Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

6 Kapal Tradisional Khas Indonesia

Oleh Christian Rahadiansyah

1. Pencalang
“Pencalang berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka,” tulis Djoko Pramono dalam Buku Budaya Bahari. V.J. Verth dalam Borneo’s Wester Afdeeling menyebut pencalang memiliki peran dalam sejarah pendirian Pontianak. “Pencalang” memiliki akar kata yang sama dengan “lancang,” dan legenda Hang Tuah menyebut Lancang Kuning sebagai kendaraan perkasa Sumatera.

2. Jukung
Menurut Sejarah Nasional Indonesia II, jukung sudah tertulis dalam Prasasti Julah dari abad ke-10. Perahu Bali ini memiliki cadik ganda dan layar segitiga. Jukung juga dikenal sebagai perahu khas Banjar. (Banjarmasin menggelar Festival Jukung Hias setiap tahunnya.) Uniknya, Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak mengenal istilah “jukung,” melainkan “jongkong.

3. Pinisi
Pinisi, tulis Lawrence Blair dalam Ring of Fire, adalah produk hibrida antara perahu Sulawesi dan galleon pembawa rempah khas Portugis dari abad ke-17. Kapal ini dicirikan oleh dua tiang utama dan tujuh layar. Pinisi sempat digunakan oleh Alfred Russel Wallace saat melakukan penelitian di Indonesia, serta pernah diabadikan dalam lembaran Rp100 keluaran 1992.

4. Sandek
Lazim disebut “sandeq,” perahu khas Mandar ini memiliki lambung ramping, cadik ganda, dan stempost (penahan arus di muka) yang mencuat hingga membuatnya mirip kapal Viking. Sandek memiliki panjang lima hingga 16 meter. Perahu ini tersohor akan kecepatannya yang mencapai 40 kilometer per jam—velositas yang dibutuhkan untuk mengejar tuna.

5. Kora-Kora
Perahu ramping khas Maluku ini memiliki panjang sekitar 10 meter dengan kapasitas 40 pendayung. Pernah digunakan dalam perang, korakora kini lebih merupakan aset budaya yang rutin dipertontonkan dalam festival-festival akbar, misalnya Festival Budaya Banda Neira atau Festival Kora-Kora di Ternate. Pada 1985, perahu ini dijadikan nama sebuah wahana di Ancol.

6. Pledang
Perahu layar ini digunakan oleh kaum pemburu paus di Nusa Tenggara Timur. Di muka perahu terpasang papan atau bambu sebagai pijakan bagi lemafa (juru tikam) saat meloncat dan menghunjamkan tempuling ke tubuh paus. Di Lamalera, pledang dirakit memakai pasak kayu dan digerakkan dengan dayung. Sementara di Lamakera, pledang lebih modern dengan memakai paku dan mesin tempel.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2016 (“Bahtera Nusantara”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5