari Hachimantai. Menu berbahan mi ini diciptakan 380 tahun silam oleh Nambu Toshinao, pemimpin klan Nambu. Di restoran Azumaya Soba, wanko soba disuguhkan dalam konsep sajian ala kerajaan.

Awalnya, tamu diberikan mangkuk-mangkuk mungil yang berisi soba dan tujuh lauk, antara lain tuna sashimi dan suwiran ayam. Usai semuanya tuntas disantap, kita tak perlu beranjak mengambil soba layaknya prasmanan konvensional, sebab para pelayan telah bersiaga di dekat meja. Cukup beri aba-aba, mereka akan menghampiri dengan membawa sekitar 20 mangkuk makanan.

Ritual makan di sini menganut prinsip “kenyang hingga tidak bisa bergerak.” Prinsip yang dipraktikkan lebih eksesif setiap Februari dan November saat Azumaya Soba menggelar turnamen wanko soba. Rekornya adalah 599 mangkuk untuk pria dan 499 untuk wanita.

Toshi agaknya tak berlebihan saat mengklaim badai sudah berlalu di Tohoku. Tempat ini memang belum sepenuhnya melupakan tsunami, dan rasanya tak ada yang bisa melupakan bencana memilukan itu. Tapi warganya setidaknya kini sudah kembali tersenyum. Alam cantik di sini agaknya tak akan membiarkan manusia larut dalam duka. Pohon sakura terus tumbuh, bunga-bunga terus merekah, dan salju kembali berjatuhan di lintasan ski.

PANDUAN
Rute

Tohoku berada di utara Tokyo dan bisa dijangkau menggunakan kereta peluru Shinkansen (jreast.co.jp/e) dalam waktu satu jam. Penerbangan ke Tokyo dilayani antara lain oleh Japan Airlines (jal.com) dan Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com). Untuk menjelajahi Tohoku, Anda bisa menaiki bus atau kereta antarprefektur Expressway (e-nexco.co.jp).

Penginapan
Di Prefektur Fukushima, satu penginapan yang menarik dicoba adalah Surikamitei Ohtori (24-3 Nakanouchi, Iizakamachi; 81-24/5424-184; surikamiteiohtori.com; doubles mulai dari Rp2.012.000), properti yang menawarkan kamar bergaya kombinasi Eropa dan Jepang, serta fasilitas kolam air panas onsen. Di Iwate, Appi (Appikogen, Hachimantai; 81-19/5736-401; appi.co.jp; doubles mulai dari Rp1.628.000) adalah salah satu resor ski terpopuler di Tohoku.

Aktivitas
Tohoku menyajikan beragam aktivitas menarik. Di kota kecil Miharu, kita bisa melihat Takizakura, pohon sakura paling terkenal di Jepang. Tingginya 12 meter dan usianya sekitar satu milenium. Sementara di Hanamiyama, kita bisa mendaki bukit yang dibalut taman bunga. Suguhan atraktif tersaji di Hachimantai berupa jalan magis yang dipagari tembok es—fenomena yang berlangsung selama hanya 20 hari di pertengahan April. Setiap Oktober, Kastel Shiroishi menggelar teater yang mengisahkan Perang Boshin. Sedangkan di Februari dan November, Morioka menyelenggarakan festival makan wanko soba, kuliner yang diciptakan 380 tahun silam. Kunjungi situs Biro Pariwisata Tohoku (en.tohokukanko.jp) untuk menemukan paket tur di keenam prefektur di Tohoku.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2016 (“Badai Sudah Berlalu”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5